Menebar Jurnalisme Damai: Menjaga Semangat Tabayun

Sejatinya, kehadiran jurnalisme damai di tengah tragedi kemanusiaan dan konflik bersenjata, seperti perang antara Iran dan Israel, merupakan sebuah keniscayaan dalam upaya menciptakan perdamaian dunia.

Ini menjadi semakin penting ketika beredar foto, berita, dan video hoaks di berbagai platform media sosial (Facebook, Instagram, TikTok, dan WhatsApp), yang mengatasnamakan pembunuhan atas nama agama (Islam-Yahudi), termasuk kelompok Muslim (Sunni-Syiah).

Jurnalisme damai diharapkan tidak hanya bertugas mengungkap fakta, data, dan bukti nyata atas kekerasan yang terjadi dengan sikap netral, tetapi harus mampu menyajikan perspektif yang cerdas, menolak eksploitasi kekerasan, dan menjauhkan diri dari opini-opini yang provokatif dan tidak berdasar.

Penambahan opini sepihak dalam pemberitaan semacam ini justru harus dihindari, agar tidak memperkeruh suasana dan memperparah konflik.

Mari kita cermati unggahan yang beredar di media sosial X, berupa tangkapan layar artikel yang mencatut nama Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan judul provokatif, “MUI Dukung Serangan Israel ke Iran: Syiah Bukan Islam, Syiah Adalah Kafir yang Halal Dimusnahkan.” 

Hasil penelusuran menunjukkan informasi itu tidak benar. Berdasarkan verifikasi dari cekfakta.com,  judul artikel telah dimanipulasi dari versi aslinya. Tidak ditemukan artikel dengan judul itu di situs resmi media Kumparan maupun di laman resmi Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Judul asli artikel yang sebenarnya berbunyi, “MUI Kecam Serangan Israel ke Iran: Perburuk Krisis Kemanusiaan-Keamanan Global.” Artikel ini memuat pernyataan Sudarnoto Abdul Hakim, Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional MUI, yang mengecam tindakan Israel terhadap Iran, Jumat (13/6/ 2025).

Kasus ini menjadi pengingat pentingnya melakukan verifikasi sebelum menyebarluaskan informasi, apalagi yang menyangkut isu-isu sensitif dan berpotensi menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat. (www.komdigi.go.id, www.cekfakta.com)

Orientasi Damai

Memang sebuah tulisan (pemberitaan) itu soal cara dan pilihan. Kita bisa menyampaikan tulisan (berita) dengan netral, tapi juga bisa mengemasnya dengan pesan yang membuat orang lain marah, mencaci-maki, membakar, hingga membunuhnya.

Bila sebuah tulisan (berita) yang netral dirasa tidak cukup mendamaikan situasi yang panas, maka cara lain yang lebih provokatif harus diusahakan dengan menghadirkan “jurnalisme damai.”

Peran media, wartawan (penulis lepas) dalam menuliskan isu-isu krusial, khususnya yang melibatkan ketegangan, bukan hanya menjadi penyampai informasi, tapi juga berusaha menjadi penengah dan juru damai. Dalam jurnalisme damai, wartawan (penulis) dituntut bukan hanya memberitakan secara netral, tapi dianjurkan untuk menyelesaikan persoalan lewat pemberitaan (tulisan) yang menyejukan.

Pertama kali diperkenalkan oleh Johan Galtung, sosiolog asal Norwegia, jurnalisme damai berusaha memberikan alternatif pada cara pemberitaan (tulisan) yang cenderung bias dalam konflik dan perang. Galtung melihat bahwa pemberitaan (tulisan) media dalam meliput peristiwa konflik dan perang, baik disengaja maupun tidak, kerap kali memberi andil bagi terawatnya sebuah konflik. 

Wartawan (penulis) yang cinta damai tidak cukup hanya dengan memberitakan sebuah peristiwa (gagasan) secara netral dan apa adanya di medan perang, tapi harus memiliki misi untuk mengakhiri perang dan memutus mata rantai kekerasan ini.

