Kenyataannya saya makin yakin dan mungkin—sering merasa bahwa dunia ini bukan tempat yang stabil. Segala hal berubah begitu cepat bukan? Hari ini kita tahu, besok bisa lupa. Hari ini merasa yakin, lusa bisa runtuh. Kelakar yang paling terkenang dari Kyai saya almarhum almagfurlah K.H Imam Yahya Mahrus dulu: hari ini lupa, besok tidak bisa. Meski beliau berbicara dalam konteks menghafal nadzham dan memahami kitab.
Dunia seperti halnya tidak punya fondasi tetap. Sebuah kekacauan yang tak terelakkan dan menyisakan semacam pertanyaan, bagaimana cara manusia bertahan dalam ketidakpastian dunia? Bukan hanya bertahan sebagai individu, tapi sebagai manusia yang ingin hidup dengan arah, dengan tujuan, dan kalau bisa—dengan harapan.
Seiring waktu—(juga umur), saya belajar bahwa adaptasi adalah satu-satunya jalan keluar. Kemestian untuk membongkar cara lama melihat dunia, membentuk ulang cara hidup, dan berani memeluk hal-hal yang tak pasti. Dunia ini tak butuh manusia-manusia yang ngotot tetap seperti kemarin. Dunia butuh orang-orang yang bisa lentur, berpikir jernih, dan tetap punya pegangan.
Dalam bentuk yang tidak pasti itu, satu hal yang saya yakini. Bahwa kita, tak bisa hidup sendiri. Saya ulangi: kita benar-benar tak bisa hidup soliter—yang sendirian. Sebanyak apa pun kemampuan, sekuat apa pun kemauan, manusia bukan makhluk tunggal. Ia tercipta sebagai jaringan dan dengan jaring-jaring kehidupan yang saling terhubung. Saya mulai sadar, justru karena keterhubungan itulah manusia bisa bertahan, bahkan tumbuh.
Hal ini pernah menjadi gagasan besar dari Talcott Parsons beberapa dekade lalu, yang—tentu masih bisa dijadikan pisau analisis di era ini. Empat hal yang bagi Parsons menjadi pondasi agar sebuah sistem sosial bisa tetap hidup. Parsons bilang keempatnya adalah: Adaptation, Goal, Integration, Latency, yang mudah diingat sebagai “AGIL”. Awalnya saya anggap ini hanya semacam kerangka akademik epistemik ranah sosiologi. Tapi semakin ke sana dan makin ke sini, merefleksikan diri dalam kehidupan antah berantah dunia—dunia nyata, dunia keluarga, dunia kerja, komunitas, kehidupan sosial—saya paham bahwa apa yang digagas Parsons ini menjadi cara yang paling konkret dan realistis untuk membaca realitas.
Adaptasi memang jadi kunci. Sejak Darwins bilang teori evolusi hingga Richard Dawkins yang bilang bahwa secerdas-cerdasnya manusia, ia akan punah jika tidak memiliki kemampuan adaptasi yang baik. Tapi itu saja tak cukup. Harus ada arah—tujuan bersama. Tanpa tujuan, adaptasi hanya bualan dan jadi survivalisme buta. Ia hanya mempertahankan eksistensinya agar tetap hidup tanpa memikirkan keberlangsungan dan keberlanjutan kehidupan “yang lain”. Ia hanya memikirkan dirinya sendiri.
Walhasil dibutuhkan kemampuan integrasi—kita harus bisa berjalan bersama, meski “berbeda”. Dan, yang sering luput adalah soal nilai. Sistem sosial tanpa nilai layaknya tubuh tanpa jiwa. Saya menyaksikan sendiri, betapa banyak organisasi besar “tumbang”—dalam arti kehilangan arah bukan karena tak punya strategi, tapi karena kehilangan nilai bersama.
