Dalam pergumulan sejarah Islam, praktik ibadah tidak pernah lepas dari pengaruh konteks zamannya. Salah satu contoh yang menarik untuk ditelisik secara historis adalah persoalan tempat sujud dalam salat. Nabi Muhammad, sebagaimana diriwayatkan dalam banyak hadis sahih, melakukan sujud langsung di atas tanah. Dahi beliau bersentuhan dengan bumi, tanpa perantara karpet, sajadah, atau kain. Praktik ini dikenal dalam terminologi fikih sebagai wat’ul jabhah alal ardli—meletakkan dahi di atas tanah. Sebuah simbol ekspresi kepatuhan total baik secara fisik maupun eksistensial.
Ulama fikih klasik dari berbagai mazhab mengakui makna mendasar dari sujud sebagai tunduk secara total, dan ini diwujudkan dengan cara yang paling rendah: menyentuhkan anggota tubuh termulia—dahi—kepada tempat yang paling hina—tanah. Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ menegaskan, “wa inna al-ardla hiya ashlu mawdi’is-sujud, wa huwa al-muqaddam idza imtazaja bihi al-‘abdu,”—bahwa tanah adalah tempat asal sujud, dan menjadi pilihan utama jika seseorang benar-benar ingin menyatu dengan hakikat penghambaan.
Zaman Nabi belum mengenal sajadah, apalagi karpet Persia yang empuk. Nabi salat di atas tanah berdebu, kadang berpasir, bahkan pernah dalam kondisi hujan hingga tanah basah menempel di jidat beliau. Ibn Abbas meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari, bahwa beliau melihat tanah dan air membekas di wajah Nabi selepas salat subuh. Sujud bukan sekadar gerak ritual, melainkan tindakan spiritual yang membumikan ego. Dengan menyentuh tanah, manusia diingatkan akan asal dan tujuannya: minha khalaqnakum, wa fiha nu’idukum, wa minha nukhrijukum taratan ukhra.
Mazhab Syafi’i, dalam penjelasan Imam Rafi’i, menegaskan bahwa menyentuhkan dahi secara langsung ke tanah adalah bentuk paling utama dalam sujud, meskipun tidak wajib. Namun, preferensi terhadap tanah sebagai media sujud memiliki dimensi spiritual tersendiri. Dalam Fathul Qadir, Imam Ibnu al-Humam dari mazhab Hanafi bahkan mengkritisi kecenderungan berlebih-lebihan dalam mencari kenyamanan dalam ibadah, karena dapat mengikis semangat takhsyyu’—kerendahan hati dalam salat.
Menariknya, ulama Syiah lebih eksplisit menjaga warisan ini dengan menjadikan turbah atau keping tanah sebagai tempat sujud yang ideal. Bagi mereka, menyentuhkan dahi ke tanah bukan sekadar simbol, tapi juga jalan penyucian. Di sinilah, meski berbeda mazhab, mereka mempertahankan semangat asali dari ajaran Nabi—bahwa bumi adalah sebaik-baik alas bagi kepala manusia yang bersujud kepada Tuhannya.
Persoalan ini bukan semata mekanisme fiqhiyyah, melainkan juga menyangkut tataran filsafat ibadah. Karpet lembut dan sajadah mewah yang kini menjadi elemen wajib di banyak masjid modern, tak jarang menjadi batu sandungan dari semangat kerendahan dalam salat. Kemewahan ruang salat seringkali tidak berbanding lurus dengan kekhusyukan jiwa. Justru dalam ketidaknyamanan tanah, sujud mencapai puncaknya sebagai bentuk paling nyata dari kehancuran ego.
Kritik tajam Imam Ghazali dalam Ihya Ulum al-Din menggarisbawahi aspek ini. Ia menyebut, “laysa al-matlub minash-shalah harakat al-jasad, bal inqidad an-nafs wa inkisaruha.” Bukan gerakan lahiriyah yang jadi tujuan salat, tapi tunduknya jiwa dan kehancuran ego. Maka dalam logika spiritual ini, sujud di atas tanah lebih mendidik ketundukan ketimbang sujud di atas karpet mahal.