Ṣāʿid al-Andalusī: Khazanah Islam Klasik yang terlupakan

Di tengah hamparan sejarah Islam yang dipenuhi oleh nama-nama besar seperti al-Ghazālī, Ibn Sīnā, al-Fārābī, Ibn Taymiyyah, al-Shāfi‘ī, dll—muncul sosok yang nyaris terlupakan oleh arus utama historiografi: Ṣāʿid ibn Aḥmad al-Taghrībidī al-Qurṭubī al-Andalusī (w. 1070 M), penulis ensiklopedi sains paling awal dalam bahasa Arab, Ṭabaqāt al-Umam. Ia adalah figur langka yang memadukan fikih, filsafat, antropologi, astronomi, fisika, dan matematika dalam satu jubah keulamaan.

Dilahirkan dan besar di Córdoba, pusat intelektual Andalusia, Ṣāʿid hidup pada masa ketika dunia Islam Barat belum sepenuhnya larut dalam pengaruh ortodoksi Timur yang lebih skripturalis. Meski bermadzhab fikih Mālikī, ia memilih jalan rasional dalam teologi. Dalam beberapa riwayat kontemporer, ia digolongkan sebagai seorang rasionalis teistik yang berpijak pada semangat Muʿtazilah klasik, walau tidak terlalu ekstrem seperti para pemikir Basrah. Ia mewakili apa yang dalam istilah sejarawan modern disebut sebagai “Muʿtazilah Andalusia” — yaitu corak pemikiran rasional ala paripatetik yang bersemayam dalam kerangka fikih Mālikī.

Ṣāʿid bukan hanya seorang hakim madzhab maliki; ia adalah sejarawan ilmu yang nyaris tak tertandingi. Dalam Ṭabaqāt al-Umam, ia membuat klasifikasi peradaban manusia berdasarkan pencapaian intelektual mereka—dari India, Persia, Yunani, Romawi, Mesir, hingga Arab dan Andalusia. Ia berani menyusun sejarah umat bukan dari sudut pandang superioritas agama, tapi berdasarkan kontribusi terhadap al-ʿilm, sains. Tentu merupakan langkah radikal dan visioner di zamannya, yang bahkan tidak dimiliki oleh banyak ulama Timur Tengah. Ia menyatakan, misalnya, bahwa bangsa Arab baru mengenal ilmu setelah datangnya Islam, itu pun mula-mula hanya dalam bentuk ilmu fikih, sama sekali belum menyentuh fisika, astronomi, atau geometri.

Mungkin saja kejujuran intelektual ini yang membuatnya tak begitu digemari di dunia Islam Timur yang kala itu mulai jatuh ke dalam polarisasi tajam antara teolog Sunni dan filsuf kontroversial. Di dunia Sunni yang semakin anti-filsafat, karya Ṣāʿid seperti suluh kecil di tengah badai: tak padam, tapi juga tak diangkat tinggi. Padahal ia adalah sejarawan sains pertama dalam Islam yang tidak sekadar menghimpun biografi para ilmuwan, melainkan menganalisis secara sistemik lintasan sejarah pengetahuan manusia lintas agama dan bangsa.

Apa yang membedakan Ṣāʿid dari ulama lainnya adalah keberaniannya menyuarakan universalitas ilmu. Ia tidak terjebak dalam chauvinisme Arab, tidak juga dalam fanatisme Islam sempit. Ia mengakui keunggulan astronom India, mengapresiasi filsafat Yunani, dan mencatat capaian Persia tanpa menyisipkan celaan ideologis. Ironisnya, meski karyanya diterjemahkan ke bahasa Latin dan memengaruhi pemikiran Eropa, nama aslinya nyaris tak disebut dalam banyak kurikulum Islam kontemporer.

Hari ini, saat dunia Islam tengah berkutat dengan gejolak Iran dan Israel, figur seperti Ṣāʿid al-Andalusī layak diangkat kembali. Bukan hanya sebagai nostalgia masa silam, tetapi sebagai teladan metodologis: bagaimana menjadi seorang ulama yang setia pada syariat, terbuka pada akal, dan adil terhadap capaian peradaban manusia lain. Ia adalah simbol ulama klasik yang tidak terseret dalam konflik yang mengerdilkan ilmu pengetahuan.

Sebagaimana dikatakan oleh al-Jāḥiẓ dalam al-Bayān wa al-Tabyīn, Lā yastaqīm al-ʿilm illā bi-ḥurriyyah al-naẓar wa ʿadālah al-ḥukm— Ilmu tidak akan tegak kecuali dengan kebebasan berpikir dan keadilan dalam menilai. Dan Ṣāʿid al-Andalusī, dengan senyap dan kesendiriannya, telah mewariskan prinsip itu jauh sebelum banyak dari kita memahaminya. Ia bukan hanya hakim di Andalusia, ia adalah hakim dalam sejarah ilmu pengetahuan Islam.

Pakta_Warsawa