Tuhan yang Bersembunyi: Sebuah Catatan Perdiskusian Sawala Tentang Spiritual Tanpa Agama

Barangkali, Tuhan tak pernah benar-benar pergi. Ia hanya bersembunyi sebentar, menunggu dicari, bukan dengan toa dan pengeras suara, tapi dengan hati yang pelan-pelan belajar mendengar lagi. Beberapa tahun terakhir, jalan menuju spiritualitas makin sunyi. Tak lagi ramai dengan atribut, jadwal ceramah, atau aturan berpakaian. Banyak orang terutama anak muda mulai melangkah keluar dari pagar-pagar rumah ibadah, bukan karena mereka kehilangan iman, tapi karena mereka ingin merasa lebih utuh, lebih jujur, lebih bebas.Fenomena ini disebut Spiritualitas Tanpa Agama atau Spiritual But Not Religious (SBNR). Sebuah jalan baru, yang tidak pakai seragam, tidak perlu kartu anggota, tapi tetap punya arah dan cahaya sendiri.

Di Timur Tengah, tanah yang dulu nyaris tak terpisahkan dari simbol-simbol keagamaan, gelombang ini mulai terasa. The Economist (2019) mencatat: jumlah warga Arab yang mengaku “tidak beragama” naik dari 8% menjadi 13% dalam enam tahun. Kebanyakan anak muda. Mereka yang tumbuh dengan melihat mimbar berubah jadi panggung politik. Yang mendengar doa berubah jadi doktrin. Yang ingin bertanya, tapi diminta diam. Seorang aktivis muda dari Mesir berkata dalam wawancara dengan The Guardian (2020): “Saya percaya pada kasih sayang. Tapi saya tak lagi percaya pada institusi yang membungkam pikiran.” Kalimat sederhana itu terasa seperti tamparan halus bagi zaman yang makin senang mengatur, tapi lupa merawat.

Kini, spiritualitas bisa ditemukan di mana saja. Di dalam meditasi yang sunyi. Dalam lagu yang menyentuh. Dalam puisi yang tak menyebut nama Tuhan, tapi bikin dada hangat. Dalam kopi pagi yang diseduh perlahan sambil memeluk sunyi.Charles Taylor menyebut ini sebagai pergeseran dari spiritualitas vertikal yang mengandalkan hierarki dan kewajiban ke spiritualitas horizontal: lebih cair, lebih personal, lebih manusiawi.

Di banyak tempat, mulai Lebanon hingga Arab Saudi, lahir komunitas-komunitas yang membicarakan kesadaran, cinta, dan hubungan dengan semesta. Mereka tak sibuk mencari kebenaran tunggal, tapi lebih tertarik merayakan keberagaman rasa. Ahmet T. Kuru mencatat bahwa otoritarianisme agama justru melahirkan generasi yang mendambakan kebebasan spiritual. Zygmunt Bauman bilang, di zaman serba cair ini, iman pun berubah bentuk. Tak lagi kotak-kotak. Lebih seperti air: mengalir sesuai wadahnya, tapi tetap menyegarkan.

Ada tiga hal yang mendorong munculnya spiritualitas tanpa agama. Pertama, kekecewaan karena agama terlalu sibuk mengurus moral orang lain, tapi lupa mendengar luka batin mereka. Kedua, globalisasi yang membuat siapa pun bisa belajar sufi dari YouTube, atau meditasi dari Instagram. Ketiga, kebutuhan jiwa yang makin sering bertanya: “Apa sebenarnya makna hidup ini?” dan tidak menemukan jawabannya dalam khutbah-khutbah panjang yang tak menyentuh.

Tentu, jalan ini bukan tanpa risiko. Tanpa nilai dan tanggung jawab, spiritualitas bisa jadi sekadar tren. Sebuah hobi akhir pekan. Atau malah pelarian yang dibungkus kata-kata indah tapi kosong.Maka penting untuk tetap berakar. Pada empati. Pada cinta. Pada keberanian untuk tetap peduli, meski berjalan sendiri.Karena pada akhirnya, spiritualitas tanpa agama bukan soal menolak, tapi soal menata ulang. Bukan tentang hilang arah, tapi tentang mencari ulang kompas hati. Bukan soal Tuhan yang ditinggalkan, tapi tentang cara baru menemukannya tanpa perlu sorban, salib, dupa, atau lonceng.Seperti kata Rumi, “Ada seribu cara untuk bersujud. Ada seribu cara untuk pulang.” Dan barangkali, pulang yang kita cari hari ini, tidak lagi pakai peta. Tapi pakai rasa. Karena Tuhan, kalau memang Mahahadir, pasti juga ada di dalam diammu yang paling sunyi. [ ]