Tentang Semikolon (;) yang Diartikulasi (bagian pertama)

Kereta api pikiran ini meluncur di atas rel kalimat. Kita telah terbiasa dengan stasiun-stasiun pasti: Titik (.), tempat pemberhentian final; Koma (,), jeda kecil untuk menarik napas; Tanda Tanya (?), persimpangan yang meminta arah. Tapi ada satu stasiun kecil yang sering kita lewati begitu saja, terletak di persimpangan yang ambigu –Semikolon (;). Hari ini, kita membacanya bersama sang pembongkar struktur ketaksadaran dan bahasa, Jacques Lacan.

Bayangkan sebuah kalimat yang berderap penuh keyakinan. Ia membangun argumen, menyusun fakta, mengukuhkan diri. Tiba-tiba, di puncak momentumnya, ia tidak bertemu titik yang menutup segala sesuatu dalam kepastian. Ia juga tidak menemukan koma yang hanya memberi jeda kecil untuk melanjutkan jalan yang sama. Ia bertemu semikolon. Sebuah jeda yang bukan akhir; sebuah sambungan yang bukan kelanjutan mulus.

Bagi Lacan, bahasa bukanlah alat transparan yang dengan setia mengungkapkan pikiran kita. Bahasa adalah Ordo simbolik (l’Ordre Symbolique)–sebuah sistem yang membentuk kita sekaligus menjadi penjara. Di dalamnya, selalu ada celah, ketidaklengkapan, dan hasrat yang menggelincir tanpa henti. Semikolon, dalam pembacaan Lacanian, menjadi penanda fisik dari celah itu sendiri.

Pertama, semikolon adalah pengakuan akan ketakterpisahan (l’inséparable séparé) yang terpisah. Dua klausa yang ia hubungkan tidak sepenuhnya mandiri (kalau mandiri, titik akan cukup). Mereka berbagi napas, berbagi konteks, mungkin berbagi subjek tersirat. Tapi mereka juga tidak cukup menyatu untuk menjadi satu klausa utuh (kalau menyatu, koma atau konjungsi mungkin cukup). Ini adalah gambaran sempurna dari subjek terbelah (le sujet divisé) Lacan. “Aku” yang berbicara dalam kalimat sebelum semikolon tidak pernah sepenuhnya identik dengan “aku” yang melanjutkan setelahnya. Ada ketidaksinambungan dalam kesinambungan itu sendiri. Semikolon menahan sejenak ilusi kesatuan diri, menunjukkan bahwa “Aku” selalu dalam proses, selalu terhubung namun terpisah dari dirinya sendiri dan dari hasrat yang menggerakkannya.

Kedua, semikolon adalah gerbang kecil menuju Yang Riil (le Réel). Lacan membagi pengalaman manusia menjadi tiga ordo: Yang Riil (yang tak terkatakan, tak terpahami, trauma murni), Yang Imajiner (dunia citra dan identifikasi), dan Yang Simbolik (bahasa, hukum, tatanan sosial). Semikolon, dalam jedanya yang bermakna, menciptakan ruang kecil di mana Yang Simbolik seolah-olah berhenti sejenak. Di ruang itu, di celah antara dua klausa, terselip kemungkinan Yang Riil –sesuatu yang tak terkatakan oleh klausa pertama, sesuatu yang mungkin akan gagal diungkapkan oleh klausa kedua. Ia adalah suspensi yang menegaskan bahwa makna tidak pernah sepenuhnya terkandung dalam simbol; selalu ada residu, sesuatu yang lolos. Semikolon adalah tanda baca yang secara diam-diam mengakui kegagalan bahasa untuk sepenuhnya menangkap pengalaman atau kebenaran.

Ketiga, semikolon adalah perangkap hasrat (désir). Lacan mengatakan hasrat manusia selalu merupakan hasrat akan Sang Lian (désir de l’Autre), dan selalu bergerak dalam rantai penanda tak berkesudahan. Semikolon memfasilitasi pergerakan hasrat ini dalam bahasa. Klausa pertama menciptakan sebuah ekspektasi, sebuah ketegangan. Semikolon tidak memuaskannya dengan titik, juga tidak mengalihkannya sepenuhnya dengan koma. Ia menunda kepuasan itu. Ia mengatakan, “Ini belum selesai; ada lebih banyak di sini; teruslah membaca, hasratmu belum terpenuhi.” Ia menjaga rantai penanda tetap bergerak, menunda pertemuan final (yang sebenarnya tak pernah ada) dengan Objek Kecil-a (objet petit a) – objek imajiner yang menjadi sumber hasrat. Semikolon adalah jeda yang penuh antisipasi, sebuah jouissance kecil dalam penundaan itu sendiri.

Membaca sebuah semikolon dengan Lacan berarti membaca celah dalam kepastian. Ia bukan sekadar alat untuk daftar atau menghubungkan ide kompleks. Ia adalah monumen kecil bagi ambiguitas, bagi ketidaksinambungan dalam diri kita, dan bagi hasrat yang tak pernah beristirahat dalam bahasa. Di dunia yang semakin didominasi oleh komunikasi instan –titik, koma singkat, atau bahkan ketiadaan tanda baca– semikolon menjadi pemberontak yang halus. Ia menolak finalitas titik dan kesederhanaan koma. Ia bersikeras: hidup lebih kompleks, pikiran lebih berliku, kebenaran lebih kabur daripada yang bisa ditampung oleh tanda baca yang tegas.

Sebuah pengakuan yang diam-diam bahwa di antara klaim dan klaim kita, di antara identitas dan identitas kita, ada ruang kosong yang berdegup – ruang hasrat, ruang Yang Riil yang mengintai, ruang yang di mana “Aku” yang satu tak pernah sepenuhnya bertemu dengan “aku” yang lain. Membaca semikolon dengan Lacan adalah belajar menghargai keindahan yang retak, kompleksitas yang tak terujar, dan keabadian hasrat yang tersembunyi di balik tanda baca yang sok filosofis itu. Titik koma bukan sekadar penghubung; ia adalah pertanyaan, suspensi, dan pengakuan akan ketakterdugaan kita sendiri – semuanya terangkum dalam lekukan kecil dan titik tunggalnya yang penuh teka-teki.

-Iskra