Privasi Era Digital [Milik Siapa Data Kita] (Part 1)

Menerangi langit dunia dengan cahaya revolusi yang tak mengenal jeda. Setiap klik, setiap sentuh layar, setiap jejak digital yang ditinggal manusia, membentuk semesta baru bernama datafiksi yang menjelma realitas buatan penuh logika—tetapi miskin rasa dan makna. tentang bagaimana kita diterjemahkan dalam bentuk angka, pola, dan statistik algoritma—yang dingin namun berdaya. jagat maya, identitas tak hanya disimpan, tapi juga dikapitalisasi dalam bentuk rupa-rupa kuota, paket, dan metadata.

Konsekuensi dari jejak digital dan ekonomi data—di mana manusia bukan lagi subjek otonom, melainkan objek dalam pameran raksasa bernama platform yang mengeruk keuntungan dari setiap fragmen perilaku, dari yang tampak maupun yang sengaja dilupa. Ekonomi data seperti transaksi—juga transfigurasi: pengubahan nilai manusia menjadi aset yang bisa diperjualbelikan, diprediksi, bahkan dimanipulasi. Privasi menjadi komoditas langka, dan persetujuan hanyalah formalitas basa-basi digital yang ditandatangani tanpa benar-benar dibaca, apalagi dimaknai. Semua berputar dalam sirkulasi kuasa informasi yang tak pernah netral.

Apa yang disebut sebagai krisis privasi dan kontrol atas data pribadi —zaman ketika kepemilikan atas informasi tak lagi di tangan manusia, melainkan di pelataran kekuasaan algoritma yang tak bernama. Identitas digital terperangkap dalam arsitektur sistem yang kian memusingkan kepala, menciptakan ilusi kebebasan yang sejatinya penuh jebakan dan logika terselubung. Kontrol adalah ilusi, dan pengawasan adalah norma yang menyamar dalam bentuk kenyamanan instan. Maka tak ayal, manusia kini dihadapkan pada paradoks eksistensial: ingin terhubung, tapi tak ingin terbuka; ingin bebas, tapi terjajah oleh data yang disangka miliknya, padahal telah lama menjadi bagian dari kekayaan entitas yang tak terbaca, tak bersapa.

Krisis Privasi dan Ledakan Data

Ruang sunyi dalam dada, melainkan medan makna yang kian diperdebatkan, batas antara aku dan dunia, medan kuasa antara tubuh dan data. Ketika batas-batas dunia fisik diluruhkan oleh klik dan sapuan jari di layar kaca, privasi menjelma sebagai benteng terakhir bagi eksistensi manusia yang ingin tetap punya rahasia, tetapi punya luka, dan tetapi ingin juga punya makna—tanpa harus diumbar kepada algoritma yang buta rasa. Privasi adalah bentuk paling sunyi dari perlawanan manusia terhadap industrialisasi jiwa, terhadap normalisasi pengintaian atas nama efisiensi dan rekayasa.

Namun tak berhenti di sana, sebab dimensi privasi ialah perkara informasi yang disembunyikan juga relasi yang dikomunikasikan, dan kebebasan yang ingin dipertahankan tanpa terjebak dalam kontrol yang tak bernama. Informasi—yang dulunya milik pribadi, kini menjadi umpan algoritmik yang dibaca, dianalisis, dan dijual dengan logika laba. Komunikasi—yang dahulu berlangsung dari hati ke hati, kini dijaring oleh jaringan yang tak berpihak pada nurani. Dan kebebasan—yang dahulu berarti kedaulatan berpikir dan merasa, kini dikonstruksi oleh pilihan-pilihan semu yang dikurasi oleh sistem yang hanya berpihak pada kapital dan kuota. Maka privasi digital, dalam makna yang lebih hakiki, adalah perlawanan epistemik terhadap kolonialisasi jiwa dalam format data dan rupa.

