Dalam organisasi ekstra kampus, idealisme hanyalah poster. Di balik jargon pengkaderan, tersembunyi sistem tua yang tetap bertahan meski regenerasi terus berlangsung, yaitu patronase-klein. Sebuah struktur kuasa informal yang lebih konkret dari konstitusi negara, dan lebih rumit dari peraturan organisasi sendiri.
Patronase di sini bukan sekadar hubungan senior-junior. Ia adalah model feodalisme kultural, diwariskan dari generasi ke generasi yang diwujudkan dalam bentuk gerbong, yaitu faksi-faksi loyalis yang saling bersilangan tapi terikat pada satu simpul pusat misterius: senior tunggal atau yang sering dikenal dengan julukan Bang Dul. Sosoknya tidak perlu muncul. Namun jika namanya disebut, semua alur organisasi bisa berubah arah.
Bang Dul menjadi senior tunggal bukan dipilih, tapi diakui. Bukan karena keilmuannya, apalagi produktivitasnya, tapi karena satu hal yaitu akses kekuasaan. Ia punya jaringan tak tertulis ke Pemda, Pemkot, hingga Pemprov, ia memiliki relasi di Polda, Polres, Kesbangpol, KPU, Bawaslu, hingga ruang tunggu pejabat berbagai Fraksi di DPR. Ia tak perlu proposal, cukup sampaikan satu kalimat kepada pejabat yang bersangkutan: “Barudak mah aman ku urang.” Atau kalau lebih bar-barnya: “Pak betah keneh teu jadi Sekda teh?”
Ucapan yang terdengar ringan tapi berfungsi sebagai soft threat diplomacy. Ia menawarkan kestabilan yang tak pernah diminta, dan menggertak dengan komunitas yang tidak pernah diverifikasi. Ironisnya, pejabat yang mendengarnya sering kali percaya begitu saja—bahwa di belakang Bang Dul ada barisan militan yang siap bikin ribut jika tak diberi ruang.
Padahal yang disebut barudak itu tak lebih dari komunitas imajiner yang diciptakan sebagai alat tawar-menawar dalam transaksi politik lokal. Di situlah letak kekuatan sebenarnya: menciptakan persepsi bahwa organisasi ini bisa mengganggu stabilitas—meski realitasnya belum tentu demikian.
Namun kekuatan patronase tidak berdiri sendiri. Ia menopang satu sistem antrean yang tak kasat mata, tapi terasa nyata. Seorang kader baru yang ingin meminjam aula Balai Kota tidak bisa langsung ke dinas. Ia harus menelusuri jalur silsilah informal: dari mentor ke senior demisioner ketua, lalu ke senior middle, baru—kalau beruntung—sampai ke telinga senior tunggal itu. Tapi jika di tengah jalan terdapat konflik personal antar senior (yang sering kali hanya karena urusan salip-menyalip rekomendasi), maka prosesnya bisa mentok tanpa penjelasan.
Maka dari itu, akses seorang kader terhadap fasilitas atau pengaruh tertentu bukan ditentukan oleh kelengkapan administrasi persuratan, melainkan oleh kemampuannya dalam membaca peta silsilah patronase dengan tepat. Ia harus tahu siapa yang harus dihubungi terlebih dahulu, siapa yang sedang punya pengaruh, dan siapa yang jangan disentuh karena sedang bersitegang dengan senior lain dalam jejaring yang sama. Kesalahan kecil dalam urutan komunikasi bisa berakibat fatal: proposal mandek, nama dicoret, bahkan bisa dikucilkan secara halus lewat bisik-bisik senior. Dalam sistem seperti ini, intuisi politik dan sensitivitas membaca gestur antar senior lebih dibutuhkan daripada kemampuan menulis esai ini.
Klimaks dari patronase ini terlihat jelas dalam Konfercab, pemilihan ketua cabang. Alih-alih menjadi ruang adu visi, ia berubah menjadi arena pertarungan rekomendasi. Semua orang membaca peta tentang siapa calon yang digarantori Bang Dul. Tapi ketika ditanya, Bang Dul biasanya menjawab: “Keun eta mah ruang barudak, bere ruang keur diajar”.
Padahal, arah sudah ditegaskan lewat “senior middle”, sang juru bicara informal yang seakan punya hotline ke langit. Mereka menyebarkan arah dukungan dengan penuh keyakinan, meski seringkali tanpa otorisasi langsung. Namun dalam sistem yang sudah dikuasai patronase, klaim sepihak bisa setara dengan pengumuman hilal dari Kemenag.
Begitulah organisasi berjalan: bukan berdasarkan AD/ART, tapi berdasarkan siapa yang dikenal, dan di urutan ke berapa dalam silsilah itu. Loyalitas personal mengalahkan struktur. Patronase bukan hanya sistem pengaruh, tapi juga mekanisme eksklusi. Ia menyaring siapa yang boleh mendapat akses, dan siapa yang cukup jadi penonton.
Dalam suasana seperti itu, kaderisasi hanya menjadi dekorasi struktural. Di panggung depan, kita bicara demokrasi kader dan kolektivitas. Tapi di belakang layar, keputusan ditentukan oleh barisan mana yang lebih cepat mengklaim restu dewa.
Organisasi ekstra kampus hari ini, pada titik tertentu, tak jauh beda dengan negara semu: punya pemimpin bayangan, komunitas fiktif, dan sistem distribusi sumber daya yang hanya bisa diakses melalui loyalitas genealogis. Di tengah semua ini, kader idealis sering kali hanya menjadi figuran—bukan karena kurang pintar, tapi karena salah masuk jalur silsilah.