Penulisan Ulang Sejarah Indonesia: Pelajaran dari Tiongkok-Rusia

Wacana penulisan ulang sejarah Indonesia, seperti yang diusung pemerintah belakangan ini mencuat, merupakan proyek besar untuk “meluruskan” masa lalu bangsa agar lebih mencerminkan semangat kebangsaan mutakhir. Rencananya, “Sejarah Resmi” Negara ini akan diluncurkan pada perayaan 80 tahun Indonesia 17 Agustus 2025. Gagasan yang, di atas kertas terdengar mulia—seolah ada niat tulus untuk mengoreksi distorsi historiografi yang diwariskan rezim Orde Baru. Hanya saja, pada praktiknya, proyek penulisan ulang sejarah semacam ini tak pernah bebas dari bahaya epistemik: risiko menjadi alat reproduksi kekuasaan baru selalu mengintai di balik janji moral tentang “objektifikasi” dan “objektivitas” sejarah.

Salah satu titik paling sensitif—dan menentukan—dalam proyek ini adalah peristiwa 1965: tragedi pembantaian massal terhadap mereka yang dituduh “PKI” atau simpatisannya. Selama puluhan tahun, narasi resmi Orde Baru telah menetapkan tafsir tunggal: bahwa peristiwa itu adalah kudeta komunis yang digagalkan demi menyelamatkan bangsa. Narasi ini melanggengkan pembenaran atas pemenjaraan massal, pembersihan politik, bahkan pembunuhan ratusan ribu orang tanpa proses hukum. Padahal, sebagian besar sejarawan independen, baik dari dalam maupun luar negeri, telah membuktikan bahwa kisah 1965 amat kompleks, melibatkan intrik militer, kepentingan asing, ketegangan geopolitik, dan konflik elite negara.

Dalam hal ini, penulisan ulang sejarah bisa menjadi kesempatan penting untuk membuka ruang bagi kisah-kisah korban, sejarah komunitas lokal yang tersapu kekerasan, serta refleksi atas luka kolektif bangsa. Namun pertanyaannya, apakah negara hari ini benar-benar berniat membuka kebenaran radikal itu? Atau justru menata ulang narasi lama menjadi versi baru yang lebih modern, lebih mulus, tapi tetap menyingkirkan unsur-unsur yang berpotensi mengusik legitimasi kekuasaan saat ini? Sebab, sejarah seringkali ditulis oleh para pemenang. Dan, “kuasa” selalu berselingkuh dengan “pengetahuan” kata Foucalt. Akhirnya ia menarasikan apa yang perlu disebut “kebenaran.”

Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Sejarah global menunjukkan bahwa penulisan ulang sejarah oleh negara dan menjadi “official” sering berakhir menjadi proyek rekayasa ingatan kolektif. Di Tiongkok, misalnya, sejarah Revolusi Kebudayaan 1966–1976 direvisi berkali-kali oleh Partai Komunis demi menutupi ekses kekerasan internal partai sendiri. Mao Zedong dikultuskan sekaligus dikoreksi, tetapi hanya sampai batas aman yang tidak mengancam legitimasi Partai Komunis Tiongkok sebagai satu-satunya pelanjut revolusi. Tragedi Tiananmen 1989 bahkan sepenuhnya dihapus dari ingatan publik melalui sensor brutal, membuktikan betapa sejarah bisa dijadikan alat pengendalian memori.

Demikian pula di Rusia. Di bawah Vladimir Putin, ada proyek penulisan ulang sejarah Perang Dunia II yang mengagungkan peran Uni Soviet sambil menutupi kejahatan Stalin, termasuk Gulag dan pembantaian di Katyn. Penekanan berlebihan pada “kebesaran patriotik” membuat generasi muda Rusia tidak lagi diajarkan tentang teror internal yang dilakukan atas nama revolusi. Sejarah menjadi instrumen ideologi negara—bukan ruang refleksi kritis bagi warganya.

Indonesia berpotensi mengulangi pola ini jika proyek penulisan ulang sejarah lebih mengedepankan penciptaan narasi tunggal ketimbang ruang kontestasi berbagai tafsir. Kasus 1965 sangat rawan diinstrumentalisasi: bisa jadi diberi ruang lebih luas, tapi dalam batasan versi “terkontrol” agar tak menyentuh keterlibatan elite militer atau aktor luar negeri yang masih sensitif secara politik. Atau, sebaliknya: malah diromantisasi sebagai bagian dari “rekonsiliasi nasional”, pencapaian stabilitas negara tanpa pertanggungjawaban konkret kepada korban.

Kita perlu menolak simplifikasi sejarah dan mengingatkan bahwa narasi resmi Orde Baru bukan sekadar “salah,” melainkan menyingkirkan ribuan fragmen “fakta” kebenaran lokal, saksi mata, dan suara korban yang belum pernah diakui negara. Jika proyek penulisan ulang ini sungguh demokratis, maka harus melibatkan para penyintas, keluarga korban, dan sejarawan independen—bukan sekadar tim akademisi birokratis yang tunduk pada sensitivitas politik kekuasaan.

Sebaliknya, sebagian pendukung wacana ini di kalangan pemerintah dan institusi resmi cenderung melupakan risiko epistemik tersebut. Mereka menganggap sejarah dapat “diluruskan” secara teknokratis—seolah masa lalu bisa ditata ulang seperti menyusun undang-undang. Padahal, sejarah bukan dokumen mati: ia adalah arena konflik ingatan, pertarungan makna, dan benturan ideologi yang tak bisa disederhanakan ke dalam satu versi “benar” saja.

Wajar jika muncul keraguan di kalangan publik dan sejarawan independen: apakah proyek penulisan ulang ini sungguh akan membuka ruang seluas-luasnya bagi pembacaan alternatif, atau justru akan menjadi narasi resmi baru yang dipoles demi kepentingan stabilitas politik? Pengalaman negara-negara seperti Tiongkok dan Rusia menunjukkan bahwa sejarah yang digarap negara cenderung menyisihkan bagian-bagian kelam atau kontroversial yang bisa mengusik citra rezim di mata publik.

Di Indonesia, polanya masih tampak sama, apalagi sepertinya pemerintah memiliki niat untuk juga menata ulang penulisan sejarah reformasi 1998—sebuah periode yang sarat luka, pelanggaran HAM, dan jatuhnya kekuasaan Orde Baru. Jika peristiwa sebesar 1998 pun hendak dikemas ulang, siapa yang menjamin bahwa tafsir korban, aktivis prodemokrasi, dan keluarga mereka tidak akan kembali terpinggirkan?

Syahdan, di sinilah letak pertaruhannya: sejarah bangsa bukan soal menemukan versi tunggal yang dianggap “paling benar,” melainkan membiarkan keragaman ingatan, konflik tafsir, dan suara mereka yang dulu dibungkam tetap hidup dalam wacana publik. Jika negara bersikukuh mengontrol tafsir atas 1965 dan 1998 demi narasi “persatuan nasional,” maka yang terjadi bukan rekonsiliasi, melainkan penghapusan jejak kritis masa lalu demi kepentingan masa kini.

Sejarah sejati seharusnya membebaskan ruang berpikir warga, bukan mengurungnya dalam satu kisah besar yang steril dari kontroversi. Maka, tugas utama bangsa ini bukanlah menyusun sejarah final yang rapi—melainkan membangun ruang di mana semua fragmen kebenaran, seberapa pun tidak nyamannya bagi penguasa, dapat diperdebatkan secara terbuka dan jujur.