Tapi, atas atmosfer itulah, manusia era digital menjadi makhluk paradoks: ingin menjadi bagian dari dunia, tapi juga takut kehilangan dirinya. Ingin terkoneksi, tapi juga ingin dilindungi. Ingin bebas, tapi juga ingin dikurasi. Alih-alih dimensi privasi ialah bagian dari moral, tapi pertaruhan terus menjebak bak sinyal. Di sana, antara klik dan algoritma, antara pulsa dan paradigma, manusia mencari ulang makna menjadi makhluk yang punya rahasia—bukan sekadar angka, bukan sekadar nama (harusnya).

Data eksplisit vs implisit (behavioral data vs inferred data)

Makna privasi mengalami metamorfosis dari wilayah ontologis hingga ke dasar-dasar eksistensialnya. Dahulu kala (entah zaman kapan), privasi dimaknai sebagai personal space; sebuah ruang hening antara “aku” dan “mereka”, antara tubuh dan dunia, antara suara batin dan hiruk-pikuk yang ingin mencurinya. Ruang privat adalah wilayah tak bersuara namun sarat makna, tempat manusia menjadi dirinya yang paling jujur tanpa sandiwara. Namun kini, dalam dunia yang ditaut oleh jaringan tak kasat mata, privasi telah bermigrasi menjadi personal data—data yang berbicara tentang siapa kita juga bagaimana kita dirancang, dibentuk bahkan diprediksi oleh sistem yang tak pernah kita kenal wajahnya, tak pernah kita sapa namanya —apalagi saling bertemu dengannya.

Megahnya era digital yang menjanjikan konektivithttps tanpa batas, privasi kita justru menjadi barang dagangan paling laris di pasar teknologi. Negara, lembaga, hingga perusahaan seakan berlomba-lomba meraup keuntungan dari setiap klik dan ketukan layar yang kita lakukan, seolah data pribadi bukan lagi hak, melainkan komoditas yang boleh diperjualbelikan. Ironisnya, regulasi baru yang diharapkan menjadi tameng justru sering kali terasa seperti janji kosong di tengah kebocoran yang berulang. Sementara pengguna dibuat terlena dengan ilusi keamanan, privasi mereka telah terancam sejak awal. Privasi di era digital, mungkin, hanyalah mitos yang semakin jauh dari realitas.

Privasi hari ini adalah ladang perburuan yang legal di mana dimensi dirinya menghadirkan narasi moral, tapi juga politikal, kapital, bahkan integral. Ia menjelma dalam tiga bentuk utama: informasi, komunikasi, dan kebebasan yang seluruhnya kini bisa dibeli, dijual, dan ditukar. Informasi, dahulu milik pribadi yang hanya dibagikan dengan kerelaan kini menjadi sumber daya strategis yang diburu platform dengan segala kecanggihan. Komunikasi, yang semula menyiratkan relasi antar manusia secara horizontal, kini dimediasi oleh perangkat yang menyusup vertikal. Sementara kebebasan, yang seharusnya berarti kemampuan untuk memilih dan menolak, justru dikebiri oleh desain antarmuka yang menggiring pikiran dengan teknik persuasi visual.

Di sisi lain, muncul pula pembedaan antara data eksplisit dan data implisit. Data eksplisit adalah data yang disediakan langsung oleh pengguna: nama, alamat, usia, hobi. Tapi data implisit, seperti behavioral data dan inferred data, justru lebih berbahaya karena ia tidak kita sadari keberadaannya. Mesin-mesin canggih hari ini bisa menafsirkan kebiasaan tidur kita dari waktu aktif WhatsApp (termasuk saluran wa diskursus institute ini), membaca suasana hati kita dari cara kita menggulir layar, atau bahkan menilai orientasi politik kita dari ketertarikan kita pada meme tertentu. Dengan kata lain, data digital tak lagi bicara tentang apa yang kita beri, melainkan apa yang mereka gali dari tubuh yang diam hingga pikiran yang tersembunyi.