Selayang Pandang Sejarah dan Tradisi Psikoanalisis

Psikoanalisis selama ini selalu disalahpahami, baik oleh kalangan praktisi sekaligus akademisi psikologi yang seringkali mendaku memahami psikoanalisis dengan sangat akurat. Kegagalan dalam memahaminya terkadang cenderung fatal, karena harus mengesampingkan sesuatu yang sangat krusial dalam diri psikoanalisis seperti analisis diri atau asosiasi bebas. Ada beberapa alasan atas fenomena tersebut, di antaranya adalah tidak memahami sejarah dan tradisi psikoanalisis dengan cukup baik.

Freud sendiri menyatakan bahwa cara terbaik untuk mempelajari psikoanalis adalah dengan mengetahui konteks historisnya. Dengan demikian untuk memperoleh pemahaman yang memadai atasnya tidaklah cukup hanya dengan melahap teori-teori psikoanalisis per se, melainkan juga memahaminya secara menyeluruh—dari mana teori dan praktik tersebut dibangun, dirumuskan.

Karena itu, sebelum kita memasuki psikoanalisis lebih jauh lagi, artikel ini hendak menelusuri sejarah dan tradisi psikoanalisis, dengan tujuan agar kita tak terjebak dalam kekeliruan yang berlarut-larut atau reduksi secara brutal. Setelah menelusuri jejak-jejak historis ini barulah kita akan melaju secara perlahan untuk meneroka teori psikoanalisis Freud, khususnya tentang konsep Metapsikologi, dan psikoanalisis Lacan. Rencananya tulisan ini akan dibangun dalam tiga bagian. Pertama, seperti yang telah disinggung di paragraf awal, membahas persoalan sejarah dan tradisi psikoanalis. Kedua, perihal konsep Metapsikologi. Dan terakhir, memahami secara mendasar dan mendalam tentang psikoanalisis Lacan.

Dalam tradisi kita akan membahas sejarah singkat psikoanalisis dan budaya analisis diri. Pembahasan tradisi ini yang menjadi tulang punggung dari psikoanalisis, sekaligus pembeda antara psikoanalisis dan non-psikoanalisis. Tapi sebelum membahas hal tersebut, saya akan coba memberi ulasan singkat tentang definisi psikoanalisis.

Ada beragam pembacaan tentang definisi psikoanalisis, karena psikoanalisis terus berkembang hingga hari ini. Sementara dalam artikel ini, saya akan mengacu pada definisi yang pertama-tama diberikan oleh Freud sendiri dan setelahnya yang selalu menjadi rujukan. Penjelasan yang diberikan Freud pada Two Encyclopedia Articles (1923), yang selama ini dianggap paling sahih:

Psikoanalisis adalah nama (1) dari prosedur untuk penyelidikan proses mental yang hampir tidak dapat diakses dengan cara lain; (2) metode (berdasarkan penyelidikan itu) untuk pengobatan gangguan neurotik; dan (3) dari kumpulan informasi psikologis yang diperoleh sepanjang garis-garis itu, yang secara bertahap terakumulasi menjadi disiplin ilmiah baru.

Namun, mengingat Freud juga mengkaji fenomena sosial-budaya, ketiga aspek tersebut bagi kalangan psikoanalisis kontemporer dianggap masih kurang representatif. Hal ini dapat dilihat dari karya-karya Freud yang bejibun, di antaranya yang melingkupi aspek sosial dan budaya seperti Totem and Taboo (1913), The Moses of Micheangelo (1914), Leonardo Da Vinci and Memory of His Childhood (1910), Dreams in Folklore (1911), Dreams and Telepathy (1922), Obsessive Actions and Religious Practices (1907), dll. Maka dalam hal ini IPA (International Psychoanalytic Association) menambahkan satu lagi aspek definitif:

(4) Sebagai jalan untuk memahami fenomena budaya dan sosial seperti sastra, seni, film, pertunjukan, politik, dan masa.

