Mengapa kita harus bermoral? Apakah ini artinya? Mungkin kita manusia setidak nya punya dua alasan untuk melakukan sesuatu kata Mark Rowlands.
Alasan pertama, kita ingin melakukannya. Apa alasan mu untuk mencintai seseorang dan melecehkannya? Pada dasarnya kamu menginginkan nya kan?, atau mungkin kamu tertarik untuk itu. Tapi setelah itu kamu juga mempunyai alasan jangka panjang, dengan sedikit refleksi dan berpikir, kamu akan melakukan nya di tempat sepi supaya aman dan nyaman, atau supaya halal di nikahi saja. Karena kalau tidak begitu kamu akan kena sanksi dari Tuhan ataupun masyarakat. Alasan untuk berbuat ini bisa kita sebut alasan Prudensial. Kita punya alasan Prudensial karena punya kepentingan, dan kita punya kepentingan karena kita punya hasrat. Oleh karena itu alasan Prudensial kita adalah fungsi sesuatu yang kita inginkan.
Akan tetapi, kita juga bisa bertindak demi sesuatu alasan yang benar2 buta dan berbeda. Kadang kita bertindak sesuatu karena (bisa benar atau salah) itu seharusnya di lakukan. Tidak selalu “benar” buat kita dalam arti Prudensial tapi setidaknya “benar” dalam arti MORAL.
Bahkan seringkali sesuatu yang menurut kita benar secara moral, tidak sesuai dengan yang kita inginkan. Sehingga tidak sesuai sama sekali dengan alasan Prudensial kita untuk melakukan nya. Contohnya, jika kamu bukan bajingan, maka kamu akan ragu dalam upaya untuk melecehkan seseorang yang kamu cintai yang sebelumnya kamu beri obat tidur, dengan alasan salah secara moral. Dan hal ini berlaku demikian betapapun besarnya berahi yang kamu alami, dan besar nya kesempatan ada nya tempat sepi untuk kepentingan mu dalam jangka waktu yang panjang. Atau contoh apapun itu pasti manusia pernah mengalami nya.
Maka pertanyaan selanjutnya adalah “mengapa kita bertindak demi alasan moral, bukan alasan Prudensial?” dan kenapa kita mebiarkan alasan Prudensial di kalahkan oleh alasan moral? Inilah pertanyaan mendasar mengenai MORALITAS.
Tuhan mengawasi…
Temanku bilang “moral ada karena ada kematian, coba lamun abadi haha”
Peryataan di atas bisa berarti manusia bermoral karena takut mati dan setelah mati tindakannya itu akan di hukum Tuhan di akhirat (jangka panjangnya). Atau bisa berarti manusia bermoral karena takut di hukum masyarakat lalu mati? Atau bisa berarti kalau abadi berarti kita Tuhan yang menciptakan moralitas itu.
Bagi orang beragama mungkin tidak masalah kita takut neraka kalau bertindak amoral karena baginya tuhan selalu mengawasi. Akan tetapi itu jangka panjangnya, bagaimana dengan jangka pendek nya? Misalkan contoh kita membunuh orang dengan seenaknya, apakah kita hanya akan berfikir “wah nanti mati aku akan masuk neraka”, dan bagaimana dengan sisi kemanusiaannya?, Bagaimana dengan suatu perasaan sesal? Dan tindakan sosialnya? dan bagaimana kalau tidak beragama dan bertuhan? Bagiku itu terlalu melangit dan tidak membumi. Pada dasarnya melakukan sesuatu demi tuhan itu mengubah alasan moral (yang seharusnya dilakukan, tanpa refleksi atau kepentingan yang panjang) menjadi alasan Prudensial (kepentingan, refleksi dll).
“Orang yang berpendapat bahwa inilah satu satunya alasan untuk bermoral membuat saya ngeri”!
Apa yang terjadi ketika Tuhan mati?
