Cobalah bikin bom. Pakai bahan seadanya. Campur bubuk kopi, serpihan besi, lalu bacakan doa-doa yang paling dahsyat. Tunggu. Tidak akan ada ledakan. Tidak juga gegar. Karena bom tunduk pada hukum fisika. Salah satu unsur, ia jadi benda mati tak berguna. Tapi cobalah bikin ideologi. Tak perlu akurat, tak perlu rasional. Cukup dipercayai bersama. Maka ia bisa meledakkan dunia, bahkan tanpa suara.
Yuval Noah Harari, dalam bukunya Nexus, menyindir kita dengan kalimat yang pahit tapi benar: “Bila Anda membuat bom dan mengabaikan fakta-fakta fisika, bom itu tidak akan meledak. Namun, seandainya Anda membangun suatu ideologi dan mengabaikan fakta-fakta, ideologi itu bisa tetap terbukti berdaya ledak.” Kalimat itu seperti tamparan bagi mereka yang masih percaya bahwa kebenaran ilmiah akan selalu memenangkan pertarungan di dunia nyata. Faktanya tidak.
Dalam sejarah, yang memimpin bukan selalu orang yang paling tahu, tapi orang yang paling mampu membuat orang lain percaya. Termasuk dalam dunia dakwah. Banyak dari kita merasa cukup menyampaikan ayat, menuturkan dalil, membacakan kutipan ulama. Semua seolah sahih. Tapi kemudian kita heran: mengapa suara kita kalah nyaring dari ceramah para influencer? Mengapa khotbah kita lebih sering menjadi latar sunyi, bukan sumber ledakan kesadaran
Barangkali kita lupa: dakwah bukan sekadar menyampaikan kebenaran, tapi membentuk realitas bersama. Membangun imagined community seperti dikatakan Benedict Anderson, atau dalam bahasa Harari: menciptakan fiksi kolektif yang dipercaya begitu kuat hingga sanggup menggerakkan sejarah.
Rasulullah SAW, dalam dakwahnya, tidak langsung bicara soal rukun haji atau hukum waris. Beliau menyampaikan satu kalimat sederhana, tapi revolusioner: La ilaha illa Allah. Sebuah kalimat ideologis yang bukan hanya menolak berhala, tapi juga meruntuhkan seluruh sistem sosial, ekonomi, dan politik jahiliyah. Inilah ledakan ideologi pertama dalam Islam. Bukan karena dalilnya banyak, tapi karena maknanya dalam dan sanggup membakar keyakinan lama.
Di Jawa, para wali tidak datang membawa dalil-dalil keras. Mereka datang dengan simbol, cerita, dan kesenian. Wayang, gamelan, suluk, slametan—semua menjadi jembatan bagi Islam untuk masuk ke dalam jiwa masyarakat. Mereka tahu, kebenaran yang dibungkus budaya akan lebih diterima daripada kebenaran yang disodorkan dengan keras kepala. Walisongo tidak sekadar berdakwah, mereka membangun dunia baru—dunia yang lahir dari gabungan akidah dan budaya, wahyu dan kebijaksanaan lokal.
Namun hari ini, kita sering terjebak dalam nostalgia dakwah masa lalu, tanpa memahami bahwa medan dakwah kini sudah berubah drastis. Media sosial adalah mimbar baru, algoritma adalah pengatur panggung, dan perhatian manusia adalah komoditas yang paling mahal. Dalam realitas ini, kebenaran yang disampaikan dengan gaya lama akan tenggelam di tengah gelombang narasi yang lebih menarik, meski tak benar.
Sayangnya, banyak dari kita yang masih merasa cukup dengan menyampaikan “yang benar.” Kita lupa, kebenaran tidak cukup disampaikan — ia harus diperjuangkan, dirancang, dikemas, dan diceritakan. Karena ideologi yang kuat bukan hanya berdasarkan dalil, tapi juga pada kemampuannya menyentuh imajinasi umat.
Dakwah, sejatinya, adalah kerja ideologis. Bukan berarti menyesatkan, tapi menyusun makna hidup dalam bentuk yang bisa dihayati dan diperjuangkan. Kita butuh dai yang tidak hanya hafal kitab, tapi juga memahami psikologi manusia. Kita butuh pesan Islam yang tidak hanya benar secara dalil, tapi juga menyentuh secara emosional dan relevan secara sosial.
Kini, tantangan dakwah bukan pada banyaknya musuh, tapi pada sunyi dan sepinya imajinasi dakwah itu sendiri. Kita terlalu sibuk menjaga keutuhan teks, hingga lupa menghidupkan maknanya. Kita terlalu takut pada inovasi, hingga kehilangan kreativitas. Padahal, musuh kita bukan hanya kesesatan, tapi juga kebosanan.
Maka, sudah saatnya kita jujur: dakwah yang tidak mampu menciptakan narasi yang menyentuh dan membakar jiwa umat, hanyalah suara kosong yang akan segera dilupakan. Dan dunia ini, sebagaimana kata Harari, lebih banyak diatur oleh mereka yang pandai membangun cerita, bukan sekadar menghitung angka.
Jangan biarkan bom kebenaran kita gagal meledak hanya karena kita terlalu malas meracik sumbunya. Karena kadang, dusta yang disusun rapi lebih berbahaya daripada kebenaran yang disampaikan dengan terbata.