Dari sini, kita pun dapat menarik suatu kesimpulan dari definisi di atas, mungkin dalam arti singkat, bahwa psikoanalisis merupakan serangkaian metode penelitian dan pengobatan jiwa, yang mana dari metode ini, didapati gagasan-gagasan yang membantu pemahaman kita dalam melihat kejiwaan manusia dan yang melingkupinya (fenomena sosial dan budaya). Meski masih terdapat satu aspek yang ditawarkan oleh kalangan Psikoanalisis Radikal (Radical Psychoanalysts) sebagai aspek etis dan kepuasaan hidup, tapi belum menjadi keperluan dalam pembahasan kali ini.

Periode Histeria, Hipnosis, dan Kelahiran Psikoanalisis

Sigismund Scholomo Freud atau akrab dipanggil Sigmund Freud dilahirkan pada bulan Mei, sama seperti halnya Marx, yang merupakan seorang ilmuwan kejiwaan sekaligus penggagas awal psikoanalisis. Semasa kecil Freud selalu disuguhi buku-buku biografi dari tokoh-tokoh besar seperti Alexander The Great, Hanibal, dll. Freud termasuk bocah yang cerdas di sekolahnya, meski ia sedari kecil telah mengalami anti-Semit. Bahkan saat remaja ia pun pernah menulis sebuah novel yang terinsipirasi dari Shakespeare, meski tak pernah diterbitkannya. Ia pun mendapat penghargaan Goethe Arwards karena tulisannya yang mantap.

Pada mulanya Freud ingin menjadi seorang ahli hukum saat ia akan memasuki Universitas Wina. Tapi kala itu orang-orang Yahudi yang menjadi ahli hukum tidak mendapatkan posisi yang semestinya, hingga Freud memutuskan untuk mengambil jurusan kedokteran. Di sana Freud berada di bawah asuhan seorang fisolog terkemuka, Ernest Brücke.

Di bawah Brücke, Freud meneliti struktur organ seks belut dan sistem saraf udang karang. Ia pun belajar hukum kekekalan energi dan dinamikanya, yang kelak menjadi pijakan Freud dalam membentuk teori kehidupan psikis berbasis konversi energi, yang terangkum dalam hipotesis ekonomi. Singkatnya, gagasan ini menyatakan bahwa semua makhluk hidup bersifat dinamis dan tunduk pada sistem distribusi energi psikis, atau bahwa energi tidak dapat diciptakan, tidak dapat dimusnahkan, tapi energi dapat berubah bentuk.

Freud sangat kecanduan dengan ide-ide Darwin, di mana saat itu Darwin tengah menguasai dataran Eropa. Hal yang sangat krusial dan utama dari teori Darwin dalam On The Origin of Species (1895) adalah tentang seleksi alam, selain perihal evolusi yang selama ini dipahami. Ide tentang seleksi alam ini adalah bagaimana makhluk hidup dapat beradaptasi, yang nantinya benar-benar menjadi objek kajian psikoanalisis.

Karena itu, psikoanalisis tidak berusaha menghilangkan gejala gangguan jiwa yang ada, melainkan berupaya untuk menjadikan manusia beradaptasi dengan lingkungan yang ada, medan yang ada, dan beradaptasi dengan dorongan-dorongan yang ada dalam dirinya. Bisa dibilang, psikoanalisis memetik inspirasi dari Darwinisme. Bahkan, konon Freud sendiri digadang-gadang sebagai Darwin-nya ilmu kejiwaan.

Kemudian memasuki periode eksplorasi Neurosis (1886-1895), saat Freud bekerja di rumah sakit, yang mulai mengantarkannya pada psikoanalisis, Freud mendapati fakta bahwa pada saat itu banyak perempuan yang mengidap sebuah penyakit aneh, seperti kelumpuhan, atau buta, atau kesulitan untuk berbicara. Gangguan kejiwaan ini dipandang unik pada masa itu, dan dunia kedokteran saat itu memiliki banyak terapi untuk penyakit kejiwaan ini yang kelak disebut dengan istilah histeria.

Histeria berasal dari kata histera, yang artinya rahim. Memang asumsi kedokteran saat itu bahwa gangguan histeria disebabkan karena adanya cairan menggumpal di dalam rahim. Maka tak ayal, yang didiagnosis sebagai pengidap histeria hanyalah kalangan perempuan. Jika ada seorang lelaki yang mengalami gangguan histeria, ia akan dianggap sebagai pembual atau hanya berpura-pura.

