Indonesia memiliki hutan tropis terbesar di ASEAN, meskipun begitu data dari World Resources Institute menunjukan bahwa di tahun 1973 sampai sekarang, deforestasi telah merenggut sekitar 31% hutan primer di Kalimantan. Hutan di Kalimantan menyimpan karbon dalam biomassa dan tanah gambut, yang dilepaskan saat penebangan pohon dan pembakaran hutan. Menurut Global carbon project, deforestasi di Indonesia menyumbang sekitar 10-15% emisi karbon global selama puncak aktivitas pada abad ke-20, dengan deforestasi di Kalimantan sebagai penyumbang utama. Konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, tambang, dan lahan transmigrasi juga telah ikut menghilangkan keaekaragaman hayati dan ekosistem hutan.
Deforestasi merusak siklus hidrologi, penelitian yang dilakukan (Amalia et al. 2019), menunjukan bahwa alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit di Kalimantan memperbesar risiko banjir. Risiko tersebut bersifat sistemik, artinya akibat dan dampaknya tidak hanya bersifat lokal, akan tetapi ada juga pengaruh dari luar, seperti struktur sosial, dan politik global ikut memberi pengaruh yang signifikan. Wilayah sekitar juga menjadi ikut terkena dampaknya, seperti sedimentasi akibat erosi tanah. padahal hutan hujan tropis mempunyai fungsi sebagai pengaturan aliran air, menyerap air hujan, dan menjaga kelembapan tanah. Hal ini tidak berfungsi lagi ketika hutan digantikan oleh pertanian monokultur semisal perkebunan sawit.
Hutan bukan hanya sekkedar sumber daya. Bagi masyarakat hukum adat seperti suku Dayak misalnya, hutan adalah kehidupan, tempat ritual, cerita, dan tempat identitas mereka terjalin. Namun modernisasi yang menjajnjikan kemajuan ekonomi, justru mendorong eksploitasi hutan secara masif dan membabi buta.
Modernisme, sebagai paradigma yang menekankan kemajuan ekonomi, rasionalitas teknokratik, dan dominasi manusia atas alam (antroposentrik), telah menjadi salah satu pendorong utama deforestasi di Kalimantan. Di Indonesia selama Orde Baru hingga kini, narasi pembangunan nasional yang memandang hutan sebagai sumber daya yang harus di eksploitasi untuk pertumbuhan ekonomi. Konsesi kayu diberikan kepada perusahaan swasta dan kroni politik, seringkali dengan dukungan investasi asing dari negara-negara seperti China, dan Amerika Serikat telah mengubah hutan menjadi komoditas global.
Proses ini mencerminkan apa yang disebut oleh Ulrich Beck sebagai “Risk Society” dimana modernisasi menghasilkan konsekuensi lingkungan yang sistemik, transnasional, tidak terduga dan sulit dikendalikan, dengan risiko ditanggung Bersama oleh masyarakat global. Di konteks Kalimantan, modernisme tidak hanya mengubah lanskap fisik, tetapi juga memperdalam ketimpangan sosial dengan menggusur komunitas lokal dan mengabaikan pengetahuan tradisional mereka mengenai pengelolaan hutan.
Siapa yang paling bertanggung jawab atas deforestasi dan berbagai risiko ekologis dan sosial lainnya—individu, korporasi, atau pemerintah—dan bagaimana kita mendeskripsikan tanggung jawab moral dalam skala global?. Pertanyaan-pertanyaan ini mendorong refleksi tentang nilai, etika, dan tindakan kita dalam menghadapi krisis lingkungan yang dalam risiko masyarakat modern, akibat dan dampaknya dirasakan bersama secara global.
Friction (Gesekan lokal dan Global)
Risiko ekologis dari deforetasi mencerminkan ketegangan sosial, ekonomi, dan politik yang lebih luas, hasil dari modernisme dan dinamika koneksi global. Penebangan pohon di Kalimantan bukanlah fenomena yang terisolasi secara lokal belaka, menurut Anna Lowenhaupt Tsing dalam Friction: An Ethnography of Global Conection, koneksi global memainkan peran penting dalam membentuk dinamika eksploitasi sumber daya. Anna Tsing memperkenalkan konsep “Friction” (gesekan), untuk mengambarkan interaksi canggung yang kompleks dan tidak setara antara aktor lokal dan global, seperti masyarakat adat, perusahaan multinasional, aktivis lingkungan, dan organisasi internasional.
Gesekan (friction) terlihat dalam kolaborasi antara pejabat lokal dan investor asing untuk membuka lahan, lalu dalam perjuangan aktivis lingkungan yang berupaya menghentikan deforestasi melalui kampanye global. Misalnya, perdagangan kayu dan kelapa sawit ini menghubungkan Kalimantan dengan pasar di Eropa, Asia, dan Amerika, sementara sertifikasi keberlanjutan seperti Roundtable on Suistainable Palm Oil (RSPO) mencerminkan upaya global dalam mengatasi dampak lingkungan.
Dalam pandangan antropologis, gesekan (friction) ini juga bisa menghasilkan kontradiksi, dimana standar global seringkali gagal mengakomodasi realitas lokal (Ketegangan antara universalisme modern dengan keragaman budaya lokal). Dimana modernisme mempromosikan gagasan universal seperti efisiensi ekonomi dan kemajuan teknologi, yang seringkali mengabaikan pengetahuan ekologis masyarakat adat yang telah mengelola hutan secara berkelanjutan selama berabad-abad. Nancy lee Peluso menunjukan bagaimana kebijakan pengeloalaan hutan di Indonesia telah memarjinalakan komunitas lokal dengan memprioritaskan kepentingan negara dan korporasi.
