“satu orang penakut ditambah satu orang penakut
sama dengan dua orang pemberani”
– Prof. Dr. H. Muhammad Ali Ramdhani, S.TP., M.T
Kalimat yang cukup jenaka, tapi juga paradoks secara matematis sekaligus menjadi kebenaran secara sosial. Secara aritmatika, penjumlahan dua entitas serupa memang, semestinya menghasilkan penggandaan kuantitatif. Hal lain ketika berbicara dalam praktek hidup, ketika dua individu yang masing-masing tercirikan oleh keragu-raguan bersatu dalam suatu keputusan kolektif (jama’ah), tercipta fenomena kualitatif baru: ‘keberanian’. Transformasi yang kadang hanya dianggap alakadar metafora, padahal juga merupakan peristiwa ontologis dalam istilah Alain Badiou.
Dalam kerangka Badiou, setiap individu merupakan kemajemukan (multiple) yang terhitung sebagai satu (counted-as-one) dalam situasi sosial tertentu. “Penakut” di sini bukan ‘esensi-tetap’, tapi status dalam suatu tatanan pengetahuan (encyclopaedia) yang mendefinisikan subjek berdasarkan ‘ketakutan’. Ketika dua subjek demikian membentuk kolektivitas (jama’ah)—dalam istilah Badiou, suatu situasi baru—mereka menciptakan ‘situs-evental’ (evental site): ruang di tepi kehampaan (void) di mana identitas lama (ketakutan) tidak lagi mengikat. Kolektivitas (jama’ah) menjadi prasyarat bagi munculnya peristiwa (event), yakni momen radikal ketika logika dominan situasi terganggu. Keputusan bersama untuk bertindak—meski diawali keraguan—adalah ‘penamaan’ (nomination) atas peristiwa ini. Apa yang disebut “Kita berani” adalah ‘tindakan deklaratif’ yang memotong jalinan pengetahuan lama.
Proses ini mengaktualisasikan teori subjek Badiou. Subjek adalah ‘proses kesetiaan’ (fidelity) pada peristiwa, bukan entitas individual. Ketika dua “penakut” memutuskan bersama, mereka menjadi ‘subjek-yang-menamai’ (naming-subject) yang setia pada kebaruan yang mereka proklamasikan (sebuah jam’iyah). Kesetiaan ini membangun suatu konstruksi ‘kebenaran-generik’ (generic truth): keberanian bukan lagi sifat individu, keberanian baginya merupakan kebenaran yang dibangun melalui praktik kolektif (jama’ah). Dalam matematika himpunan Badiou, 1 + 1 tidak lagi = 2 dalam arti kumulatif, ini adalah penciptaan himpunan baru dengan sifat yang tak tereduksi pada elemen pembentuknya. Seperti himpunan kosong (∅) dalam teori Zermelo–Fraenkel (ZF) yang menjadi dasar segala struktur, “kehampaan” ketakutan justru menjadi fondasi keberanian kolektif (jama’ah).
Lalu pemaksaan (forcing) terjadi ketika kebenaran baru ini mengubah tatanan pengetahuan. Keberanian yang awalnya tak terpahami (indiscernible) dalam logika individual, melalui konsistensi tindakan kolektif, “memaksa” dirinya masuk ke dalam ensiklopedia situasi. Inilah momen ketika “dua orang pemberani” menjadi fakta sosial yang tak terbantahkan. Namun, Badiou mengingatkan: kebenaran yang telah terinkorporasi ke dalam pengetahuan berisiko menjadi “rezim baru”. Keberanian kolektif bisa berubah menjadi dogma jika subjek kehilangan kesetiaan pada proses kreatifnya.
Secara, psikologi sosial juga memperlihatkan resonansi empirisnya melalui konsep seperti risky shift: kecenderungan kelompok mengambil keputusan yang lebih berani daripada individu. Beda halnya dengan Badiou, menolak reduksi ini ke sekadar dinamika psikologis. Baginya, transformasi “penakut –> pemberani” adalah ‘prosedur kebenaran’ (truth-procedure) yang bersifat ontologis. Ketika kelompok mempertahankan fidelity (proses kesetiaannya) pada keputusan kolektif (jama’ah), secara konsekuen mereka bakal membangun ‘kebenaran-generik’ baru tentang hak kolektifnya, tidak hanya pengubahan pada persepsi risiko kolektif.
