Abu Jahal: Ketika Kebaikan Sosial Tunduk pada Ego Kekuasaan

Kita sering keliru membaca sejarah. Kita terburu-buru menilai seseorang hanya dari siapa lawannya, bukan dari kenapa ia melawan. Maka ketika nama “Abu Jahal” disebut, yang terbayang segera adalah iblis bermata manusia, penindas Nabi, pemimpin kekafiran. Ia dijadikan simbol kebencian, musuh umat, Fir’aun dalam era profetik Islam. Tapi siapa sesungguhnya Abu Jahal? Benarkah ia jahat secara mutlak? Atau justru, di balik antagonisme itu, ada cermin besar yang memperlihatkan sisi kelam manusia yang tak sanggup kehilangan kuasa?

Nama aslinya adalah ‘Amr bin Hisyam bin al-Mughīrah al-Makhzūmī, tokoh sentral dari Bani Makhzum—salah satu kabilah Quraisy paling elit dan berpengaruh dalam struktur politik, ekonomi, dan militer di Mekkah pra-Islam. Di zamannya, ia dijuluki Abu al-Hakam (bapak kebijaksanaan), bukan tanpa alasan. Ia adalah pemuka musyawarah, penengah konflik, tokoh yang dijadikan rujukan dalam sengketa, serta pelindung nilai-nilai kesukuan yang dijunjung masyarakat Jahiliyah. Dalam riwayat yang dikutip oleh para sejarawan seperti Ibnu Hisyam, al-Tabari, hingga Ibnu Katsir, Abu Jahal dikenal sebagai tokoh sosial yang sangat dermawan dan memuliakan tetangga—bahkan dikatakan bahwa ia tidak akan makan sebelum tetangganya kenyang.

Dalam konteks nilai-nilai moral Jahiliyah—yang menilai mulia dari keberanian, kedermawanan, dan loyalitas kesukuan—Abu Jahal termasuk puncak dari ideal sosial. Ia adalah sosok pemimpin visioner dalam kerangka zaman pra-wahyu. Tapi justru di sanalah letak tragisnya: ia begitu terikat pada kemuliaan Jahiliyah hingga tak mampu menerima datangnya nilai-nilai transenden yang menantang semua fondasi yang selama ini menopangnya.

Tatkala Nabi Muhammad SAW menyampaikan Islam, ajaran itu bukan hanya soal teologi, tapi sebuah revolusi sosial radikal: menghapus kasta, meruntuhkan ketimpangan sosial, membebaskan budak, menyetarakan perempuan, dan yang paling fatal—menghapus hak istimewa bangsawan Quraisy. Islam bukan hanya menantang berhala, tapi juga struktur kuasa. Dan Abu Jahal, sebagai simbol aristokrasi Quraisy, merasa terancam. Dalam satu pengakuan jujur, ia pernah berkata:

“Kami dan Bani Hasyim bersaing dalam kemuliaan. Jika mereka memberi makan, kami pun memberi makan. Jika mereka menanggung beban, kami pun menanggungnya. Hingga tiba saat mereka berkata, ‘Kami punya Nabi dari langit.’ Demi Allah, kami tak akan pernah percaya dan mengikutinya!” (Diriwayatkan oleh Ibn Ishaq dan al-Bayhaqi)

Kalimat ini menyibak realitas psikologis Abu Jahal: ia tahu Nabi Muhammad benar, tapi menolaknya karena ego sosial dan politik. Seperti Fir’aun, ia tidak menolak karena tak paham, tetapi karena tak mau kehilangan kuasa. Bahkan dalam catatan Ibnu Katsir (al-Bidāyah wa al-Nihāyah), disebutkan bahwa Abu Jahal pernah berkata kepada teman-temannya:

“Muhammad tak berdusta. Tapi jika kita ikuti dia, maka semua kekuasaan akan lepas dari kita.”

