Ulama yang Tukang dan Tukang yang Ulama: Sebuah Khazanah Intelektual Klasik

Satu warisan intelektual dalam sejarah Islam yang jarang disorot secara kritis adalah kenyataan bahwa banyak ulama klasik di dunia Islam justru menisbatkan profesi duniawi ke dalam nama mereka. Ini bukan sekadar label identitas, melainkan gestur ideologis: mereka ingin dikenang bukan hanya karena ilmunya, tetapi juga karena tangannya yang bekerja. Dalam dunia hari ini yang begitu fasih berbicara soal keimanan tapi canggung menyentuh etika kerja, suatu tamparan sunyi dari masa silam untuk generasi saat ini.

Salah satu contoh monumental adalah Abū Ḥāmid al-Ghazālī al-Ṭūsī (w. 505 H/1111 M). Nama “al-Ghazālī” bukan sekadar penanda geografis dari daerah Ghazzāl, tetapi juga bermakna harfiah sebagai pemintal wol—profesi sederhana yang dijalani ayahnya. Dalam al-Munqidh min al-Ḍalāl, al-Ghazālī secara terbuka mengungkapkan asal-usulnya. Namun, justru dari kehidupan yang sederhana itu, ia menapaki jalan keilmuan hingga meraih gelar Hujjat al-Islām, otoritas tertinggi dalam bidang teologi, filsafat, fikih, dan tasawuf. Fakta ini menunjukkan integrasi antara produktivitas duniawi dan kedalaman spiritual yang saling menguatkan.

Hal serupa terlihat dalam sosok al-Ḥusayn ibn Manṣūr al-Ḥallāj (w. 309 H/922 M), sufi legendaris yang wafat sebagai syahid. Nisbat al-Ḥallāj menunjuk pada profesi sebagai pemintal kapas. Kerja tangan al-Hallāj adalah metafora eksistensial dan laku kontemplatif yang menenun makna cinta Ilahiah dari benang-benang duniawi.

Tidak berhenti di situ, bahkan dalam bidang eksakta pun kita menemukan pola yang sama. Abū Ḥāmid Muḥammad ibn Ibrāhīm al-Ṣūfī (w. 376 H/986 M), seorang pakar astronomi dan ilmu falak terkemuka dari Persia, menisbatkan dirinya sebagai al-Ṣūfī, yang berarti penjual kain wol—sebuah profesi duniawi yang menyatu dengan pencapaian ilmiah yang kosmologis. Abū al-Qāsim ʿAbd al-Karīm ibn Hawāzin al-Qushayrī (w. 465 H/1072 M), tokoh besar dalam tasawuf dan hadis, mengambil nisbat dari kata qushayr, daging kambing muda—simbol bahwa dunia mistik tidak tercerabut dari realitas ekonomi dan kebutuhan hidup. Abū Yūsuf Yaʿqūb ibn Isḥāq al-Kindī (w. 259 H/873 M), seorang filsuf agung dan pionir ilmu logika, matematika, serta kedokteran dalam dunia Islam, berasal dari suku Kindah yang dikenal sebagai pandai besi, menunjukkan keterhubungan antara intelektualisme dan keterampilan teknis.

Demikian pula, Abū Zakarīyāʾ Yaḥyā ibn Ziyād al-Farrā’ (w. 207 H/822 M), ahli tata bahasa Arab dan logika, menisbatkan dirinya dari al-Farrā’—pengrajin kulit. Ibrāhīm ibn al-Sarī al-Zajjāj (w. 311 H/923 M), seorang pakar nahwu, tafsir, dan filsafat bahasa, dikenal dengan nisbat al-Zajjāj, yakni pembuat kaca. Abū ʿAlī Muḥammad ibn ʿAbd al-Wahhāb al-Jubbāʾī (w. 303 H/915 M), teolog rasionalis dari Muʿtazilah dan guru dari Abū al-Ḥasan al-Ashʿarī, dikenal sebagai penyetak dan penjual buku. Adapun al-Ḥusayn ibn ʿAlī al-Nahhās (abad ke-4 H), seorang ahli fikih dan hadis, menisbatkan diri sebagai al-Nahhās, yakni tukang tembaga. Mereka semua menjadi saksi bahwa dunia kerja dan dunia ilmu tidak saling menafikan, tetapi justru bersenyawa dalam satu tubuh intelektual yang utuh, merendah dalam profesi dan menjulang dalam makna.

Kemudian Imam al-Qaffāl al-Syāsyī (w. 365 H/976 M), ahli usul fikih mazhab Syāfiʿī, mengambil nisbat dari qaffāl—pembuat kunci. Secara simbolik, ia bukan hanya pembuat kunci, tapi juga pembuka gerbang istinbāṭ hukum Islam.

