Otokritik Rakyat Bagian I: Demokrasi Rasa Infotainment (Dari Fans Club ke Fraksi)

Musim Pemilu seolah menjadi panggung tahunan acara varietas—partai menyodorkan “line-up artis” seperti konser yang menunggu tepuk tangan dan sorak. Melodi yang sama terus diulang: artis bermodal wajah dan penggemar berbondong maju ke kursi legislatif. Demokrasi kita rupanya telah disulap menjadi hiburan: semakin dikenal, semakin besar peluangnya ke Senayan. Bisalah kita katakana Partai Politik yang banyak menerjunkan artis-artis itu alih-alih sebagai partai politik lebih mirip manajemen artis.

Meski secara prosedural demokrasi tetap berjalan—ada Pemilu, suara dihitung, kursi terbagi—substansi dan kualitasnya makin terkikis oleh logika hiburan.

Delegative Democracy ala O’Donnell: Pemilih = Fans

Guillermo O’Donnell, ilmuwan politik asal Argentina, memperkenalkan istilah delegative democracy (demokrasi delegatif) untuk menggambarkan kondisi negara-negara demokrasi pasca-otoritarian yang secara prosedural memang demokratis—ada pemilu, ada perwakilan, ada aturan main—tetapi secara substansial rapuh.

Dalam demokrasi delegatif, rakyat hanya berperan sebagai pemberi mandat, bukan sebagai pengawas kritis. Begitu mandat diberikan, rakyat dianggap “selesai berpolitik,” seolah-olah semua urusan bisa diserahkan begitu saja pada pemimpin. Pemimpin yang terpilih pun merasa mendapat “cek kosong” untuk berbuat apa saja atas nama mandat rakyat. Nah, ketika logika ini dipindahkan ke konteks Indonesia, maka jadilah demokrasi kita: demokrasi ala fans club.

Dalam demokrasi sehat, rakyat adalah warga negara (citizens). Artinya, mereka aktif mengawasi, menuntut, bahkan mengkritik wakilnya di parlemen. Relasinya bersifat kontraktual: ada kewajiban, ada hak, ada akuntabilitas. Tapi dalam demokrasi delegatif yang bercampur budaya populer, rakyat lebih sering bertindak sebagai fans.

Fans tidak menuntut substansi; mereka cukup bangga melihat idolanya tampil. Bahkan jika idola salah, fans dengan cepat memberi pembenaran. Logika fans ini menggantikan logika warga negara. Rakyat memilih bukan karena program atau visi politik, tapi karena rasa kedekatan semu yang dibangun lewat layar kaca. Kacau ‘kan? Haduh!

Post-Democracy ala Crouch: Demokrasi Dipermainkan

Colin Crouch bilang kita hidup di era post-democracy, di mana pertunjukan mengalahkan substansi. untuk menjelaskan kondisi di mana demokrasi secara prosedural tetap ada—pemilu berjalan, partai eksis, parlemen berfungsi—tetapi substansi demokrasi perlahan hilang. Bila sinetron itu hiburan, DPR kian mendekat ke situ. Sidang paripurna lebih mirip drama, dengan walk out, interupsi dramatis, tanpa diskusi mendalam. Rapatnya jadi episode tanpa akhir—dengan konten kosong.

Dalam post-democracy, rakyat masih “dilibatkan” tapi hanya sebatas penonton. Pemilu menjadi semacam ritual teatrikal: Ada baliho, jargon, dan gimmick politik, ada artis yang maju sebagai caleg, tokoh populer jadi capres, ada “narasi pembangunan” yang dibungkus dengan iklan kampanye.

Namun, setelah pesta usai, rakyat kembali dipinggirkan. Ruang-ruang pengambilan keputusan dikuasai oleh segelintir elite politik dan pemilik modal. Demokrasi menjadi permainan para oligarki, rakyat hanya dipanggil saat butuh suara. Dengan kata lain: demokrasi bukan lagi arena deliberasi, melainkan pertunjukan yang diproduksi.

Post democracy ala Crouch ini digambarkan pula oleh Noam Chomsky dalam bukunya Politik Kuasa Media dengan Bahasa yang amat satire:

“Kami ingin anda menjadi pemimpin kami, setelah memilih pemimpin yang dirasa cocok, kami pun Kembali menjadi pemirsa atau kawanan pandir. Seperti itulah kira-kira dimana demokrasi berfungsi dengan baik”

Dalam logika Crouch, inilah demokrasi yang dipermainkan: rakyat dipanggil untuk memilih, tetapi dikeluarkan dari ruangan saat keputusan dibuat. Parlemen pun sering tampak seperti panggung hiburan. Bukan hanya karena diisi artis, tapi juga karena politik lebih mirip drama berseri daripada proses legislasi yang serius.

Politik sebagai Spektakel ala Zizek

Slavoj Zizek menyebut politik mutakhir sebagai spektakel—publik tahu itu palsu, tapi tetap menonton. Artis nyaleg adalah contoh sempurna: publik sadar artis belum tentu paham hukum atau anggaran, tapi tetap antusias. Pemilu berubah jadi reality show—“entertainment with consequences.” Politik, kata Žižek, bukan lagi arena deliberasi publik, melainkan panggung teater, di mana realitas sengaja dikemas sebagai tontonan agar publik terhibur sekaligus teralihkan dari persoalan yang sebenarnya. Pertanyaanya mengapa fenomena seperti ini ada dan langgeng terjadi?

Data Empiris: Dari Panggung ke Parlemen

Fenomena artis nyalon bukan wacana kosong. Berikut data menarik:
• Pemilu 2009: 61 selebritas nyaleg, 19 (31%) menang.
• Pemilu 2014: 77 yang nyaleg, 22 (29%) lolos.
• Pemilu 2019: Peserta artispun melonjak menjadi 116, tapi hanya 14 (12%) yang menang.Menurut Kumparan, 84,62% caleg artis di 2019 gagal ke Senayan.
• Namun, Pemilu 2024 masih menampilkan artis terpilih—23 orang di DPR RI periode 2024–2029.
Tentu, angka kemenangan artis menurun. Tetapi fakta bahwa puluhan tetap lolos membuktikan bahwa popularitas tetap menjadi modal politik yang signifikan. Popularitas selalu lebih utama sebagai bekal elektablitas daripada kapabilitas. Itu faktanya!

Penutup: Dari Fans Club ke Warga Negara

Artis dipolitik bukan masalah—selama mereka serius. Masalah utamanya: rakyat memilih sebagai fans, bukan warga negara yang kritis. Jika fans mengutamakan kedekatan emosional, warga negara mengutamakan kapabilitas. Publik perlu menuntut akuntabilitas, bukan popularity show. Tanpa itu, DPR akan tetap jadi sinetron stripping terpanjang di negeri ini—tiap hari tayang, ramai, tapi miskin kandungan.

Seorang ASN Progresif yang tidak mau hidup Cuma begitu-begitu saja. Penulis Adalah pemerhati isu politik, hukum, serta dinamika sosial di Indonesia. Dengan latar belakang minat yang kuat pada filsafat politik dan kajian kritis, ia kerap menyoroti relasi antara negara, masyarakat, dan kekuasaan, khususnya dalam konteks demokrasi yang sedang mengalami tantangan serius. Bagi Husni, menulis bukan sekadar aktivitas intelektual, melainkan juga bentuk perlawanan simbolik terhadap praktik kekuasaan yang tidak adil