Dalam hal ini, ada beragam terapi untuk histeria, misalnya, hidroterapi, terapi pijat, terapi berkuda, dan terapi yang saat itu legendaris, yaitu hipnosis. Tentu hipnosis pada masa itu belum seperti sekarang yang telah banyak mengalami perubahan. Teknik yang digunakan hipnosis pada kala itu adalah teknik tatapan, dalam arti saling mengadu tatapan mata dengan waktu yang relatif panjang sampai kliennya tertidur, dan kemudian diberikan sugesti.

Freud pun telah mencoba semua terapi tersebut. Ia benar-benar menyisihkan hasil uang kerjanya—selain untuk kebutuhan rumah tangga—untuk membeli alat-alat terapi seperti terapi listrik, hidro terapi, atau terapi air. Akan tetapi, Freud sangat tertarik untuk mempelajari hipnosis. Sebelumnya ia telah mengikuti kuliah hipnosis, dan ia dibuat terkejut bahwa ternyata hipnosis bisa digunakan untuk terapi histeria. Akhirnya, ia mendapat kabar bahwa ada seorang profesor terkenal di Prancis yang menggunakan hipnosis untuk mengobati histeria, yaitu Jean M. Charcot.

Meskipun kalangan hipnosis kedokteran memandang Charcot dengan sangat sinis, karena dianggap tak memahami hipnosis dengan cukup baik. Perkataan Charcot-lah yang telah menggegerkan dunia kedokteran yang percaya pada hipnosis. Ia menyatakan bahwa hipnosis tidak dapat menyembuhkan histeria, justru orang-orang yang dihipnotis adalah orang-orang yang histeria. Jadi orang-orang yang dapat dihipnotis adalah orang-orang gangguan jiwa. Baginya, orang yang “normal” tidak dapat dihipnosis.

Namun harus diakui bahwa Charcot pada masanya memang sangat terkenal. Bahkan ia diberi gelar sebagai Napoleon of Neurosis. Ia mematenkan 125 gangguan jiwa, penyakit saraf, bahkan ada salah satu saraf yang diberi namanya, yaitu saraf Charcot yang berada di punggung kita. Itulah salah satu alasan mengapa Freud sangat ingin menjadi muridnya. Freud pun melancong ke Prancis selama beberapa bulan dan belajar pada Charcot secara langsung. Dari Charcot, Freud memahami bahwa hipnosis dapat membuat orang menunjukan gangguan kejiwaan atau histerianya, atau justru seolah-olah menghilangkan gangguan histerianya.

Mekis Charcot sama sekali tidak mendukung hipnosis sebagai sebuah terapi, melainkan hipnosis sebagai sebuah eksplorasi jiwa. Bagi beberapa kalangan analis, hipnosis ketimbang menjadi sebuah terapi, memang lebih tepat sebagai sebuah eksplorasi jiwa, bahkan Lacan sendiri di beberapa penelitiannya menggunakan hipnosis untuk memunculkan paranoia.

Syahdan, Freud belajar pada Brenheim dan Libebault, yang juga merupakan praktisi hipnosis, tapi memiliki pandangan yang sedikit berbeda. Seperti yang telah dijelaskan, saat itu yang diutamakan dari hipnosis adalah teknik tatapan mata hingga sang klien merasa letih dan akhirnya diberi sugesti. Brenheim menerapkan metode yang berbeda, baginya yang utama dalam hipnosis bukanlah tatapan mata melainkan sugestinya. Semakin seorang dokter itu pandai menggunakan sugesti, semakin baik hipnosis dapat dicapai efeknya.

Freud pun bertemu dengan kolega seniornya yang sempat sama-sama belajar pada Ernest Brücke, yaitu Joseph Breuer. Freud sangat terkejut, ketika Breuer mengatakan bahwa ia berhasil menyembuhkan pasiennya, Anna O, dengan hipnosis, hingga akhirnya mereka berdua melahirkan sebuah buku yang sangat laris, The Studies of Hysteria. Dari sinilah psikoanalisis lahir, karena untuk pertama kalinya istilah psikoanalisis muncul dalam buku The Studies of Hysteria.