Apakah secara tersirat kita bukanya berpegang pada hukum moral buatan Tuhan yang objektif dan mengikat, sambil sekaligus menolak Tuhan yang membuatnya? Dalam pandangan ini, terdapat kontradiksi yang mencolok, kita berusaha untuk mendefinisikan apa yang baik dan buruk, serta benar dan salah, tanpa merujuk kepada entitas yang mentransmisikan hukum-hukum tersebut. Pada saat yang sama, banyak orang beranggapan bahwa moralitas adalah sesuatu yang bersifat universal, seakan-akan dapat dipisahkan dari sumber ilahi. Namun, jika kita mengabaikan keberadaan Tuhan dalam konteks moralitas, apakah kita tidak secara tidak langsung meretakan dasar dari etik dan nilai-nilai yang kita anut, serta menciptakan kebingungan dalam penerapan moral yang seharusnya konsisten dan saling mengikat?
Coba kita ganti tuhan dengan masyarakat
Thomas Hobbes, Manusia itu Jahat dan Egois
Filosof Inggris abad 15 ini pernah menjawab pertanyaan tentang moralitas ini. Menurut dia kita bermoral karena kita membuat kontrak kebebasan dengan orang lain. Atau dengan kata lain teori kontrak sosial. Menurut Hobbes manusia itu egois, jahat, kejam, keji dan yang paling edan, orang yang tak bermoral mementingkan dirinya sendiri yang tega menjual neneknya demi seks.
Aturan dasarnya adalah: “lakukan apapun yang bisa kamu lakukan untuk mendapatkan apapun yang kamu inginkan.” Tapi sebenarnya kehidupan itu lebih rumit dibanding apa yang di uraikan di atas. Sebab, jika anda menghalalkan segala cara untuk memperoleh hal yang di inginkan, orang lain pun demikian pula, anda egois tetapi demikian pun orang lain. Ini seperti paradoks kebabasan dan keinginan.
Makanya menurut Hobbes manusia melakukan kontrak sosial supaya saling menguntungkan dan terjadilah tindakan moral. Contohnya supaya wanita bisa hidup dengan nyaman maka dilakukan kontrak sosial supaya tidak terjadi pemerkosaan karena antara pemerkosa dan yang di perkosa sama2 egois, punya kebebasan dan keinginan nya masing. Tetapi kalau di pikir pikir lagi apa bedanya masyarakat dengan Tuhan kalau begitu?
Maksud nya begini, kalau saya bertanya pada Hobbes “mengapa harus bermoral?”. Bukan kah sama saja dengan “mengapa mematuhi kontrak?”. Mungkin jawaban Hobbes adalah : jika anda tidak memenuhi ketentuan kontrak, anda akan di hukum!…
Sederhana saja, PERANAN TUHAN DI AMBIL ALIH OLEH MASYARAKAT. Menurut Emanuel kant ini adalah moralitas hampa!. Pandangan psikopat tentang moralitas!.
“Dua hal memenuhi pikiran ku dengan keheranan dan ketakjuban yang semakin besar semakin sering dan semakin kuat aku merenungkanya, langit berbintang di atasku dan hukum moral di dalamku”.
Karena telah terjadi perebutan tahta suci antara Tuhan dan masyarakat sebagai sang pengganjar. yang aku pertanyakan hanyalah pertanyaan genealogisnya, sebabnya aku menggunakan kata “mengapa” orang2 harus bermoral? mau benar ataupun salah itu pendapat kalian kerena kebenaran itu subjektif.
Sebelum masuk pada apa yang di katakan Kant, mungkin lebih baik kita renungkan juga apa yang di pikirkan filosof empiris Skotlandia, David hume. Karena tesisnya masuk dalam kritik kant. tapi setidaknya tidak seperti yang di sindir kant “kehampaan”.
Tak bisakah kita semua bergaul dengan baik?
Karena kita masih memerlukan jawaban atas pertanyaan, “mengapa harus bermoral?” (Mengapa kita harus membiarkan alasan Prudensial kalah oleh alasan moral?).
Kata David hume gambaran manusia yang di sebutkan dalam teori kontrak sosial yang sederhana, yang menyebutkan bahwa manusia itu bajingan, jahat, kejam, serakah, dan egois, tidak sepenuhnya benar. Karena dari sebagian kita tidak akan rela menjual nenek sendiri demi kepentingan seks, sekalipun di iming iminggi kekayaan. Sebagian dari kita menyayangi nenek kita. Sebagian dari kita menyukai sesama manusia. Sebagian dari kita…baik hati. Hal ini memunculkan kemungkinan bahwa kita bisa saja bertindak demi alasan moral, bukan semata-mata berdasarkan alasan Prudensial, karena ada perasaan umum yang menyangkut rasa senang, sayang, empati, simpati, sayang-teman yang kita rasakan kepada teman dan kerabat, kepada orang asing pun, dan bahkan bukan ke manusia saja.