Untuk berbagai konflik dan ketegangan yang melibatkan hubungan antar agama dan isu-isu yang terkait dengan masalah agama memerlukan pendekatan dan cara pemberitaan khusus (keberagamaan). Dengan demikian, dalam konteks ini jurnalisme damai bisa memainkan peran aktifnya untuk menghadirkan tulisan (berita) yang menyejukan, santun, teduh. (Evi Rahmawati dan Tantowi Anwar [Editor], 2013:4-5).

Sikap Tabayun

Sejatinya kita sebagai pengguna, pembaca dan pengikut media sosial harus memegang kuat prinsip dan sikap tabayun yang selalu berusaha untuk berhati-hatilah dalam setiap menerima informasi, berita dan meninggalkan bahaya prasangka buruk.

Apalagi di era siber ini dengan hadirnya netizen terkadang menyalahgunakan konten suatu tulisan (berita) demi kepentingan pribadi. Parahnya, kita ikut mengamini tulisan (berita) itu dengan cara membagikannya kepada khalayak umum melalui media sosial. Tentunya, kita mengenal istilah “hoaks” untuk tulisan (berita) yang tidak jelas.

Kita sebagai pembaca (penulis) yang bijak harus cerdas dalam memilih dan memilih suatu tulisan (berita) dengan memegang prinsip tabayun, hingga mendapatkan sumber terpercaya, lengkap, berimbang, objektif dan sejuk ini.

Bila setiap jurnalis dan media terutama yang mengatasnamakan Islam dapat menerapkan prinsip tabayun dalam kegiatan jurnalistiknya. Maka akan sedikit sekali berita bohong (fitnah) yang tersebar. Sehingga suasana dan kondisi di masyarakat menjadi lebih tenang dan tenteram. Bandingkan jika setiap jurnalis dan media membuang jauh-jauh prinsip tabayun dalam kegiatannya. Maka akan banyak sekali tersebar fitnah (kebohongan) yang tidak disengaja. Akibatnya terjadi pertengkaran antara media dan pihak yang merasa difitnah.

Sudah menjadi kewajiban akhirat dan duniawi bagi para jurnalis (penulis) muslim dan media Islam untuk selalu mengedepankan prinsip tabayun (ketelitian) dalam menerima (menyampaikan) kembali suatu berita (tulisan) kepada publik. Sehingga tidak ada pihak yang merasa terfitnah. Karena fitnah bukanlah sebuah perkara kecil, tapi perkara besar, bahkan dalam pandangan Allah. Akhirnya hikmah dari penerapan tabayun (ketelitian) itu akan kembali pada jurnalis dan media Islam yang menerapkan keridhaan dari Allah dan kemuliaan di mata manusia. (Anton Ramdan,tt:45-46)

Dalam Alquran ditegaskan pentingnya untuk merawat sikap tabayun ini, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (Al Hujurat: 6); Di sebuah riwayat dari Qatadah disebutkan, “Sikap tabayun merupakan perintah Allah, sementara sikap terburu-buru merupakan arahan syaitan.”

Terwujudnya orientasi perdamaian seperti yang dicita-citakan Johan Galtung, dengan memandang setiap konflik (perang) sebagai masalah yang harus diselesaikan tanpa kekerasan ini diharapkan mampu meminimalisir konflik horizontal, termasuk dalam konteks ketegangan antara Iran dan Israel. Walhasil, pendekatan ini seharusnya menjadi jalan keluar, bukan malah menjadi pemicu konflik berkepanjangan atas nama agama, seperti Islam dan Yahudi, perseteruan internal Islam (Sunni-Syiah).

Kita berharap agar perang antara Iran dan Israel tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menyebarkan ujaran kebencian melalui foto, berita, video di media sosial. Pasalnya, tindakan semacam itu berpotensi merusak keharmonisan umat beragama di Indonesia, khususnya antara umat Islam yang berbeda ormas, mazhab dan keyakinan.

Dalam situasi ini, jurnalisme damai memegang peran penting yang diharapkan mampu menangkal penyebaran konten hoaks dan provokatif dengan menghadirkan berita, foto, dan video yang santun, sejuk, dan membawa pesan perdamaian. Dengan demikian, tragedi kemanusiaan dapat dicegah dan tidak terjadi di Bumi Pertiwi yang kita cintai bersama. Semoga.