Dalam sejarah intelektual Islam, aliran Muʿtazilah kerap ditempatkan dalam posisi yang kerdil dan termarjinalkan oleh narasi dominan arus Sunni (Ahlussunnah). Dalam banyak buku mainstream, disebutkan bahwa kemunculan Muʿtazilah merupakan akibat dari interaksi pemikiran Islam dengan filsafat Yunani, atau setidaknya sebagai pembangkangan Wāṣil ibn ʿAṭāʾ terhadap gurunya, al-Ḥasan al-Baṣrī, sehingga ia disebut iʿtazala—menjauh. Narasi ini, misalnya, didokumentasikan oleh al-Syahrastānī dalam al-Milal wa al-Niḥal.
Namun, narasi ini sebetulnya lebih kepada sebuah anekdot, bukan fakta sejarah yang sebenarnya. Fakta yang sebenarnya jauh lebih kompleks: perdebatan antara al-Ḥasan dan Wāṣil berpusat pada konteks keimanan penguasa Umayyah waktu itu yang melakukan kezaliman berat. Al-Ḥasan berpendapat bahwa mereka tetap mukmin meski berbuat dosa besar, sementara Wāṣil merasa hal itu meruntuhkan prinsip keadilan Ilahi. Baginya, bagaimana mungkin seseorang yang nyata melakukan kezaliman besar dihukumi tetap beriman tanpa mempertanggungjawabkan kejahatannya di akhirat? Konflik ini menimbulkan landasan teologis baru yang menegaskan bahwa iman dan amal tidak dapat dipisahkan. Menurutnya, keadilan harus menjadi dasar iman, dan pertanggungjawaban atas amal tak terpisahkan dari keyakinan. Pada akhirnya dapat kita katakan bahwa Muʿtazilah muncul sebagai respon rasional dan etis atas problematika keadilan Ilahi dalam konteks sosial yang penuh ketidakadilan.
Fakta tersebut sekaligus membuktikan bahwa Muʿtazilah lahir dari pergulatan intelektual otentik umat Islam awal abad ke-2 Hijriah, saat Wāṣil ibn ʿAṭāʾ hidup sezaman dengan al-Ḥasan al-Baṣrī, yang tentu saja pada waktu itu filsafat Yunani belum secara luas diterjemahkan dan diintegrasikan dalam tradisi Islam. Gelombang penerjemahan besar-besaran karya filsafat Yunani baru dimulai pada abad ke-3 hingga ke-4 Hijriah, terutama di era Khalifah Abbasiyah al-Ma’mūn (w. 218 H/833 M) dengan didirikannya Bayt al-Ḥikmah.
Kalangan Ahlussunnah umumnya menuding bahwa Mu’tazilah mengedepankan akal di atas teks. Namun, kenyataan historis berbicara lain. Justru Muʿtazilah sangat menjunjung tinggi kemurnian teks al-Qur’an, bahkan lebih ketat dibanding kalangan Sunni yang dalam banyak tafsirnya sangat longgar memasukkan unsur Isrā’īliyyāt (periwayatan yang berasal dari ahl kitab pasca kenabian). Sebagai contoh, al-Zamakhsyarī, mufasir besar Muʿtazilah dalam tafsir al-Kashshāf, menghadirkan penafsiran yang sangat kental dengan pendekatan kebahasaan dan gramatikal yang dalam. Tafsirnya adalah tafsir li al-naṣṣ, bi al-naṣṣ, wa min ajl al-naṣṣ—suatu pendekatan yang benar-benar tekstual.
Lebih jauh, para tokoh awal Muʿtazilah seperti ʿAmr ibn ʿUbayd dan Wāṣil ibn ʿAṭāʾ bukan sekadar teolog, melainkan juga pakar dalam ilmu nahwu, sharaf, dan balaghah. Keahlian linguistik mereka menjadi fondasi penting bagi argumentasi rasional yang disusun dengan presisi logika bahasa. Tidak mengherankan jika banyak perdebatan teologis mereka disampaikan dengan struktur kalimat yang cermat, penuh qiyas lughawī dan istidlāl balāghī. Al-Jāḥiẓ menyebut mereka sebagai ahl al-lughah al-‘uqalā’ karena mampu mengolah kata hingga menjadi alat dialektika yang memukau.
Misalnya, Wāṣil (yang tidak mampu mengucap huruf rāʾ) mampu mengganti setiap kata berunsur rāʾ dalam debatnya tanpa kehilangan makna dan kefasihannya, sementara ʿAmr dikenal mampu mengurai makna ayat-ayat tentang keadilan Tuhan dengan memanfaatkan iʿrāb dan bentuk tashrīf yang estetik. Hal ini menunjukkan bahwa bagi mereka, bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi instrumen epistemik yang membentuk cara pandang terhadap Tuhan dan dunia.
