Dalam kerangka hukum Islam Sunni, kita diwarisi empat pilar utama sebagai sumber hukum: al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan qiyas. Namun terlalu sering, dalam praksis maupun wacana keagamaan, keempatnya diperlakukan seperti formula statis—padahal sejarah Islam klasik justru menyuguhkan dinamika intelektual yang dinamis. Salah satu perdebatan yang paling subtil sekaligus strategis menyangkut status qiyas: apakah ia murni produk akal manusia atau tetap bagian dari wahyu?
Pertanyaan ini, kendati teknis, sebenarnya menyimpan sisi yang kompleks: bagaimana hukum Islam merespons dunia yang terus berubah tanpa kehilangan klaim sakralitasnya?
Ibn Rusyd, seorang filsuf—cum—fuqaha dari mazhab Maliki, sudah lama mengetengahkan masalah mendasar ini. Teks wahyu itu terbatas, sedangkan realitas manusia tidak, katanya. Wahyu turun di abad ke-7, sedang manusia sekarang hidup di dunia abad ke 21 yang sudah sangat-sangat maju dalam peradaban dan menuntut jawaban atas kompleksitas persoalan. Transaksi cashless, kartu kredit, kontrak asuransi, trading berjangka, judi online, investasi saham, obligasi, artificial intelligence, hingga pinjaman peer-to-peer lending, semuanya realitas mutakhir yang jauh dari horizon sosial-politik Hijaz abad ketujuh.
Jika hukum Islam hanya mengandalkan wahyu literal, maka umat akan terperangkap dalam kebisuan normatif. Walhasil, muncullah mekanisme ijtihad, dan dalam kerangka yang paling klasik, qiyas menjadi metodenya. Qiyas bukan sekadar akal. Tetapi juga bukan wahyu murni.
Dari sini, sosok Imam al-Ghazali tampil sebagai figur intelektual yang merentang dua kutub arus utama pemikiran besar: kaum rasionalis yang memberi tempat dominan bagi akal dalam membentuk hukum, dan kaum tekstualis yang memutlakkan wahyu. Sikap al-Ghazali ini—yang menerima qiyas namun dengan syarat—membuka jalan tengah yang filosofis sekaligus teologis.
Ia menulis Asas al-Qiyas, sebuah risalah pendek namun penuh implikasi epistemologis. Bagi al-Ghazali, qiyas bukanlah sumber hukum yang independen. Ia tidak mampu berdiri sendiri. Qiyas perlu sekaligus tetap bersandar pada wahyu. Bahkan lebih lagi, bagi al-Ghazali, qiyas hanya sah bila ‘illat-nya—yaitu alasan hukum atau kualitas yang jadi dasar analogi—tersirat atau tersurat dalam wahyu. Jika tidak, maka analogi yang dilakukan itu cacat epistemik. Ia menjadi ‘illat mulghah—alasan yang dibuang.
Argumen ini bukan perkara teknis, tapi mencerminkan pandangan dari seorang al-Ghazali. Ia percaya bahwa Allah telah menyimpan dalam wahyu-Nya benih-benih logika hukum, termasuk semacam “peta korelasi” antara kasus lama dan baru. Dengan demikian, kerja akal manusia bukan mencipta hukum baru, melainkan menyingkap struktur yang sudah ada dalam wahyu itu sendiri.
Sebagai ilustrasi, lihat kasus khamr (arak). Al-Qur’an mengharamkan khamr yang dibuat dari anggur. Bagaimana dengan minuman keras lain seperti vodka, whisky, atau tuak? Qiyas menghubungkan semua itu dengan khamr karena ada kesamaan: intoksikasi atau mukhamarah. Tapi al-Ghazali menolak bahwa ini murni kerja akal. Menurutnya, dalam penyebutan “khamr” oleh wahyu sudah terkandung maksud bahwa segala yang memabukkan adalah haram. Jadi keharaman vodka, bir, whisky dan sebagainya tetap bersumber dari wahyu, bukan murni hasil penalaran manusia.
Pandangan ini memperlihatkan posisi teologis al-Ghazali sebagai seorang Sunni ortodoks—ia memosisikan wahyu sebagai landasan utama. Tapi al-Ghazali bukan penolak rasio. Ia memberi ruang bagi akal, tapi hanya sebagai alat baca terhadap wahyu, bukan sebagai legislator otonom.
Sikap yang, sungguh berseberangan dengan Ibn Rusyd. Ia menyatakan bahwa rasio manusia bisa menjadi sumber hukum bila tak ditemukan teks wahyu yang eksplisit. Bagi Ibn Rusyd, hukum harus hidup—ia bukan fosil masa lalu, tetapi proyek penalaran yang terus diperbarui. Maka qiyas bisa (dan harus) dibangun dari prinsip moral dan keadilan yang bisa dirumuskan akal manusia.
Dalam benturan dua hal ini kita melihat bukan sekadar perbedaan teknis hukum, melainkan perbedaan filosofi tentang otoritas. Siapa yang sah memberi hukum: Tuhan secara langsung, atau manusia melalui akal yang tercerahkan? al-Ghazali menyatakan Tuhan tetap sumber hukum, tapi manusia diberi ruang untuk menafsirkan melalui korelasi yang terpetakan dalam teks. Ibn Rusyd malah bicara bahwa Tuhan memberi akal sebagai alat untuk menyusun hukum baru bagi kenyataan yang tidak dikenal wahyu.
Perbedaan ini menjadi cermin dari khazanah Islam klasik yang tidak tunggal, tidak kaku, dan tidak stagnan. Justru karena itulah ia kaya, vital, dan layak dikaji ulang.
Di zaman sekarang, ketika mungkin ada saja kelompok yang masih terjebak dalam absolutisme fiqh dan sebagian lainnya terjebak dalam relativisme moral, pelajaran dari al-Ghazali dan Ibn Rusyd justru menjadi penting. Mereka menunjukkan bahwa perbedaan bukan untuk diseragamkan, tetapi untuk dipahami sebagai kekayaan warisan berpikir. Bahwa Islam tidak pernah mati di tangan nalar, tapi justru hidup karena perdebatan yang berani dan jujur.
Sayangnya, banyak wacana hukum Islam kontemporer kehilangan keberanian untuk berselisih secara sehat. Kritik direspons dengan penuh kecurigaan, dan perbedaan ditanggapi dengan pemberangusan dan disingkirkan. Padahal, jika kita menengok ke belakang, para pemikir besar seperti al-Ghazali dan Ibn Rusyd justru menyuburkan perbedaan itu demi merawat relevansi wahyu di tengah dunia yang selalu berubah.
Syahdan, ada hal yang perlu kita warisi: bukan pendapat mereka, tetapi keberanian mereka untuk tidak memilih cara berpikir biner. Saya sendiri adalah seorang Rusydian yang masih mencintai etika kemanusiaan ala Ghazalian. [ ]