Setiap tahun, pemerintah membuka rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dalam skala besar, lengkap dengan formasi yang beragam dan terkesan menyeluruh. Secara normatif, ini adalah bentuk komitmen negara dalam meningkatkan pelayanan publik dan memperkuat birokrasi. Namun jika kita tilik lebih jauh, muncul pertanyaan mendasar:
Apakah seluruh formasi yang dibuka benar-benar dibutuhkan oleh institusi? Ataukah kita sedang mengulang kebiasaan administratif yang tak lagi relevan dengan dinamika masyarakat saat ini?
Sebagai contoh formasi Penyuluh Agama di Kementerian Agama. Jabatan ini secara resmi dimaksudkan untuk menyebarkan nilai-nilai keagamaan, memperkuat moral publik, dan menjaga kerukunan umat beragama. Namun dalam kenyataan sosiologis, masyarakat Indonesia sudah lama memiliki sistem otoritas keagamaan yang organik—kiai, ustaz, pendeta, dan tokoh adat—yang pengaruhnya sangat mengakar di level komunitas. Mereka lahir dari tradisi, bukan dari seleksi administrasi. Maka yang menjadi pertanyaan adalah: apakah fungsi penyuluh agama masih memiliki urgensi di tengah struktur sosial yang telah tersuluh secara kultural?
Contoh lain adalah jabatan Analis Kebijakan Ahli Pertama di berbagai kementerian. Dari nama saja, kita bisa membayangkan seseorang yang strategis, bekerja di balik layar merancang arah kebijakan nasional. Dalam Istilah Sunda dikatakan: ngadengè ngaran formasina ge geus ngagibek.
Namun realitasnya para analis ini tak lebih dari penghuni meja, dimana mereka yang dibayar untuk membaca laporan dan menyusun draf kebijakan yang tidak akan pernah diimplementasikan secara utuh. Karena pada akhirnya sebagian besar kebijakan strategis tetap ditentukan oleh elite politik atau pejabat struktural, bukan analis kebijakan yang direkrut melalui jalur CPNS.
Dari dua contoh tadi, kita bisa melihat pola yang berulang: rekrutmen dilakukan bukan karena kebutuhan mendesak atau analisis rasional atas beban kerja, melainkan karena dorongan kuota, tekanan politis, atau bahkan sekadar menjaga ritme tahunan birokrasi. Ini adalah gejala klasik dalam manajemen ASN kita—terjebak dalam logika selama masih ada anggaran, rekrut saja dulu; nanti tugasnya dicari belakangan.
Tentu saja tidak semua formasi patut diragukan. Ada banyak posisi penting dan sangat dibutuhkan seperti guru, tenaga kesehatan, atau penghulu jika di Kementerian Agama. Namun ketika formasi non-strategis terus diproduksi tanpa kejelasan peran, kita perlu berbicara.
Reformasi birokrasi tidak cukup hanya dengan mengganti sistem seleksi atau memperbaiki gaji ASN. Yang lebih krusial adalah memperjelas arah—untuk apa kita membentuk jabatan ini? Apakah fungsi mereka akan menjawab kebutuhan masyarakat? Atau hanya demi menjaga citra bahwa negara hadir?
Mungkin sudah saatnya kita tidak sekadar bertanya formasi apa yang dibuka tahun ini?, tapi mulai bertanya: apa manfaat sosial dari formasi itu, dan bagaimana kontribusinya terhadap perbaikan pelayanan publik? Jika tidak, kita hanya akan mengulang siklus lama: mengisi struktur, tanpa benar-benar membangun substansi.
Pakta_Warsawa