Apakah ini membuat kita bisa menjawab pertanyaan, “mengapa harus bermoral?” Kalau menurut saya, ternyata tidak.
Aku berpikir yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan itu adalah suatu pembenaran kenapa kita harus condong pada alasan moral, bukan berdasarkan alasan Prudensial. Karena jawaban yang di suguhkan oleh Hume bukanlah pembenaran, melainkan hanya penjelasan kausal belaka. Misalkan anda seperti mengucapkan sesuatu yang tidak semestinya, “domba ku yang putih malam ini agak memikat hatiku!” Teman anda yang terkejut berseru, “kok kamu bisa berkata begitu?” Anda menjawab, “mudah saja, aku membuka mulut dan kata2 itu yang keluar.” Mungkin seperti itu ketika Hume menjawab pertanyaan “mengapa harus bermoral?”
Karena apa yang di sebutkan nya tentang sayang, empati, simpati hanyalah kausalitas yang terjadi di kehidupan ini. Dan hal itu pasti terjadi dalam kehidupan manusia. sedangkan kaum agama menyebut hanya kebaiikan itu malaikat dan hanya kejahatan itu iblis. Kita tidak bisa begitu saja mengandalkan klaim bahwa kadang-kadang pada sejumlah orang alasan moral mengalahkan alasan Prudensial.
Kant dan pemikiran seputar moral
jujur saja fislafat kant tentang moral memang agak sulit dipahami dalam tulisan-tulisanya, dan itu butuh waktu dan penyucian diri dari maksiat untuk mengingatnya.
mungkin ini yang ku pahami:
“mengapa harus bermoral?” menurutku kant menjawabnya dengan cerdik “konsistensi”. tentu saja kant paham strategi jawaban yang berdasarkan agama dan teori kontrak sosial terhadap pertanyaan “mengapa harus bermoral?”. makanya dia mengatakan keduanya adalah moralitas yang hampa. alasanya karena keduanya tidak konsisten! . begini, contohnya anda melakukan demo yang berjilid-jilid dengan alasan mesti-secara moral- melakukan itu menurut agama. atau mesti secara moral melakukan sesuatu, ini pada akhirnya hanya akan menyudut kepada klaim bahwa anda mesti -secara prudensial- melakukan hal itu. mengapa?
karena melakukan apapun yang semestinya anda lakukan adalah sesuai dengan kepentingan anda -kepentingan jangka pendek maupun panjang- dan inilah mengapa anda mesti melakukanya. jadi sepertinya nihil melihat pandangan dari agama tentang moral? karena tidak konsisten. karena kegeniusan kant adalah melihat makna lain dari mesti (makna yang logis ataupun rasional). dalam makna ini, jika anda percaya bahwa anda melakukan kejahatan, maka anda mesti, secara logika, percaya bahwa anda pernah menyakiti seseorang sekurang-kurangnya satu kali. konsisten antara moral dan prudensial secara logika. Jika anda percaya x maka anda mestilah secara logika percaya pada apa yang di isyaratkan oleh x. maka hampa ketika pandangan agama terhadap moral ternyata pada akhirnya menyudut ke arah alasan prudensial, dan itu tidaklah konsisten secara logika.
Pada pemikiran Kant yang kita temukan, yang hakiki adalah upaya untuk menyusutkan kemestian moral bukan kepada kemestian prudensial, melainkan pada kemestian logis. Dalam pandangan ini, Kant berpendapat bahwa moralitas harus dibangun berdasarkan prinsip-prinsip rasional yang universal, yang dapat diterima oleh semua individu tanpa beda-beda ras, agama, negara, dan ideologi. Ia menekankan pentingnya kemandirian berpikir dan penalaran kritis dalam menentukan tindakan yang benar, bukan sekadar mengikuti norma-norma konvensional yang mungkin tidak selalu mencerminkan kebenaran moral yang mendasar. Dengan demikian, Kant mendorong kita untuk berfokus pada fondasi logis dari etika, yang akan memberikan pilar yang kuat dalam menjalani kehidupan yang bermoral.