Jizyah dan Genealogi Kasta dalam Islam: Suatu Kajian Sejarah Tingkat Tinggi

Jizyah, dalam kerangka hukum Islam, adalah pajak yang dibebankan kepada non-Muslim yang hidup di bawah naungan pemerintahan Islam. Secara normatif, jizyah merupakan kompensasi atas perlindungan militer dan kebebasan beragama yang dijamin negara, serta simbol status mereka sebagai ahludz dzimmah. Secara fikih, mereka akan terbebas dari jizyah jika mereka masuk Islam.

Ketika membaca sejarah perluasan wilayah Dinasti Umayyah—dari Andalus di barat hingga perbatasan Xinjiang di timur—banyak kalangan dalam tradisi Islam hari ini memaknainya sebagai simbol kejayaan dan keberhasilan dakwah Islamiyah. Luasnya wilayah kekuasaan Islam dianggap identik dengan membeludaknya jumlah pemeluk Islam, serta bukti bahwa Islam mampu menembus batas geografis dan budaya di luar jazirah Arab. Kita mungkin bisa ikut berbangga atas capaian tersebut—setidaknya sebagai narasi ideal tentang misi penyebaran agama.

Namun, para elit penguasa Umayyah memiliki pemaknaan tersendiri. Bagi mereka, ekspansi kekuasaan Islam tidak berarti bertambahnya jumlah penganut Islam, melainkan meningkatnya jumlah penduduk non-Muslim yang tunduk di bawah kendali negara. Dan itu berarti satu hal yang sangat bernilai dalam logika kekuasaan Islam: lonjakan pemasukan dari pungutan jizyah yang pada gilirannya menjelma menjadi fondasi fiskal utama yang menopang birokrasi, militer, dan keberlangsungan roda kekhalifahan. Maka tak mengherankan, jika di masa-masa ekspansi terluas Dinasti Umayyah, kebijakan yang diambil bukan mendorong Islamisasi penduduk taklukan, melainkan membiarkan mereka tetap dalam status non-Muslim—agar negara tetap memiliki sumber daya fiskal yang stabil.

Karena jizyah hanya dikenakan pada non-Muslim, banyak penduduk wilayah taklukan pada akhirnya berbondong-bondong memilih masuk Islam. Mereka masuk Islam tentu bukan karena hidayah rohaniah atau ketakjuban pada karomah para wali, melainkan demi menghindari jizyah. Philip K. Hitti dalam History of the Arabs mencatat bahwa konversi semacam ini menjadi salah satu faktor penting dalam teori penyebaran Islam.

Bagi elite Umayyah, masifnya konversi non-Muslim menjadi pemeluk Islam bukanlah pertanda keberhasilan dakwah, melainkan sinyal bahaya bagi stabilitas keuangan negara. Setiap orang yang memeluk Islam berarti satu pemasok _jizyah_ hilang dari daftar pajak. Dan ketika gelombang masuk Islam—terutama dari kalangan non-Arab seperti Persia, Mesir, dan Khurasan—tak terbendung, kekhawatiran pun memuncak. Di mata penguasa, keislaman para mualaf tak cukup berharga jika harus dibayar dengan defisit. Maka diberlakukanlah kebijakan yang secara halus membatalkan makna keislaman itu sendiri: jizyah tetap dipungut dari mereka walaupun telah mengucapkan syahadat. Islam mereka sah secara syariat, tapi tak diakui sepenuhnya dalam struktur warga negara.

Untuk menjustifikasi kebijakan fiskal ini, kekuasaan Umayyah menciptakan konstruksi sosial yang dikenal sebagai mawali. Para mualaf non-Arab—yang kebanyakan memeluk Islam untuk menghindari beban jizyah—dimasukkan ke dalam kategori ini. Maka, meskipun secara formil mereka telah Muslim, secara struktur sosial tetap diperlakukan sebagai warga non Muslim: tetap dikenai jizyah. Ironisnya, karena alasan mereka masuk Islam dianggap tidak tulus, hak-hak keislaman mereka pun dikebiri. Padahal, siapapun yang telah bersyahadat secara sah berhak atas kebebasan dari jizyah. Justru itulah tujuan awal keberadaan jizyah, yakni agar non-Muslim terdorong memeluk Islam. Maka, menjadikan ketidaktulusan sebagai alasan untuk terus memungut jizyah bukan hanya tidak syar’i, tapi juga menyalahi logika asal hukum itu sendiri.