Inilah yang membuatnya tidak hanya menjadi penentang, tapi musuh ideologis dakwah. Ia menyiksa budak-budak yang masuk Islam, termasuk Bilal bin Rabah, mendanai pemboikotan terhadap Bani Hasyim, dan memimpin pasukan Quraisy dalam Perang Badar—perang pertama dalam sejarah Islam. Ia tewas dalam perang itu, bukan di medan kehormatan, tapi dalam keadaan terluka dan dipermalukan, tewas di tangan dua remaja dari kalangan Anshar. Sebelum menghembuskan napas terakhir, ia sempat bertanya pada Abdullah bin Mas’ud, yang menginjakkan kaki di lehernya:

“Apakah aku dibunuh oleh rakyat jelata seperti kalian?”

Kalimat terakhir itu menggambarkan betapa Abu Jahal tetap mempertahankan kasta sosialnya bahkan saat ajal menjemputnya.

Dari sinilah kita bisa mengambil pelajaran penting: kebaikan sosial tidak otomatis membuat seseorang berpihak pada kebenaran. Abu Jahal adalah bukti nyata bahwa orang baik, dermawan, dan dihormati di masyarakat bisa menjadi musuh kebenaran jika tidak sanggup melepaskan egonya. Ia bukan penjahat dalam pengertian kriminal, tetapi ia mempertahankan sistem zalim yang menguntungkan dirinya, dan memilih melawan wahyu demi melestarikan tatanan lama.

Dalam kerangka ini, Ali Syariati memberi kita pisau analisis yang tajam. Menurutnya, dalam setiap sejarah profetik, musuh para nabi bukanlah orang-orang jahat dalam arti moral, melainkan mereka yang berpendidikan, terpandang, tetapi menolak perubahan karena takut kehilangan kekuasaan dan privilese. Dalam ceramahnya yang berjudul Tugas Cendekiawan Muslim, Syariati menulis:

“Para nabi datang bukan untuk membangun kembali moral aristokrat, tapi untuk menggulingkan struktur yang melanggengkan penindasan.”

Bagi Syariati, Abu Jahal bukan hanya individu, tapi simbol dari Islam yang ditolak karena melawan struktur kuasa. Ia adalah arketipe dari mereka yang “beragama” secara simbolik, tetapi memusuhi pesan pembebasan dari agama itu sendiri. Dan di sinilah letak tragedi dunia Islam hari ini.

Kita menyaksikan kebangkitan simbol-simbol Islam: masjid megah, hafalan massal, perayaan hijrah, jargon syariah. Tapi di saat yang sama, kesenjangan sosial makin tajam, korupsi merajalela, kezaliman dilegalkan. Di banyak negeri Muslim, kekuasaan berselimut agama tapi menindas yang lemah. Kita menyaksikan Abu Jahal dalam wujud baru: tokoh agama yang menolak kebenaran ketika itu mengancam kenyamanannya sendiri.

Syariati menyebut ini sebagai “agama melawan agama”: agama pembebasan melawan agama status quo. Dalam narasi itu, Abu Jahal adalah imam dari agama status quo, agama yang hanya menundukkan kepala di masjid tapi menindas di pasar, di kantor, di parlemen.

Abu Jahal bukan hanya cerita masa lalu. Ia adalah mentalitas abadi yang hidup dalam setiap zaman. Dalam setiap komunitas, selalu ada orang-orang yang tak sanggup berdiri di sisi kebenaran karena terlalu nyaman di sisi kekuasaan. Dan yang paling tragis: mereka tidak merasa bersalah. Mereka merasa sedang membela stabilitas. Persis seperti Abu Jahal merasa membela kehormatan Quraisy.

Pertanyaannya: apakah kita sedang berada di posisi Muhammad atau Abu Jahal dalam hidup ini? Apakah kita siap menerima kebenaran meski itu mengguncang zona nyaman, ataukah kita lebih memilih stabilitas yang penuh kepalsuan?

Kisah Abu Jahal bukan sekadar pelajaran sejarah, tapi peringatan eksistensial. Ia mengajarkan bahwa kebaikan tanpa keberpihakan pada keadilan bisa menjelma kekejian tersembunyi. Ia adalah cermin yang menantang kita hari ini: apakah kita akan berdiri bersama Nabi dalam perjuangan menegakkan kebenaran, atau bersembunyi di balik status sosial dan mengulang jejak Abu Jahal?