Mengenai Lingkungan Terbarukan: Memahami Interpretasi Politis Kyai Ulil Abshar Abdalla Terhadap Lingkungan serta Dialektika Ekologi Revolusioner

Beberapa hari ke belakang publik disuguhkan oleh perdebatan yang memanas ketika mengetahui aktivitas pertambangan nikel terjadi di beberapa gugusan pulau di Barat Daya Papua yang dikenal dengan nama Raja Ampat, pertambangan nikel di Raja Ampat tergolong dalam kegiatan industri ekstraktif padat modal yang memberi dampak langsung maupun tidak langsung bagi kelangsungan keanekaragaman hayati di beberapa gugusan pulau lainnya.

Setelah menyimak sekian banyak menit diskusi yang tersaji, penulis ingin sedikit mengelaborasi konstruksi revolusioner mengenai pemanfaatan alam bagi kesejahteraan warga negara pada umumnya, sesuai dengan pasal 33 Undang-Undang Dasar NRI 1945 “Segala kekayaan alam yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak dikuasai negara”. Sayangnya, terminologi hegemoni sumber daya inilah yang coba direkonstruksi negara untuk membagi kewenangan pengelolaannya pada banyak perusahaan swasta.

Negara mencoba mengubah politik tata kelola industri ekstraktif pada beberapa korporasi pertambangan. Mencoba menggali cadangan nikel di Raja Ampat yang menurut Judi Bari dalam gagasan “Ekologi Revolusioner” merupakan satu kesalahan fatal, karena dapat merusak keanekaragaman hayati yang hidup dan dapat mempengaruhi keseimbangan ekologis di suatu negara, J. Bari berpendapat bahwa “Keanekaragaman hayati adalah sebuah keniscayaan. Nilai yang penting bagi kemajuan manusia dan makhluk hidup lainnya”. Keseimbangan rantai biodiversitas inilah yang coba ekologi revolusioner ketengahkan.

J. Bari mengemukakan kembali ancaman ekstraktivisme korporasi tambang juga menggunakan segenap piranti politik dan kekuasaan seperti undang-undang dan militer sebagai pelindung kapitalisme, J. Bari juga mengkritik ideologi Komunisme yang terfokus pada sentralisasi kekuasaan dan industri, sehingga abai terhadap diskursus ekologi. Rangkaian kritik multidimensi Bari ini sembari menjadi tolok ukur kita terhadap gagasan yang diketengahkan Kyai Ulil bahwa komunitas pencinta lingkungan mesti mendikotomi fungsi dari mana industri ekstraktif, mana kebutuhan negara terhadap energi dan investasi. Serta menganggap kegiatan peduli lingkungan sekaligus mengkritik kegiatan ekstraktifnya sebagai tindakan ekstrem serta menebar teror yang menakutkan.

Kyai Ulil juga turut mengetengahkan diskursus transisi energi negara dari sumber daya fosil ke sumber daya terbarukan, tentu kritik yang dilancarkan untuk komunitas Greenpeace juga bisa dikritik kembali. Karena Kyai Ulil mengacu pada konteks Eropa yang didominasi negara maju, tentu tidak relevan dengan realitas Indonesia sebagai negara pascakolonial. Negara pascakolonial membangun ulang sumber moneter maupun fiskal untuk keberlangsungan energi yang menjadi kebutuhan dasar masyarakatnya melalui pemanfaatan sumber daya mineral yang terkendali, bukan melalui penambangan ekstraktif padat modal atau hilirisasi. Jika begitu logikanya, tentu penulis juga bisa mengajukan alternatif transisi energi dengan cara hadirnya negara dalam mempermudah kebijakan politik terkait penggunaan panel surya dan optimalisasi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) untuk menerapkan energi terbarukan, investasi dibidang ini memang memerlukan ongkos mahal sekali karena ketergantungan pada batu bara kita selama ini terkait sumber listrik untuk kebutuhan dasar.

J. Bari kembali mengutarakan bahwa kapitalisme senantiasa juga mengunakan istilah epistemik dalam metode ilmu pengetahuan untuk melanggengkan kegiatan ekstraktif padat modalnya, “reduksionisme ilmiah”, demikianlah istilah yang diajukan Bari sebagai piranti korporat agar dapat melegitimasi kegiatan destruktif ekologisnya.

Mengenai desakan masyarakat atas kebutuhan energi rumah tangga, sepertinya penulis kira itu merupakan tanggung jawab negara menyediakan salah satu unsur dari kebutuhan dasar sandang, pangan, papan. Listrik yang dihasilkan melalui pengelolaan batu bara pun dimonopoli oleh perusahaan listrik negara yang dividennya untuk kelangsungan moneter suatu negara, yang diinginkan komunitas Greenpeace adalah bagaimana cara pemerintah mengurangi ketergantungan itu, dan beralih pada energi yang lebih bersih ketimbang sumber daya fosil. Tentu penulis kira mereka tidak selamanya menolak aktivitas pertambangan karena itu masih jadi sumber moneter andalan bangsa ini untuk kebutuhan hidup. Tapi yang mesti diperhatikan adalah seberapa banyak volume pengambilan sumber daya, serta proses konservasi alam pasca penambangan.

Meninjau ulang kegiatan ekstraktif dalam memenuhi kebutuhan ini yang diinterpretasi Kyai Ulil sebagai gerakan “wokisme”, “alarmisme” dan lain sebagainya. Seolah, penyederhanaan dampak ekologis dapat terselesaikan dengan cepat, padahal sudah banyak penelitian-penelitian terkemuka yang memberi penjelasan mengenai dampak kotor dari industri “hijau” ini.

Terakhir, penulis kira kita sama-sama mengerti bahwa masyarakat tidak memerlukan istilah ilmiah yang terlalu menara gading dan dibumbui bahasa Inggris, penulis kira, peduli pada lingkungan adalah hal yang diperlukan untuk keberlanjutan ekosistem untuk “Indonesia Emas” mendatang. Penulis sangat tidak menginginkan apa yang juga ditakutkan oleh Kyai Ulil dan umumnya kita semua, generasi mendatang tidak mampu menyaksikan keindahan alam, lebih dari sekadar itu, alam perlu dirawat sebagaimana manusia merawat dirinya sendiri, sekaligus sebagai bentuk “khidmatul ummah” dari PBNU adalah “merawat jagad” dan menerapkan Q.S. Al baqarah: 30, serta mencegah Q.S. Ar-Rum: 41.

Referensi:

1. Ekologi Revolusioner, J. Bari