Reformasi sempat digulirkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz (r. 717–720 M), sosok langka dalam sejarah Umayyah yang berani mengembalikan semangat kesetaraan Islam. Ia memerintahkan agar jizyah dihapus dari setiap orang yang telah bersyahadat, tanpa memandang asal etnis atau suku. Al-Thabari mencatat: “Umar memerintahkan agar jizyah dihapus dari setiap orang yang telah mengucapkan syahadat, sekalipun bukan dari bangsa Arab” (Tarikh al-Umam wal Muluk).

Sayangnya, masa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz terlalu singkat untuk membongkar fondasi sistemik yang telah mengakar kuat dalam tubuh kekuasaan Umayyah. Reformasi yang ia gulirkan memicu penolakan dari para gubernur wilayah, terutama di provinsi-provinsi timur seperti Khurasan dan Irak, yang melihat konversi massal tanpa pajak sebagai ancaman langsung terhadap pendapatan dan stabilitas negara. Mereka mengirim keluhan ke pusat, memperingatkan bahwa tanpa pungutan jizyah, negara tak akan mampu membiayai pasukan dan menjalankan roda pemerintahan. Setelah Umar wafat pada 720 M, kebijakan progresif itu segera dibatalkan oleh penerusnya, Khalifah Hisyam bin Abdul Malik (r. 724–743 M), yang mengembalikan jizyah atas mawali sebagai upaya menyelamatkan kas negara yang mulai tergerus.

Dari titik inilah, sistem kasta dalam sejarah Islam mengambil bentuk yang semakin mapan. Kaum Arab Muslim, terutama dari Quraisy dan Hijaz, menempati puncak hierarki sosial: terbebas dari jizyah, mendominasi birokrasi, dan menjadi penerima utama ghanimah (harta rampasan perang). Islam mereka dianggap sebagai Islam yang otentik, disahkan tidak hanya oleh syahadat, tetapi oleh darah dan silsilah. Di bawah mereka tentu saja para mawali, muslim non-Arab yang tetap dibebani pajak, tetap dikucilkan dari jabatan strategis, dan hanya memiliki akses politik melalui patronase elit Arab.

Lebih rendah lagi dalam hierarki sosial adalah non-Muslim, yakni komunitas Yahudi, Kristen, dan pemeluk agama lain yang memilih tetap dengan keyakinan asal mereka. Meski secara formil dilindungi oleh pemerintahan Islam, posisi mereka dibatasi secara hukum: tidak boleh membangun rumah ibadah melebihi tinggi masjid, dilarang menampilkan simbol agama secara mencolok, dan tidak ada kesempatan mengakses jabatan publik. Hak-hak mereka bukan berlandaskan asas kewarganegaraan, melainkan bergantung pada kemurahan hati penguasa.

Non-Muslim yang berdarah Arab mungkin masih lebih beruntung, namun yang paling sial adalah mereka yang terlahir sebagai non-Muslim, non-Arab dan miskin—terkurung dalam tiga lapis kesengsaraan sekaligus. Bagi non-Muslim non-Arab yang berkecukupan, beban _jizyah_ mungkin masih dapat dipikul sebagai harga eksistensi di bawah kekuasaan. Namun bagi para non-Muslim non-Arab yang miskin, hidup adalah perjuangan yang nyaris tanpa harapan. Posisi mereka sedikit di atas kaum paling terpinggir—budak dan tawanan perang—yang hampir sepenuhnya kehilangan hak sipil dan politiknya. Inilah permulaan dari ketimpangan sistemik yang dilembagakan dalam sejarah Islam, sebuah belenggu yang membekukan dan mengekang martabat kemanusiaan lebih dalam.

Ketimpangan yang dilembagakan bukan hanya menciptakan diskriminasi, tetapi juga menggerogoti legitimasi moral negara. Hal ini di kemudian hari memicu terjadinya tragedi besar kekuasaan Umayyah. Ketidakadilan terhadap mawali menjadi bara dalam sekam yang meledak dalam Revolusi Abbasiyah (747–750 M). Di Khurasan, para mawali yang selama ini ditindas justru menjadi ujung tombak pasukan revolusioner. Al-Masʿudi mencatat: “Revolusi Abbasiyah tidak akan terjadi tanpa kemarahan para mawali yang dipinggirkan dari hak-hak Islam yang seharusnya mereka miliki” (Muruj adz-Dzahab).