Refleksi Demonstrasi, Frustasi dan Permasalahan Sistem Pengelolaan Negara

Gejolak demonstrasi terjadi di Jakarta dan beberapa wilayah daerah lain menandakan bahwa masyarakat sudah jenuh dan merasa aspirasinya tidak pernah didengar oleh para pejabat baik eksekutif maupun leglislatif. Demonstrasi tersebut menyikapi problem kenegaraan.  Inti permasalahan bisa dilihat dari problem efisiensi dan defisit anggaran negara atas kebijakan program-program pemerintah seperti makan gizi gratis, danantara , koperasi merah putih, sserta maraknya korupsi terstruktur dan sistematis yang dapat menguras Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Di sisi lain, para anggota Dewan perwakilan Rakyat (DPR) menunjukan hidup hedon, “joget-joget” dan menikmati fasilitas negara dari gaji dan tunjangan yang fantastis di tengah masyarakat yang hidup susah, angka pengangguran dan kemiskinan semakin tinggi, tidak terdampak dari kebijakan efisiensi Presiden.

“Joget-joget” dan isu tunjuangan DPR hanyalah efek dari menumpuknya sekian permasalahan negara yang ada. Publik marah dengan kekecewaan yang sudah tidak bisa dibendung dengan iming-iming dan janji palsu para pejabat. Padahal kritik-kritik penolakan kebijkan program pemerintah makan gizi gratis lebih baik ditiadakan, dan diganti dengan program sekolah-kuliyah gratis. Kemudian aspirasi masyarakat lain yang tidak didengar oleh para anggota dewan tentang segera mengesahkan UU Perampasan Aset, namun DPR mengerjakan dan mengesahkan UU lain seperti RUU TNI dengan cara fast track. Sehingga jauh dari partisipasi bermakna bisa dilihat harapan dan aspirasi masyarakat tidak pernah didengar dan dijalankan. lebih parah direspon oleh dengan kata-kata kasar dan tidak logis.

Sebagai respon demonstrasi, dalam pidatonya, Presiden Prabowo Subianto menunjukan sikap yang kurang menyeluruh dalam mencari solusi atas akar permasalahan, mesikpun menyinggung mencabut tunjangan dan moratorium DPR, alih-alih menuduh dan membuat isu lain dan menuduh pihak lain atas permasalahan gejolak demonstrasi, dengan kalimat “mengarah kepada makar dan terorisme”, efeknya masyarakat semakin dibuat bingung dan kurang tercerahkan terhadap akar permasalahan yang ada.

Jika membaca permasalahan, setidaknya ada tiga elemen dasar permasalahan hukum kenegaraan. Menurut Lawrence M. Friedman dalam bukunya The Legal System A Social Science Perspective menjelaskan  ada tiga kompenen dasar sistem hukum untuk bisa memperbaiki keadaan dan situasi permasalahan hukum dan kenegaraan di Indonesia.  Friedman menjelaskan bahwa harus adanya perbakian dari struktur hukum, subtansi hukum, dan budaya hukum. Melihat perkembangan pesoalan kenegaraan yang terjadi, demonstrasi yang memakan waktu kurang lebih empat-lima hari secara berturut-turut, mengharuskan adanya perubahan politik dan sistem hukum yang ada. Hal yang perlu dicermati adalah bagaimana sikap pemerintah mau memperbaiki, mengevaluasi, dan berbenah diri.

Lawrence M. Friedman mengenai subtansi hukum menyatakan bahwa “The substance is composed of substantive rules and rules about how institutions should behave” (Lawrence M. Friedman , 1975:14), artinya apa yang dijalankan oleh legislatif (DPR) dalam menyusun peraturan dan prodak-prodak perundang-undangan yang adil, tidak diskriminatif, dan berpihak kepada rakyat, program-program RUU tersebut tidak hanya menjadi proxy pemerintah. Kemudian mengenai struktur hukum, “The structure of a system is its skeletal framework; it is the permanent shape, the institutional body of the system” (Lawrence M. Friedman , 1975:14) yaitu reformasi yudikatif; kepolisan, kejaksaan, dan lembaga peradilan, legislatif, untuk menegakan hukum yang transparan dan berkeadilan, termasuk lembaga penyelenggaraan pemilu harus dievaluasi seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu ( Bawaslu). Kemudian, aspek budaya hukum, “For want ofa better term, we can call some of these forces the legal culture. It is the element of social attitude and value” (Lawrence M. Friedman, 1975:15), sikap masyarakat harus tetap sadar, peduli, dan kritis terhadap program-program yang dijalankan oleh eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Mendukung program yang baik yang dijalankan oleh pemerintah, dan menolak dan menyuarakan program pemerintah yang buruk. Sehingga masyarakat menjadi penyeimbang berjalanannya roda pemerintahan, tentunya dengan cara yang sesuai amanat konstitusi dan prinsip hukum yang berlaku. Serta tidak mau ditumpangi kepentingan politik manapun.

Sebagai sebuah sistem, sikap masyarakat yang baik (social attitude and value) harus bisa menjauhkan dari juga dalam praktik money politic untuk menjadikan pemiliu yang bersih, jujur, dan adil dan benar-benar mendapatkan para calon pemimpin yang berkualitas. Jika ini dilanggar, maka jangan disalahkan seandainya para pemangku kebijakan hanya bisa “joget-joget” tanpa mengetahui kepentingan apa yang harus diperjuangkan. Budaya hukum masyarakat seperti halnya budaya politik seperti yang digambarkan oleh Friedman, sikap masyarakat harus dijaga dari potensi-potensi buruk yang akan dating dari sebuah bangsa-negara, “The term roughly describes attitudes about law, more or less analogous to the political culture, which Almond and Verba defined as the “political system as internalized in the cognitions, feelings, and evaluations of its population”. (Lawrence M. Friedman, 1975:15).

Untuk itu, dalam penyelenggaraan pemilu harus adanya perbaikan dan reformasi yang menyeluruh. Tidak hanya pragmatisme untuk berlomba-lomba meraup suara banyak dengan cara mencari para artis dan pengusaha yang memilki popularitas dan memegang uang banyak. Pengkajian ulang rekruitmen calon legislatif dan calon pejabat eksekutif oleh partai-partai harus mengarah kepada calon-calon yang berkualitas. Seperti meningkatkan syarat calon tidak hanya lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) melainkan diharuskan sarjana, dengan lulusan kampus terakreditasi dan sebagainya. Bukan mengarah pada diskriminatif melainkan untuk membuka peluang calon lebih berkualitas. Artinya siapaun jika mau mencalonkan diri harus menempuh pendidikan sarjana terlebih dahulu.

Saat ini menjadi Mahasiswa Doktor Hukum Universitas Diponegoro, dan aktif pada Isu Hukum dan HAM di Yayasan Pemberdayaan Komunitas Elsa