Selain itu Muʿtazilah sering diberi label “liberal” oleh sebagian kelompok Sunni. Padahal, doktrin mereka dalam al-Manzilah bayna al-Manzilatayn (posisi di antara dua tempat) justru sangat ketat: pelaku dosa besar tidak dianggap mukmin, dan bukan pula kafir—tetapi di posisi tengah yang membuat mereka terancam siksa. Bandingkan dengan Sunni yang masih menganggap pelaku dosa besar sebagai fasiq namun tetap mukmin, dan lebih ekstrem lagi, Murji’ah yang mengatakan: lā yaḍurru maʿṣiyatun maʿa al-īmān wa lā yanfa’ul amāl alā al-kufri—tidak ada dosa besar yang merusak iman dan tidak ada amal baik yang berguna dalam kekafiran. Walhasil klaim bahwa Muʿtazilah sebagai kelompok liberal sejatinya jauh dari realitas. Justru teologi Sunni dan Murji’ah yang lebih toleran terhadap pelanggaran moral keagamaan merupakan liberalisme yang sejati dalam konteks teologis.
Kemudian banyak pengkaji ilmu kalam yang berspekulasi dalam memetakan posisi fikih kalangan Muʿtazilah, dengan menyangka bahwa mereka memiliki sistem fikih tersendiri yang berbeda dari mazhab fikih arus utama dalam Islam (khususnya empat madzhab). Padahal, bukti sejarah menunjukkan bahwa para ulama Muʿtazilah tetap berpegang teguh pada mazhab-mazhab fikih yang mapan. Misalnya, Abū Hāshim al-Jubbāʾī (w. 933 M), salah satu tokoh besar Muʿtazilah di Bashrah, ia mengikuti mazhab Syāfiʿī. Al-Zamakhsharī (w. 1144 M), penulis al-Kashshāf, dikenal sebagai penganut mazhab Hanafī. Sementara itu, Abū al-Qāsim al-Kaʿbī al-Balkhī (w. 931 M), tokoh utama Muʿtazilah dari Khurāsān, dikenal sebagai pengikut mazhab Mālikī. Hal ini menunjukkan bahwa identitas teologis sebagai Muʿtazilah tidak berarti pemutusan dari tradisi hukum Islam arus utama. Justru sebaliknya, mereka menegaskan bahwa elaborasi rasional dalam kalam dapat bersanding harmonis dengan komitmen pada kerangka fikih yang diterima umat.
Ada pula anggapan keliru bahwa kaum Muʿtazilah tidak percaya pada doa karena menolak konsep takdir. Padahal, yang mereka tolak bukanlah takdir secara keseluruhan, melainkan pandangan bahwa Allah menetapkan keburukan bagi hamba-Nya. Dalam pandangan Muʿtazilah, Allah mustahil menciptakan keburukan atau menakdirkan kezaliman, karena salah satu prinsip pokok mereka adalah aṣ-ṣalaḥ wa al-aṣlaḥ—bahwa Allah selalu memilih dan menciptakan kebaikan bagi makhluk-Nya. Dari sini, doa bukan ditolak, tetapi dimaknai sebagai bagian dari usaha manusia meraih kebaikan yang sejalan dengan kehendak Allah yang Maha Adil. Bagi Muʿtazilah, doa adalah ungkapan harap dan kesadaran etis, bukan bentuk kepasrahan kepada takdir yang buta.
Secara terang, pembacaan ulang terhadap warisan Muʿtazilah membuat kita menemukan sebuah proyek intelektual yang jauh dari sekadar “pembangkangan” atau “pengaruh asing,” melainkan sebuah ijtihad otentik umat Islam untuk memahami Tuhan secara rasional, adil, dan bertanggung jawab. Muʿtazilah tidak membenturkan akal dengan wahyu, tetapi memadukan keduanya dalam struktur logika yang teliti dan kesetiaan linguistik yang ketat. Mereka bukan sekadar ahli kalam, tetapi juga ahli bahasa, ahli tafsir, dan pengamal fikih yang kuat. Di tangan mereka, kata bukan sekadar bunyi, melainkan wacana yang mencipta makna dan menuntun moral. Dan sejatinya, mereka mewakili salah satu suara paling jernih dalam khazanah Islam klasik—yakni suara keberanian berpikir, kedalaman bahasa, dan integritas moral yang tak tunduk pada takdir yang membungkam.
Pakta_Warsawa