Namun juga, kebenaran-generik rentan dikhianati ketika kolektivitas (jama’ah) terjebak dalam inkorporasi. Maka diperlukan “kesetiaan pada kesetiaan”: praktik kritik internal yang menjaga api peristiwa (ḥarakah) tetap hidup. Dalam konteks “para penakut yang berjamaah”, keberanian kolektif harus terus-menerus diuji melalui refleksi apakah tindakan kelompok masih setia pada momen ‘penamaan’ awal atau telah terkooptasi oleh logika baru. Proses ini—seperti dalam organisasi gerakan sosial yang sehat—mencegah keberanian menjadi dogma, dengan menjadikan keraguan bukan musuh, tetapi bahan bakar dialektis untuk merevitalisasi fidelity.
Transformasi ontologis ini mengandung konsekuensi etis yang bisa dibilang cukup radikal. Jika keberanian lahir dari fidelity pada keputusan kolektif (jama’ah), maka tanggung jawab subjek bukan pada “menjadi pemberani” secara individual, melainkan pada komitmen tanpa syarat terhadap proses kebenaran yang digulirkan ‘peristiwa’. Badiou menuntut keteguhan pada jalur “kebenaran-generik” meski bertentangan dengan “pengetahuan” situasi. Dalam paradoks penakut-berjamaah, ini berarti dua individu tak lagi terikat pada identitas lamanya (ketakutan), tetapi terkonstitusikan sebagai pembawa kebenaran baru—sebuah tanggung jawab yang memutus mata rantai ensiklopedia ketakutan.
Pada batasannya, hal ini bisa dibilang tidak semua kolektivitas otomatis menjadi situs-evental. Syarat mutlaknya adalah kedekatan dengan kehampaan (void). Artinya, “para penakut yang berjamaah” hanya melahirkan keberanian generik ketika kolektivitas itu sendiri berada di tepi jurang ketiadaan makna—misalnya dalam situasi keputusasaan ekstrem di mana logika ketakutan benar-benar kolaps. Di luar kondisi ini, bersatunya dua “penakut” mungkin hanya menghasilkan akumulasi kuantitatif ketakutan. Inilah batas kosmologis paradoks tersebut: ontologi perubahan radikal hanya menyala di pinggiran kekosongan aliran sungai, bukan di ruang aman kalkulasi biasa.
Paradoks “para penakut yang berjamaah” mencerminkan mekanisme ontologis dalam kerangka Badiou: di mana kolektivitas (berjama’ah) membuka kemungkinan peristiwa yang mengganggu tatanan identitas yang tetap. Keberanian lahir bukan dari penghilangan ketakutan, keberanian lahir dari ‘kesetiaan-subjektif’ pada keputusan bersama yang mentransendensinya. Dalam perspektif ini, kalimat tersebut adalah alegori politik yang dalam proses transformasi sosial dan selalu dimulai dari pengakuan atas kerentanan bersama (situs evental), lalu diikuti tindakan penamaan kolektif yang mengubah kerentanan menjadi kekuatan generik. Di situlah matematika himpunan bertemu praksis emansipatoris—di mana 1 + 1 tidak lagi sekadar 2, ia adalah kelahiran subjek baru yang tak terduga.
Keberanian kolektif ini bersifat emansipatoris sekaligus rapuh: ia mampu memaksa (forcing) tatanan pengetahuan usang, tetapi rentan terkubur oleh rezim baru jika kehilangan kesetiaan pada ruh peristiwa (event) awalnya. Ya, paradoks itulah yang mencapai kedalaman etisnya: justru dalam komitmen pada kerentanan bersama—bukan dalam ilusi ketakmandirian—terkandung benih-benih subjektivitas baru yang mampu mengubah ketakutan menjadi kekuatan.
Bahan Acuan
Badiou, Alain. Being and Event. 4 ed. Continuum, 2010.
Badiou, Alain, dan Slavoj Zizek. Filsafat di Masa Kini. Cetakan pertama, Desember 2018. BasaBasi, 2018.
Setiawan, R. Subjektivitas dalam Filsafat Politik Alain Badiu dan Slavoj Z̆iz̆̆ek. Cetakan pertama. IRCiSoD, 2021.
Suryajaya, Martin. Alain Badiou dan Masa Depan Marxisme. Resist Book, 2011.