Ada yang ganjil di negeri ini, dan saking seringnya, kita tak lagi menganggapnya aneh. Setiap kali sebuah motor berhenti sejenak—bahkan hanya untuk membeli sebotol air di minimarket—muncullah seseorang dengan peluit dan rompi lusuh. Bukan untuk membantu, bukan untuk menjaga, tapi untuk meminta: dua ribu rupiah. Jumlahnya memang kecil, tapi lahir dari otoritas tanpa dasar, dan tanggung jawab yang tidak pernah jelas. Ia bukan tarif, bukan pajak, bukan sedekah, bukan pula jasa. Ia adalah upeti jalanan, yang dipungut oleh tangan-tangan yang meminjam legitimasi ketakutan sosial dan budaya “tidak enakan”.
Ironi makin menyesakkan ketika praktik ini berlangsung di halaman masjid—tempat orang datang membawa lelah dunia untuk bertemu Tuhan. Di rumah ibadah yang dibangun dari wakaf dan infak umat, justru ada pungutan yang tidak diatur oleh syariat atau akal sehat. Dua ribu pun berubah makna: bukan sekadar receh, tapi simbol perampasan kesucian. Di depan Tuhan, umat mesti bayar “pajak tidak resmi” hanya untuk bisa beribadah dengan tenang.
Dan seperti biasa, alasan yang dilempar ringan: “Cuma dua ribu kok.”
Padahal dua ribu yang diulang lima kali sehari adalah tiga ratus ribu sebulan. Dua ribu dari satu orang memang sepele, tapi dari seribu kendaraan setiap hari? Maka kita sedang bicara puluhan juta rupiah yang berputar di luar sistem legal, tanpa pajak, tanpa laporan, tanpa fasilitas yang kembali kepada rakyat. Sebuah studi oleh Dishub DKI Jakarta pada 2022 mencatat potensi kebocoran pendapatan dari parkir liar di Jakarta mencapai 1,8 miliar rupiah per bulan. Ini bukan sekadar ekonomi rakyat kecil, ini adalah ekonomi bayangan yang menunggangi fasilitas publik dan menggerogoti prinsip keadilan.
Masalah ini tak sekadar urusan tata kota, tapi menyentuh urat nadi etika. Dalam fiqh muamalah, transaksi harus berdasarkan akad yang sah, ridha, dan jasa yang nyata. Ketika seseorang hanya berdiri tanpa memberi perlindungan, tidak mengatur kendaraan, dan tidak punya izin dari pemilik lahan—lalu meminta bayaran—maka yang terjadi bukanlah jual beli jasa, melainkan ghashab: pengambilan manfaat tanpa hak. Bahkan Imam an-Nawawi menegaskan bahwa memungut harta dari orang lain tanpa kejelasan jasa dan akad adalah bentuk suht (penghasilan haram). Apalagi jika itu terjadi di lahan wakaf seperti masjid, maka hukumnya lebih berat karena mencemari kesucian tanah wakaf.
Namun, kita juga tak bisa menutup mata. Tidak semua tukang parkir liar adalah penjahat. Banyak dari mereka adalah korban sistem ekonomi kota yang tidak ramah pada pekerja informal. Mereka tidak mencuri, hanya bertahan hidup di antara kekosongan regulasi. Tetapi justru karena itulah, tanggung jawab pembenahan sistem ada di tangan negara, bukan pada pembiaran yang akhirnya membentuk budaya pungli berjamaah.
Kita harus akui: masyarakat sendiri turut menyuburkan praktik ini. Kita memberi karena takut, atau karena merasa tak punya pilihan. Kita bayar bukan karena rela, tapi karena tidak mau konflik. Akibatnya, ketidakadilan kecil ini diterima sebagai takdir sosial, bukan sebagai penyimpangan struktural. Lama-lama, kita belajar bahwa pengambilan hak tanpa dasar bisa jadi lumrah—asal sopan, asal pakai peluit.
Pemerintah pun belum cukup hadir. Padahal Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan tegas melarang praktik parkir liar dan memberi wewenang kepada daerah untuk menertibkan. Tapi hukum sering berhenti di teks, dan kenyataan tetap berjalan di atas trotoar. Di tengah semua ini, suara keagamaan pun masih terlalu sepi. Masalah haram dan halal seolah hanya milik bank dan riba, padahal parkir liar di masjid adalah keharaman kecil yang kasat mata—dan menyakitkan setiap hari.
Karena ini bukan semata soal dua ribu rupiah. Ini soal bagaimana masyarakat melihat keadilan, hak, dan tanggung jawab. Bagaimana kita mendefinisikan “jasa” dan “layak dibayar”. Dan bagaimana kita membiarkan sistem tanpa struktur mengambil dari publik dengan topeng “kebiasaan”.
Lalu, apa solusinya? Bukan hanya “jangan bayar”, tapi benahi sistemnya.
Pemerintah daerah harus mulai membangun sistem parkir legal, digital, dan transparan. Pengelolaan parkir di tempat ibadah harus menjadi bagian dari struktur masjid, dengan petugas yang resmi dan hasil yang tercatat. Tukang parkir liar yang mau bekerja secara sah, harus dibina dan dimasukkan dalam program padat karya. Sedangkan masyarakat harus mulai berani menolak dan bersuara, bukan dengan amarah, tapi dengan keberanian untuk berkata: “Maaf, saya hanya membayar jika ada jasa, dan jika itu legal.”
Negeri ini tidak butuh lagi alasan seperti “kasihan mereka cari makan”. Kasihan tidak bisa menjadi dasar untuk menghalalkan sistem yang salah. Kasihan tidak boleh mengalahkan keadilan. Jika semua hal bisa dimintai uang karena alasan kasihan, maka nanti akan ada tukang jaga bangku taman, juru tagih debu kendaraan, atau bahkan “penjaga hawa segar” di jalan raya.
Sudah waktunya dua ribu kita memiliki arti. Bukan sebagai pajak diam-diam, tapi sebagai simbol kesadaran sosial yang menolak ketidakadilan receh.
Karena keadilan sejati, sering kali lahir bukan dari pidato besar, tapi dari keberanian kecil menolak keterbiasaan yang salah.