Ibn Khaldun, jauh sebelum Parsons lahir, pernah membicarakan sebuah bagian integral keniscayaan manusia. “Ashabiyyah“—katanya, sebuah daya kolektif yang menyatukan orang dalam satu semangat. Kekuasaan, bagi Ibn Khaldun, tak akan langgeng tanpa jaringan solidaritas. Dan solidaritas tak akan hidup jika nilai dasarnya goyah.
Beberapa hari lalu dalam sebuau Simposium saya mendapati sebuah keterangan yang kekinian. Bahwa dunia, yang ditempati kita saat ini adalah dunia yang diliputi VUCA: Volatility yang penuh gejolak, Uncertainly karena memang satu-satunya yang tak pasti di dunia ini adalah ketidakpastian, Complexity yang sangat kentara, dan Ambiguity yang membuat segalanya memunculkan dilema-dilema baru. Dunia yang tidak bisa dipetakan dengan cara-cara lama. Betapapun dengan teori sosial apa pun, filsafat apa pun, harus mampu menjawab satu pertanyaan: bagaimana manusia bisa tetap menjadi manusia dalam dunia yang terus berubah
Saya belajar bahwa untuk bertahan, kita tak bisa berjalan sendiri. Kita harus membentuk kelompok, komunitas, jejaring. Tapi bukan kelompok eksklusif. Justru kelompok yang terbuka, yang mau mendengar perbedaan, yang punya arah jelas, dan yang tahu nilai apa yang mesti dipertahankan.
Integrasi juga bukan tentang menyeragamkan dan penyeragaman. Tapi merawat keragaman dalam satu ruang. Kita berbeda bukan untuk saling mengalahkan dan menegasikan, tapi untuk saling melengkapi. Saya ingat satu ayat yang sangat familiar untuk dihapal, tapi jarang kita hayati: “Kami ciptakan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kalian saling mengenal.” Bukan untuk saling curiga, saling mengunci, saling menyingkirkan.
Tapi realitas hari ini jauh dari itu. Kadang kita makin sibuk membuktikan diri, makin keras membela ego. Semua ingin tampil. Semua ingin menang. Di tengah itu, tujuan bersama mungkin bisa saja perlahan kabur. Nilai tak lagi jadi fondasi. Kita bicara soal produktivitas, tapi lupa soal empati. Kita ingin akurat, tapi kehilangan arah moral.
Bila apa yang dikatakan Parsons ini bisa dibaca dalam konteks spiritual dan sosial sekaligus, ia bukanlah teori yang mati. Ia bisa jadi kompas. Adaptasi membuat kita lentur. Tujuan membuat kita fokus. Integrasi membuat kita terhubung. Nilai membuat kita utuh. Tanpa salah satu dari itu, kita rapuh.
Heidegger bilang bahwa manusia adalah makhluk yang sadar ia hidup dalam waktu. Hidup yang bukan produk, tapi proses. Dari sana saya sadar bahwa makna hidup bukan hasil akhir, tapi keberanian untuk terus bergerak dalam ketidakpastian. Saya kira inilah yang dalam agama disebut tawakkal: percaya, menyerahkan diri betapapun, bagaimanapun dan apapun hasilnya dengan tetap bertindak.
Kesimpulan sederhananya adalah dunia ini memang tidak akan pernah stabil. Tapi manusia bisa belajar menstabilkan dirinya—melalui hubungan, tujuan, nilai, dan kerja kolektif. Kita tak butuh jawaban sempurna. Kita hanya perlu keberanian untuk bergumul. Untuk berpikir bersama. Untuk tumbuh bersama. Untuk saling meneguhkan.
Saya tak percaya pada pahlawan tunggal. Saya percaya pada kelompok kecil yang serius, yang punya tujuan bersama, yang tahu kapan harus mendengar, dan kapan harus berdiri teguh. Kapan harus ngegas dan kapan harus ngerem. Dalam dunia yang penuh gejolak ini, kita hanya bisa bertahan jika kita berjalan bersama—tanpa kehilangan arah, tanpa kehilangan nilai, dan tanpa kehilangan kepercayaan bahwa hidup ini masih layak diperjuangkan.