Paradigma Pendidikan Islam Kontemporer: Paradoks Identitas dalam Eskalasi Globalisasi dan Komodifikasi Dunia

Dalam arus deras globalisasi yang tak terhindarkan, pendidikan Islam menghadapi tantangan epistemik yang kompleks dan sistemik. Ia berada pada posisi diaspora epistemologis—terpecah antara tradisi klasik yang berakar kuat pada teks suci dan struktur otoritas ulama, serta tekanan modernitas yang mengusung efisiensi, standardisasi, dan logika pasar. Di satu sisi, pendidikan Islam dituntut untuk menjaga jati diri normatif-nya, namun di sisi lain dipaksa menyesuaikan diri dengan realitas modernitas yang menuntut fleksibilitas paradigma pembelajaran. Inilah paradoks yang mendalam: di satu sisi ada upaya membentengi identitas keislaman, di sisi lain ada godaan untuk melakukan perkawinan pragmatis antara religiusitas dan pasar global. Situasi ini melahirkan onani wacana pembaruan yang simbolik, tapi mandul secara praksis.

Eskalasi teknologi informasi dan komunikasi, dengan internet dan media sosial sebagai instrumen utama, membuka ruang baru yang bersifat multidimensi. Namun, ruang ini juga membawa risiko serius terhadap komodifikasi nilai-nilai religius, di mana pengetahuan keislaman dijual sebagai konten viral diringkas, dikutip, dan dikonsumsi tanpa kritik. Fenomena ini bukan sekadar degradasi metodologis, tapi bagian dari krisis epistemologi yang lebih luas: ilmu agama direduksi menjadi slogan spiritual, bukan proses reflektif yang transformatif. Sebagaimana dikritik oleh Bassam Tibi (1996), Islam dalam konteks ini rentan terjebak dalam “Islamic culturalism” yang meromantisasi simbol sambil mengabaikan substansi.

Fazlur Rahman, solusi dari stagnasi ini bukanlah sekadar modernisasi kurikulum, melainkan reformasi epistemologi di mana ijtihad dan tafsir kontekstual menjadi jantung dari sistem pendidikan Islam. Rahman melihat pentingnya menghubungkan inti moral ajaran Islam dengan konteks sejarah umat yang terus berubah. Sayangnya, mayoritas lembaga pendidikan Islam hari ini masih terkunci dalam rigiditas metodologis dan skripturalisme steril yang gagal membumikan ajaran Islam dalam tantangan sosial-kultural kontemporer.

Pada titik ini, gagasan Paulo Freire memberi relevansi yang kuat. Melalui Pedagogy of the Oppressed, Freire mengajukan model pendidikan yang menolak sistem “banking” yakni model pendidikan yang memposisikan peserta didik sebagai objek pasif yang hanya menerima informasi. Freire menawarkan alternatif berupa problem-posing education, sebuah pendekatan pedagogis yang menempatkan siswa sebagai subjek aktif yang mampu membaca realitas sosial secara kritis, melakukan refleksi, dan mengartikulasikan solusi. Dalam bahasa Freire, ini adalah proses conscientizacao yakni kesadaran kritis yang membebaskan.

Jika kita kontekstualisasikan dalam pendidikan Islam, maka tantangannya adalah mendorong ijtihad pedagogis yang memfasilitasi peserta didik untuk tidak sekadar tahu, tapi sadar. Kesadaran ini mencakup realitas struktural yang menindas, serta kapasitas untuk menjadi aktor perubahan. Inilah yang hilang dalam sebagian besar lembaga pendidikan Islam: proses pendidikan lebih menyerupai monolog epistemik ketimbang dialektika transformatif. Guru menjadi pewaris otoritas, bukan fasilitator dialektika; sementara peserta didik menjadi penyalin, bukan penggugat.

Lebih jauh, komodifikasi ilmu pengetahuan Islam dalam lanskap global juga memperkuat orientasi pragmatis, di mana ilmu menjadi semata alat untuk kapital sosial, bukan sebagai jalan spiritualitas atau pembebasan. Kita menyaksikan perkawinan ideologis antara pasar kerja dan lembaga pendidikan yang seharusnya kritis terhadap struktur kuasa. Dalam banyak kasus, pendidikan Islam terjebak menjadi instrumen ideologisasi status quo, bukan alat emansipasi sosial.

Solusinya tentu tidak bisa berhenti pada kritik retoris. Diperlukan pendekatan multidisipliner yang memadukan epistemologi Islam dengan teori-teori kritis kontemporer, termasuk Freire dan tokoh semacam Jack Mezirow, Henry Giroux, dan bahkan pendekatan Islamic critical pedagogy seperti yang ditawarkan oleh Abidullah Ghazi dan Ebrahim Moosa. Pendidikan Islam perlu masuk dalam wilayah transformasi praksis yang membebaskan, bukan sekadar menjadi lembaga reproduksi budaya.

Seperti diingatkan oleh Mustofa Kamal Pasha (2020), pendidikan Islam mesti memainkan peran sebagai agent of transformation, bukan sekadar penyambung tradisi atau pelindung doktrin. Guru bukan hanya harus paham ayat dan hadis, tapi juga paham struktur ketidakadilan, hegemonisasi wacana, serta dinamika ekonomi politik pengetahuan. Mereka harus menjadi diaspora intelektual yang mampu menjembatani antara wahyu dan dunia, antara masa lalu dan masa kini, antara teks dan konteks.

Maka, daripada terjebak dalam ritual intelektual yang stagnan, saatnya pendidikan Islam berani menunjukkan diferensiasi epistemik, yakni memilih untuk tidak hanya taqlid kepada Barat atau taqlid kepada masa lalu, tapi menciptakan sintesis kritis yang membebaskan. Tanpa langkah ini, generasi muda Islam akan terus terombang-ambing dalam paradoks identitas: ingin jadi modern tapi tetap religius, ingin global tapi takut kehilangan lokalitas, ingin unggul tapi terjebak dalam imitasi kognitif.

Sudah saatnya kita menyudahi pesta retorika, dan mulai bekerja dalam diam, menciptakan sekolah, ruang belajar, dan lingkungan epistemik yang tak lagi menjadi arena perselingkuhan kekuasaan dan dogma, tetapi menjadi ekologi pemikiran yang merdeka dan membebaskan.

 

-Zarfa