Nama-nama mereka yang saya sebutkan adalah pengingat bahwa intelektualitas Islam klasik bukan hasil dari sertifikasi formal keilmuan atau subsidi kekuasaan (apalagi ujian TIU), tapi lahir dari tangan yang bekerja dan hati yang bersih.

Dalam dunia Islam klasik, menjadi “tukang” bukan penghinaan, tetapi kebanggaan. Mereka adalah ulama yang bukan hanya mengajarkan kalimat Allah, tapi juga menenun hidup dari bahan paling sederhana: kerja keras. Ulama yang tidak malu disebut penjahit, pemintal, penjual minyak, atau tukang roti, justru karena merekalah kita bisa percaya bahwa Islam bukan agama para tuan, tetapi agama para pelayan, tukang, dan kaum pekerja.

Dalam al-Risālah al-Qushayriyyah, al-Qushayrī menulis dengan tegas: Min akhlāq al-ṣiddīqīn: al-taʿaffuf bi amāl yadi-him wa tark al-mann ʿalā al-nās—Di antara akhlak para siddiqin adalah menjaga kehormatan hidup dengan kerja tangan dan tidak membebani manusia lain (Lihat: al-Qushayrī, al-Risālah al-Qushayriyyah, hlm. 67). Pernyataan ini menunjukkan bagaimana kerja fisik bukan sekadar kebutuhan ekonomi, melainkan bagian dari kehormatan spiritual dalam tasawuf.

Senada dengan itu, Imam al-Syāfi‘ī juga mengingatkan pentingnya kemandirian seorang ulama. Dalam Manāqib al-Shāfi‘ī tulisan al-Bayhaqī, beliau mengatakan: Lā yakūnu al-‘ālim ‘āliman ḥattā yakūna lahu ṣinā‘ah ya‘īshu bihā— Seorang alim tidak akan menjadi alim sejati hingga ia memiliki profesi yang menopang hidupnya (al-Bayhaqī, Manāqib al-Imām al-Shāfi‘ī, jil. 2, hlm. 253). Kutipan ini mempertegas bahwa keulamaan yang sejati mensyaratkan kemandirian dalam aspek material agar ilmu yang disampaikan tetap murni, bebas dari kooptasi kekuasaan atau ketergantungan pada patronase umat.

Kini, warisan ini terasa sangat relevan. Kita hidup pada era di mana sebagian ulama tampil sebagai pengelola kontrak ceramah, pengisi slot dakwah berbayar, bahkan pendukung kekuasaan yang mencampuradukkan maslahat agama dengan agenda politik. Independensi spiritual menjadi barang langka, sementara keberpihakan kepada umat digadaikan demi stabilitas finansial.

Pierre Bourdieu menyebut fenomena ini sebagai kapital simbolik—yakni kekuatan simbolik, termasuk simbol religius, yang digunakan untuk meraih keuntungan material dan legitimasi sosial, sering kali tanpa disadari oleh publik yang terbius oleh representasi kesalehan (Lihat: Bourdieu, Language and Symbolic Power). Dalam konteks keulamaan, hal ini tercermin ketika otoritas spiritual dijadikan alat akumulasi modal, baik berupa kekuasaan politik, kehormatan sosial, maupun kapital ekonomi.

Namun para ulama klasik telah melampaui kritik ini jauh sebelum munculnya teori Bourdieu. Mereka tidak hanya mandiri secara finansial melalui profesi duniawi, tetapi juga otonom dalam berpikir dan berposisi terhadap kekuasaan. Imam Abū Ḥanīfah (w. 150 H/767 M), misalnya, secara tegas menolak tawaran menjadi Qādī (hakim agung) dari Khalifah al-Manṣūr. Ia berkata, Law qabiltu al-qadā’, khifat an uḥammil ẓulm al-sulṭān— Jika aku menerima jabatan itu, aku khawatir akan menanggung kezaliman penguasa (Lihat: al-Khaṭīb al-Baghdādī, Tārīkh Baghdād, jilid 13, hlm. 356).

Jejak ini menunjukkan bahwa kebebasan berpikir ulama bermula dari kebebasan ekonominya. Maka, jika kita ingin melihat lahirnya kembali ulama yang jujur, berani, dan berpihak kepada umat, kita mesti belajar dari warisan ini. Kita butuh ulama yang bukan sekadar “tukang ceramah”, tapi “ulama yang tukang sekaligus tukang yang ulama”: mereka yang menenun ilmu sambil bekerja, bukan hanya menyampaikan petuah sambil menunggu amplop. Sebagaimana kata Imam al-Junayd dalam al-Maʿārif: Ṭarīq Allāh lā yusāfiru fīhi bi juyūb māliyyah, bal bi ḥāl qalbiyyah—Jalan menuju Allah tidak ditempuh dengan kantong tebal, melainkan dengan hati yang jernih (Lihat: Sulamī, Ṭabaqāt al-Ṣūfiyyah, hlm. 44).