Perubahan zaman selalu melahirkan tantangan dan peluang baru dalam menyampaikan pesan-pesan keagamaan. Di era digital ini, Generasi Z atau Gen Z—generasi yang tumbuh bersamaan dengan kemajuan teknologi dan media sosial—menjadi kelompok dominan dalam lanskap demografi global. Mereka hidup dan berinteraksi secara aktif di dunia maya, menjadikan ranah digital bukan sekadar ruang hiburan, tetapi juga ruang belajar, ruang ekspresi, dan ruang pencarian makna hidup.
Dakwah sebagai bentuk komunikasi spiritual dan sosial tidak bisa lagi terpaku pada metode konvensional. Gen Z membutuhkan pendekatan yang sesuai dengan karakter dan kebiasaan digital mereka. Maka, dakwah digital menjadi bentuk respons adaptif terhadap perubahan zaman. Gen Z cenderung menyukai konten yang interaktif dan visual—video inspiratif, animasi yang menarik, hingga cerita yang menggugah hati. Kreativitas menjadi kata kunci. Dengan memanfaatkan media sosial sebagai saluran dakwah, pesan-pesan Islam dapat menjangkau jutaan orang secara global, membangun komunikasi dua arah yang memperdalam pemahaman dan memperkuat keterlibatan.
Selain itu, Gen Z memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Mereka aktif menyuarakan isu-isu kemanusiaan dan keadilan, seperti solidaritas terhadap Palestina, gerakan lingkungan hidup, dan kegiatan sosial berbasis komunitas. Maka, dakwah yang mengaitkan ajaran Islam dengan isu-isu aktual sosial menjadi daya tarik tersendiri. Ketika nilai-nilai Islam ditampilkan secara relevan dan aplikatif, Gen Z akan lebih mudah menerimanya sebagai bagian dari kehidupan mereka.
Namun, peluang ini dibarengi oleh tantangan besar. Media sosial yang begitu luas juga menjadi ladang konten negatif yang menggoda—vulgaritas, hedonisme, individualisme—yang seringkali lebih populer di kalangan muda. Algoritma digital cenderung mengangkat konten yang sensasional daripada yang bernilai edukatif. Gen Z pun menghadapi krisis identitas keagamaan; tekanan dari lingkungan dan tren sekuler bisa membuat mereka ragu atau menjauh dari nilai-nilai yang dianut.
Dalam menghadapi tantangan ini, pendekatan dakwah tidak bisa bersifat statis. Seorang da’i perlu menjadi seperti seorang dokter: memahami “penyakit” spiritual atau sosial yang dialami audiensnya, lalu memberikan “obat” dakwah yang tepat sasaran. Seperti yang dijelaskan oleh Imam As-Sa’di dalam tafsirnya, setiap orang harus didakwahi sesuai dengan kondisi dan pemahamannya. Maka, dakwah harus dinamis, kontekstual, dan empatik—khususnya kepada Gen Z yang hidup di tengah gelombang informasi dan pengaruh budaya digital.
Dakwah digital bukan semata tentang menyampaikan ceramah di media sosial. Ia adalah proses membangun dialog spiritual yang menyentuh hati dan pikiran. Ia hadir sebagai teman seperjalanan Gen Z dalam pencarian makna, identitas, dan kebenaran. Ketik []a strategi dakwah mampu menyatukan nilai keislaman dengan gaya komunikasi digital yang relevan, maka dakwah tidak hanya menjadi seruan, melainkan juga pelita yang menerangi kehidupan Gen Z di era modern ini. []