Nilai Tak Bisa Dinego: Mengajar di Tengah Generasi yang Tak Sungguh-Sungguh

“Kematian kepakaran bukan terjadi karena pakar berhenti bicara. Tapi karena publik berhenti mendengar.”—Tom Nichols, The Death of Expertise

Semester ini, saya kembali mengetik nilai akhir dengan kepala tegak, tapi hati letih. Bukan karena soal teknis, tapi karena kekecewaan yang makin menumpuk: lebih dari separuh mahasiswa saya tidak lulus. Dan itu bukan karena saya terlalu ketat, tapi karena mereka terlalu longgar terhadap tanggung jawab sendiri.

Mr. Kalend Osen direktur Basic English Course sekaligus founder Kampung Inggris Pare pernah bilang, “Responsibility must be bigger the performance.” Jangan sampai kebingungan memilih pakaian, outfit yang hendak selalu ingin dipertontonkan lebih rapi dan necis dibanding buah pikiran.

Jarang masuk, tidak mengerjakan tugas, tidak pernah hadir saat diskusi penting. Tapi menjelang akhir semester, mereka kembali—bukan dengan refleksi atau penyesalan, melainkan dengan permintaan nilai. Dengan keyakinan bahwa kehadiran sesaat cukup untuk menebus kealpaan panjang. Seolah-olah nilai bukan hasil dari proses, melainkan hasil dari negosiasi.

Saya tidak bisa meluluskannya. Dan itu keputusan yang paling sunyi tapi paling jujur yang bisa saya buat sebagai pendidik.

Kampus Bukan Pabrik Sertifikat

Saya semakin yakin: kampus hari ini mulai kehilangan wataknya.
Dulu ia adalah tempat membentuk karakter, melatih komitmen, dan menyemai akal sehat. Kini perlahan bergeser menjadi pabrik sertifikat—tempat mahasiswa menunggu waktu lulus, dan dosen dituntut untuk “pengertian” atas nama empati palsu.

Kita hidup di era di mana semua orang merasa pendapatnya valid, meskipun tidak punya dasar. Opini dianggap setara dengan riset, hasil googling lima menit disamakan dengan hasil penelitian sepuluh tahun. Ini adalah gejala yang oleh Tom Nichols sebut sebagai The Death of Expertise—kematian otoritas ilmiah karena disamakan dengan kebisingan digital.

Dan saya percaya, gejala itu sudah menjalar ke ruang kelas.

Mereka Tak Lagi Belajar, Mereka Hanya Ingin Lulus

Beberapa mahasiswa datang hanya untuk absen. Bahkan tugas pun dikerjakan setengah hati, kadang menjiplak dari teman, kadang hasil copy-paste dari blog, bahkan hasil ChatGPT. Tapi mereka percaya—entah siapa yang mengajarkan—bahwa “yang penting dapat nilai C ke atas.” Bahkan, tak sedikit yang meminta kelulusan atas dasar belas kasihan, bukan kerja keras.

Padahal, nilai seharusnya bukan belas kasih.

Nilai adalah ukuran tanggung jawab, kehadiran, dan integritas.

Saya tidak bisa mendidik orang yang menganggap kuliah hanya formalitas. Saya tidak ingin meluluskan sarjana yang gagal menjadi manusia. Sebab bagi saya, tujuan akhir pendidikan bukan ijazah, tapi kedewasaan.

Tegas Adalah Bentuk Tertinggi dari Cinta

Ada yang bilang, “Kasihan, Pak. Mereka masih muda.” Tapi justru karena mereka masih muda, mereka harus belajar bahwa hidup menuntut komitmen. Kalau sekarang saja tidak bertanggung jawab, bagaimana nanti mereka akan memimpin masyarakat?

Saya bukan tak punya empati. Justru karena saya peduli, saya tidak mau memanjakan.
Tegas bukan berarti benci. Tegas adalah bentuk cinta yang paling sunyi—cinta yang tidak memanjakan kemalasan, tapi mendorong mereka untuk bertumbuh, meskipun lewat rasa gagal.

Saya ingin mereka menjadi manusia. Yang jika gagal, tahu sebabnya. Yang kalau jatuh, bangkit karena merasa harus berubah. Yang hadir di kelas bukan hanya fisik, tapi juga niat dan hati.

Mengajar hari ini bukan cuma soal transfer ilmu, tapi bentuk perlawanan. Perlawanan terhadap budaya malas, terhadap relativisme berlebihan, terhadap generasi yang tidak lagi menghormati ilmu. Dan saya memilih tetap berdiri di barisan yang sunyi itu.

Karena saya yakin, jika pendidikan masih ingin selamat, kita harus menghidupkan lagi tiga hal:

  1. Rasa hormat terhadap ilmu
  2. Rasa tanggung jawab terhadap proses
  3. Dan keberanian untuk gagal lalu belajar.

Kalau hari ini saya tidak meluluskan mereka, bukan karena saya ingin menjatuhkan, tapi karena saya ingin mereka belajar bangkit.

Penjual cilok yang menyamar jadi dosen | Penghayat keresahan | Masih percaya nalar, tapi tahu betul hidup tak selalu masuk akal.