Freud mulai menggunakan metode hipnosisnya Breuer, yang disebut Breuer sebagai metode katarsis. Jadi dalam katarsis, pasien dihipnotisir dan dibawa kembali ke suatu memori traumatis, kemudian pasien dibiarkan melepaskan afeksi-afeksi yang tertekan pada saat terjadinya trauma. Kejadian itu dimasukkan ke dalam hipotesa, dan tampaknya secara klinis cukup rasional bahwa abreaksi ini mungkin akan melepaskan perasaan tertekan yang berhubungan dengan trauma.

Saya akan coba berikan iliustrasinya; ketika si Anna O ini mengalami kelumpuhan pada tangan kanannya, dan tak dapat meminum air mineral, yang saat itu hanya mendapatkan asupan air dari buah semangka, dan uniknya ia tidak dapat berbicara bahasa ibunya, bahasa Jerman, ia hanya bisa berbicara bahasa Inggris. Breuer menggunakan hipnosis pada Anna O, mencari apa penyebabnya, dan ketika si Anna O mengingat dengan sangat jelas fenomena yang menjadi penyebab gangguan histerianya, hingga muncul ledakan emosi atau yang disebut dengan _abreaksi_ (yang merupakan dampak dari katarsis). Seketika gejala gangguan jiwanya hilang, misalnya, diceritakan saat Anna O ini menangis, waktu itu ia memiliki harapan di saat ayahnya menderita sakit, dan ia menjaga ayahnya dengan sangat baik.

Kemudian, Ana O melihat bahwa di gedung sebelahnya berkumpul anak muda yang sedang berpesta. Munculah pikiran yang dianggap bertentang dengan moralitas: harusnya anak muda itu bisa pesta-pesta bukan menjaga orang yang sakit. Dan ia melihat ayahnya yang memprihatinkan, hingga akhirnya ia menangis, tapi ia berusaha agar air matanya tak jatuh membasahi pipinya, sehingga betul-betul ia tahan untuk tidak menangis. Itulah yang akhirnya memicu gangguan jiwa.

Dalam hal ini, Freud pun memahami bahwa ternyata seseorang dapat sakit bukan karena ia tidak sehat atau bersih, bukan karena ia tidak mengonsumsi makanan bergizi, tapi seseorang dapat sakit hanya karena ia memiliki perasaan bersalah. Hanya karena ia memiliki pikiran yang cenderung bertentangan dengan moralitas, kemudian ia “menyadari” bahwa itu “jahat”, dan akhirnya merasa bersalah. Mungkin di zaman kita ini, hal tersebut terkesan sebagai sesuatu yang tidaklah menakjubkan, tapi pada masa itu menjadi pemahaman yang sangat luar biasa. Dari sanalah, manusia mulai dipandang bukan hanya sebatas fisiknya saja, melainkan pula dengan jiwanya.

Penemuan Asosiasi Bebas dan Analisis Diri Freud

Selang beberapa waktu, Freud memodifikasi metode katarsis ini. Mulai dari metode katarsis dengan hipnosis yang awalnya digunakan Brauer, kemudian menghilangkan hipnosis dan menggunakan metode katarsis dalam kondisi terjaga. Dan akhirnya, metode katarsis tanpa hipnosis dimodifikasi lagi menjadi asosiasi bebas, yang juga merupakan aturan dasar dalam psikoanalisis. Asosiasi bebas ini yang menjadi tradisi dalam psikoanalisis yang membuat psikoanalisis sendiri harus terbelah. Meski psikoanalisis memang menolak beragam doktrin pada umumnya, tapi ia menciptakan doktrinnya sendiri: asosiasi bebas. Inilah alasan yang membuat psikoanalisis akhirnya harus memangkas dirinya sendiri untuk bisa memasuki universitas.

