Melalui kanal media sosialnya, seorang Gubernur melarang kegiatan study tour di sekolah-sekolah karena dianggap membebani orang tua murid dan kegiatan itu dinilai sekadar piknik tanpa muatan studi yang substansi. Sebuah larangan yang terdengar simpatik di permukaan, namun justru memperlihatkan cara pandang yang sempit dan tidak mencerminkan kematangan dalam memahami kompleksitas dunia pendidikan.
Bahwa tidak semua orang tua mampu membiayai anaknya mengikuti study tour, itu benar adanya. Tetapi menjadikan ketidakmampuan sebagian orang tua sebagai dasar pelarangan total, itu cara berpikir yang tumpul. Bukankah dalam praktiknya, banyak sekolah-sekolah yang tidak mewajibkan semua siswa untuk ikut serta? Bukankah di antara sekolah juga memberi pilihan bebas (tanpa sanksi atau diskriminasi) kepada siswa yang tidak ikut? Maka jika logikanya adalah keadilan, maka jawabannya bukan larangan, tapi pengaturan. Dari mulai membatasi biaya, memberi alternatif, hingga memastikan skema subsidi silang. Melarang sepenuhnya, justru menutup kesempatan anak-anak dari keluarga mampu untuk belajar di luar kelas, dan memupus kemungkinan anak-anak dari keluarga tidak mampu untuk ikut serta program wisata sekolah.
Kemudian alasan study tour hanya piknik yang tidak mengandung unsur studi juga sangat problematik. Ia menunjukkan bagaimana seorang pejabat publik tidak memahami bahwa proses belajar tidak hanya berlangsung di ruang kelas. Pendidikan bukan sekadar hafalan, ceramah, dan ujian. Banyak sekolah yang merancang study tour dengan target pedagogis yang jelas, misal kunjungan ke museum sejarah, laboratorium sains, pusat kebudayaan, atau bahkan lembaga pemerintahan dan perguruan tinggi. Para siswa diminta membuat laporan, observasi lapangan, hingga diskusi reflektif. Saya sendiri adalah contoh kecil dari hal itu, pengalaman pertama saya melihat langsung Candi Borobudur terjadi bukan karena wisata keluarga, melainkan karena study tour sekolah. Jika bukan karena itu, mungkin Borobudur hanya akan menjadi nama abstrak dalam buku sejarah saya. Kalau wisata keluarga mungkin juga saya tidak akan menjadikan Candi Borobudur sebagai tujuan wisatanya.
Lalu, andaikata dalam praktiknya, study tour itu memang hanya menjadi piknik semata, apakah itu salah? Bukankah piknik, bermain, dan bersenang-senang adalah bagian dari kebutuhan dasar manusia, termasuk pelajar? Dalam ekosistem pendidikan yang sehat, well-being siswa bukanlah pelengkap, melainkan tujuan. Bahkan menurut banyak studi, ruang relaksasi dan kebahagiaan kolektif berperan besar dalam pembentukan karakter sosial, empati, dan semangat belajar. Maka, jika para siswa ingin sekadar tertawa di atas bus pariwisata bersama kawan sekelasnya, apa salahnya? Justru dari kebersamaan semacam itulah nilai-nilai sosial dan emosional tumbuh secara alami yang kerap gagal diajarkan di kelas.
Larangan ini juga bertentangan dengan spirit besar pemerintah pusat tentang pemulihan ekonomi dan penguatan sektor pariwisata. Di satu sisi pemerintah gencar membangun destinasi wisata, namun di sisi lain justru mematikan jalur paling potensial, yakni arus kunjungan sekolah. Bukankah pemerintah daerah seharusnya mendorong agar tempat-tempat bersejarah dan ilmiah dikunjungi oleh generasi muda? Bukankah study tour bisa menjadi sarana untuk menumbuhkan kebanggaan terhadap warisan budaya dan menanamkan benih kecintaan pada ilmu?
Tugas seorang pemimpin bukan melarang sesuatu karena tak sempurna, melainkan memperbaiki agar ia menjadi lebih baik. Melarang study tour karena tak semua berjalan ideal sama saja seperti melarang kelas daring karena pada faktanya siswa mengikuti kelas sambil tidur-tiduran. Larangan adalah bentuk ketidakmampuan untuk mengelola kompleksitas. Padahal, pendidikan adalah dunia yang sarat kompleksitas.
Alih-alih melarang, kenapa tidak membuat pedoman resmi study tour yang murah, inklusif, edukatif, dan aman? Kenapa tidak menggandeng pelaku wisata edukasi dan menghidupkan ekosistem baru yang menguntungkan banyak pihak dari siswa, guru, UMKM, hingga sektor wisata lokal?
Pendidikan bukan tentang memotong pilihan, tapi memperluas kemungkinan. Dan larangan semacam ini, tak hanya mematikan potensi belajar siswa di luar kelas, tapi juga memperlihatkan bahwa kita masih jauh dari memahami pendidikan sebagai proses yang holistik dan memanusiakan.