Sastra Jendra dan Gairah yang Menggagalkan Keilahian: Ulasan Novel

Judul: Anak Bajang Menggiring Angin
Penulis: Sindhunata
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 2018 (terbit pertama kali tahun 1983)
Jumlah halaman: 487 halaman

Konon, manusia pernah begitu dekat dengan keilahian. Tapi justru ketika hendak menyentuhnya, tangan mereka terbakar.

Sindhunata, menulisnya dengan epik dalam novel “Anak Bajang Menggiring Angin.” Novel yang, merupakan kompilasi atas cerita bersambung seri Ramayana dalam harian Kompas lebih empat dekade yang lalu. Ia tak sekadar menulis ulang epos tua Ramayana. Ia tidak sedang bercerita tentang Rama atau rahwana, bukan pula soal kereta terbang, panah sakti, atau peperangan adikodrati. Yang diceritakannya justru adalah satu hal yang lebih purba dari kisah paling purba: hasrat manusia untuk menjadi suci, dan kegagalan besar yang menyertainya. Dari sana lahirlah apa yang kita kenal dengan penderitaan.

Di taman kenanga yang sunyi, di luar jangkauan ingar manusia, dua tokoh bertemu bukan untuk mencintai—tetapi untuk memahami. Sukesi, seorang putri Alengka, ingin menikah hanya dengan orang yang mampu menjabarkan “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu”—sebuah ajaran rahasia tentang kesempurnaan. Suatu ajaran yang bukan milik manusia. Ia hanya bisa didengar, bukan dipahami. Ia bisa dibisikkan, tapi tak bisa diucapkan sepenuhnya. Begitu dikatakan, dunia pun retak dan hancur berantakan.

Wisrawa, seorang begawan, mencoba menjabarkannya. Bukan karena ia bodoh atau sombong, tapi karena ia ayah. Ia ingin menyenangkan putranya, Danareja, yang telah jatuh cinta pada Sukesi. Maka, cinta seorang ayah mengalahkan nalar seorang resi. Dan bencana pun mulai menampakkan wajahnya.

Ketika Sastra Jendra dijabarkan, bukan kesucian yang datang lebih dulu. Yang muncul adalah kegembiraan—lalu gairah. Ketika keduanya mulai memahami rahasia semesta, tubuh mereka justru menggigil, bukan karena kebijaksanaan, tapi karena hasrat yang tak tertahankan. Dan mungkin di sini Tuhan campur tangan. Batara Guru turun, menyamar menjadi nafsu itu sendiri, menyelinap ke tubuh-tubuh mereka—sebagai goda dan sebagai jebakan.

Dan manusia pun gagal lagi. Kesucian batal. Hasrat menang.

Namun, bukankah ini memang tabiat manusia? Mungkin novel Sindhunata ini menjadi tafsir teologis sekaligus kritik eksistensial. Bahwa manusia diciptakan tidak untuk menjadi ilahi. Ketika manusia menjadi sempurna, dunia akan runtuh. Dewa-dewa kelak menganggur. Dan keadilan tak lagi punya tempat.

Maka, ketika Wisrawa dan Sukesi bercinta di taman kenanga—itu bukan hanya soal percintaan, itu adalah penyelamatan dunia. Dunia diselamatkan oleh kegagalan manusia menjadi sempurna. Dunia bertahan karena manusia tetap penuh nafsu, gagal, ingin, mencintai, dan kecewa.

Sindhunata mengajak kita menyadari bahwa nafsu bukan lawan dari kebajikan, tapi justru syarat keberadaannya. Kita hanya bisa bicara tentang kesucian karena kita tahu betapa mudahnya kita tergoda. Dan justru karena itu, kita tetap manusia. Kita dibutuhkan dunia bukan ketika kita sempurna, tapi ketika kita tetap gagal, dan tetap mencoba.

“Sastra Jendra,” kata Wisrawa, “adalah cinta dalam budi.” Tapi cinta tak selalu tinggal dalam budi. Ia bisa tumbuh liar, meletus seperti gunung, menghanguskan niat-niat suci, lalu menyisakan kehampaan yang justru menyelamatkan dunia dari kegilaan kesempurnaan.

Maka kita pun kembali: ke dunia yang fana, yang berisik, yang penuh hasrat. Dan dunia tetap berputar, karena manusia tetap gagal menjadi dewa.