Ada beberapa peristiwa yang membuat Freud terguncang: meninggalnya sang ayah, perpisahannya dengan Breuer, dan diasingkan dari dunia intelektual karena pemikirannya yang dianggap “nyeleneh”. Di saat itu pula, Freud mulai melakukan suatu tindakan yang paling dramatis dan fenomenal: melakukan psikoanalisis pada dirinya sendiri (analisis diri). Konsekuensi dari analisis diri yang Freud lakukan ini adalah studi mengenai mimpi dan seksualitas bayi. Mengenai mimpi, Freud terinsipirasi dari nabi Yusuf yang menafsirikan mimpi secara simbolik. Idenya mengenai mimpi ini terangkum dalam On Dreams dan The Interpretation of Dream. Periode analisis diri terjadi sekitar tahun 1895-1899.

Tokoh yang memiliki peran penting dalam analisis diri Freud adalah Wilhelm Fliess, seorang dokter spesialis THT yang lebih muda dari Freud, dan Minna Bernays, adik iparnya sendiri. Freud dan Fliess seringkali berkorespondensi untuk saling bertukar pikiran. Seperti yang dijelaskan, dalam melakukan analisis diri, Freud sepenuhnya menjalankan aturan dasar dalam metode asosiasi bebas: “jujur” terhadap diri sendiri.

Freud pun melakukan apa yang disebut dengan abstinence, suatu sikap mental dalam asosiasi bebas dengan pantang mengkritisi apapun yang muncul dalam pikiran. Aspek penting yang perlu kita cermati dari hubungan Freud dan Fliess adalah bahwa pada periode inilah metode analisis diri, dapat dikatakan, dikontruksikan Freud pertama kali. Metode ini nantinya akan semakin diperbaiki.

Pada hubungan Freud dan Fliess ini pula metode analisis diri awal tampak memiliki kekurangan yang signifikan, yakni desepsi diri. Desepsi diri merupakan suatu usaha yang tanpa disadari menghalangi untuk mengungkapkan kebenaran yang ada pada diri sendiri. Desepsi diri dapat berwujud kebohongan dan manipulasi lainnya. Resistensi adalah ciri khas dari desepsi diri. Terlebih bagi mereka yang memiliki dorongan narsistik yang kuat tentu akan kesulitan melakukannya.

Oleh sebab itu, Jones mengatakakan bahwa analisis diri adalah suatu kegiatan yang berat. Upaya ini telah dilakukan oleh banyak tokoh besar, mulai dari Montaigne, Juvenal hingga Schopenhauer, tapi semuanya tidak sepenuhnya berhasil. Problemnya adalah pada resistensi diri yang sangat besar. Tapi di sini, Freud berhasil melakukannya. Maka dalam analisis diri, diperlukan sikap militan dalam “jujur” terhadap diri sendiri untuk dapat melakukan analisis diri dan mengurangi desepsi diri, dengan harapan dapat terungkap apa yang terjadi dalam ketidaksadaran seseorang.

Freud melakukan analisis diri secara mendalam, dengan momen-momen regresi yang begitu jauh, bahkan hingga masa-masa infantil. Berbeda dengan para penirunya, yang cenderung melakukan analisis diri sebagai suatu romansa heroisme dalam dirinya sendiri, sebagaimana yang diungkapkan oleh Didier Anzieu:

“Banyak peniru Freud mencoba memecahkan masalah mereka sendiri melalui analisis diri sendiri, dan gagal. Tak ada yang mengejutkan dalam hal itu, karena mereka mengambil pandangan narsistik tentang analisis diri sebagai sesuatu yang akan mempromosikan pengenalan diri, sebagai semacam mundur dari dunia luar dan dari kehidupan, sebagai perlawanan terhadap perubahan internal, sebagai bentuk introspeksi-indulgensi diri.”

 


DAFTAR PUSTAKA:
Freud, Sigmund. 2005. The Essentials of Psycho-Analysis. Vintage.
Jones, Ernest. 1967. The Life and Work of Sigmund Freud. Hogart Press.
Siraj, Fakhrun. 2019. Fundamental Psychoanalysis: On Tradition and Freudian Metapsychology. Materi pelatihan psikoanalisis Asosiasi Psikoanalisis Indonesia, materi tidak diterbitkan.

Tinggal di Bandung. Belajar di Arena Studi Apresiasi Sastra UPI, Lingkar Studi Filsafat Nahdliyyin, dan Asosiasi Psikoanalisis Indonesia. Meminati kajian filsafat, sastra, psikoanalisis, dan tasawuf.