Misalnya, emisi karbon dari pembukaan lahan dengan pembakaran hutan dampaknya memengaruhi iklim global, di sisi lain asap kebakaran yang dihasilkan langsung dirasakan bahaya kesehatannya oleh penduduk Kalimantan dan tetangga sekitar seperti Malaysia dan Singapura. Sementara itu, pasar global untuk minyak sawit dan kayu keras tropis terus mendorong deforestasi, dengan keuntungan besar mengalir ke perusahaan multinasional dan elit lokal, bukan ke komunitas kecil yang terdampak.
Perbedaan distribusi dan persepsi risiko ini memperumit respon terhadap deforestasi. Di satu sisi, aktivis lingkungan global memprioritaskan pelestarian hutan dengan narasi “paru-paru dunia,” tetapi masyarakat lokal lebih peduli pada kehilangan lahan yang mengancam terhadap kelangsungan kehidupan dan identitas mereka. Michael R. Dove menunjukan bahwa ketergantungan Kalimantan pada pasar global, sejak perdagangan rempah era colonial hingga era sawit sekarang, telah memperburuk kerentanan sosial dan ekologis. Hal ini telah menciptakan sejarah marjinalisasi bagi komunitas lokal.
Upaya mitigasi, seperti Reducing Emissions from Deforestasi and Degradation (REEDD+) atau Roundtable on Suistainable Palm Oil (RSPO) malah sering mencerminkan gesekan “friction” ini, karena pendekatan pemberdayaan yang top-down yang mengabaikan konteks budaya lokal. Hal ini bisa kita lihat pada studi yang dilakukan oleh (Ekawati et al. 2019), mencatat bahwa REED+ di Kalimantan tengah menghadapi tantangan karena kurangnya partisipasi dari komunitas lokal, dan diperparah konflik antara pemerintah, perusahaan, LSM, dan masyarakat lokal.
Makna Hutan
Bagi masyarakat yang bergantung pada hutan seperti suku Dayak, hutan adalah sumber utama kebutuhan hidup. Mereka mengandalkan hutan untuk makanan, seperti hasil buruan, buah-buahan liar, dan tanaman obat tradisional. Rotan, kayu, dan hasil hutan lainnya juga menjadi bahan untuk membangun rumah, alat, dan kerajinan. Hutan bukan hanya menyediakan materi, tetapi juga menjaga keseimbangan ekosistem yang mendukung pertanian tradisional, seperti ladang berpindah yang menjadi ciri khas Dayak.
Hutan memiliki dimensi spiritual yang kuat. Bagi masyarakat adat, hutan adalah tempat bersemayamnya roh leluhur dan entitas gaib yang dihormati. Ritual-ritual adat, seperti upacara Ngaju atau Tiwah suku Dayak, sering kali dilakukan di hutan atau menggunakan elemen-elemen dari hutan, seperti kayu tertentu atau tumbuhan sakral. Hutan menjadi jembatan antara dunia fisik dan spiritual, memperkuat hubungan manusia dengan alam dan leluhur.
Hutan adalah kanvas tempat cerita-cerita leluhur ditulis. Setiap pohon tua, sungai, atau bukit di hutan sering kali memiliki cerita atau mitos yang menjadi bagian dari warisan lisan masyarakat adat. Hutan menyimpan memori kolektif suku Dayak, menjadikannya simbol identitas yang membedakan mereka dari kelompok lain. Kehilangan hutan berarti kehilangan bagian dari sejarah dan jati diri mereka.
Untuk menghormati makna hutan bagi masyarakat adat, diperlukan pendekatan yang mengakui hak-hak adat atas tanah dan hutan. Pengelolaan hutan berbasis komunitas, di mana masyarakat adat dilibatkan dalam pengambilan keputusan, dapat menjadi solusi untuk menjaga keseimbangan antara pelestarian budaya dan pembangunan. Regulasi yang ketat terhadap industri ekstraktif juga penting untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
“Hutan bagi masyarakat adat seperti suku Dayak adalah lebih dari sekadar sumber daya, ia adalah kehidupan, memori, dan warisan yang tak ternilai. Melindungi hutan berarti melindungi identitas dan kelangsungan hidup mereka”.
Refleksi!
Antroposentrisme vs. Ekosentrisme: Haruskah kita memandang hutan hanya sebagai sumber daya untuk manusia saja (antroposentris), atau sebagai sistem kehidupan yang memiliki hak untuk eksis demi dirinya sendiri (ekosentris)? Dalam konteks ini, antroposentrisme seringkali mengedepankan keuntungan ekonomi dan praktik eksploitasi yang mengabaikan keseimbangan ekosistem, sementara ekosentrisme mendorong kita untuk memahami hutan sebagai entitas yang memiliki nilai inheren, yang memainkan peran penting dalam menjaga biodiversitas dan stabilitas lingkungan. Dengan mengadopsi pandangan ekosentris, kita dapat lebih menghargai hubungan kompleks antara semua makhluk hidup, serta tanggung jawab kita untuk melindungi dan melestarikan ekosistem ini demi masa depan yang berkelanjutan. Pertanyaan ini tidak hanya mengajak kita untuk merenungkan hakikat keberadaan hutan, tetapi juga tantangan moral dan etika yang dihadapi umat manusia dalam mempertimbangkan dampak dari setiap tindakan yang kita ambil terhadap lingkungan.
pembahan lebih dalam akan terbit dalam tulisan selanjutnya!