Menjelang peringatan 80 tahun Kemerdekaan Indonesia, langit negeri ini diwarnai oleh sebuah simbol tak terduga: bendera kru Bajak Laut Topi Jerami (Mugiwara) dari serial anime One Piece. Pengibaran Jolly Roger bergambar topi jerami itu—dari atap rumah hingga tiang-tiang publik—awalnya sekadar aksi cosplay maritim sebetulnya, berlanjut jadi pemicu kontroversi nasional. Dari pujian atas kreativitas hingga tuduhan makar dan penghinaan lambang negara, reaksinya kek badai Grand Line. Fenomena ini merupakan kasus klasik moral panic ala Stanley Cohen yang diperankan oleh institusi negara dan media, dengan bendera Mugiwara sebagai folk devil yang dianggap mengancam tatanan. Tulisan ini mencoba untuk menyuguhkan penguraian pada dinamika tersebut, menelusuri konstruksi kepanikan, transformasi makna simbol, dan ketegangan antara ekspresi pop-culture dengan kontrol negara—dibumbui ironi selucu aksi Luffy mencuri kue di dapur Sanji.
Mekanisme Pemburuan Hantu Sosial
Dalam karyanya Folk Devils and Moral Panics (1972), Stanley Cohen memetakan bagaimana masyarakat—digerakkan media, elit politik, dan lembaga moral—menciptakan “kepanikan moral” terhadap kelompok atau simbol yang dianggap menyimpang (folk devils). Prosesnya terstruktur dari mulai 1) sensasional media, di mana fenomena minor diangkat sebagai “ancaman besar” dengan framing dramatis, misal: “Bendera Bajak Laut Berkibar di Ibu Kota, Makar?”; 2) amplifikasi Elit, yang menghadirkan pernyataan tokoh publik dan pejabat seraya mengutuk, menuntut tindakan hukum, dan memperkuat narasi ancaman, misal: BPIP menyebutnya “pengkhianatan simbolis”; 3) polarisasi publik, menciptakan masyarakat yang terbelah antara kelompok yang pro dan membelanya sebagai ekspresi budaya, dan konservatif yang menyerukan “penertiban”; 4) respon represif, tentunya pelibatan aparat yang bertindak—penurunan bendera, pemanggilan pelaku—untuk mengembalikan “ketertiban moral”.
Yang coba Cohen tegaskan ialah moral panic tidak bisa kita lihat hanya sebatas refleksi bahaya nyata, tapi “kartun sosial” yang justru mengalihkan perhatian dari masalah struktural. Seperti halnya Marine di One Piece yang sibuk mengejar Luffy tinimbang memberantas korupsi di markasnya sendiri.
Pada akhirnya bendera Mugiwara pun yang fiktif, mengalami metamorfosis makna (peyoratif) yang, bisa dibilang cukup ironis di negeri kita. 1) makna asali (Fiksi) ialah simbol kru Topi Jerami (Mugiwara) yang kaptennya ialah Luffy dengan simbol—nilai kebebasan, persahabatan, melawan tirani, diubah menjadi 2) makna adaptasi (subkultur) sebagai ekspresi kreatif generasi muda, sindiran terhadap ketimpangan sosial, dan beralih makna jadi 3) makna rekayasa (moral panic), yang Dikodekan ulang sebagai “simbol makar”, “penghinaan Merah-Putih”, dan ancaman ideologis (folk devil).
Transformasi makna ini, bukan kebetulan. Sejarah Indonesia penuh dengan folk devils: dari geng motor, preman, dukun, hingga LGBTQ. Bendera Mugiwara hanyalah aktor terbaru dalam panggung kepanikan nasional. Pejabat yang menyamakannya dengan “pemberontakan” ibarat menganggap Luffy—yang motivasi utamanya adalah menemukan One Piece dan makan sepuasnya—sebagai Che Guevara bercambang. Lucu sekaligus tragis.
Simbol Pop-Culture sebagai Senjata (dan Perisai) Politik
Hal yang cukup menarik lainnya ialah, fenomena ini mengungkap strategi resistensi generasi digital, yang menggunakan “Bahasa Simbol” sebagai yang Universal, di mana Bendera Mugiwara lebih mudah “dibaca” anak muda daripada jargon politik usang. Strategi ini juga merupakan ambivalensi sebagai Perlindungan, statusnya sebagai “hanya anime” yang memungkinkan kritik terselubung (“Ini Cuma cosplay, pak”), sekaligus mengelak tuduhan serius.
Bisa disebut sebagai metafora yang pas, di mana nilai Mugiwara—melawan World Government yang korup—adalah alegori sempurna untuk mengkritik otoritarianisme dan ketimpangan di dunia nyata. Namun, seperti Luffy yang acuh pada politik rumit (“Aku mau jadi Raja Bajak Laut, bukan presiden!”), sebagian pengibar bendera mungkin tak punya agenda politis matang—hanya ingin viral atau fun. Di sinilah negara terjebak dalam overreading dan overreact: menganggap “ancaman” di mana yang ada hanya ekspresi carnivalesque ala Bakhtin.
Respon negara, pejabat dan tokoh publik bisa dibilang cukup jenaka sebetulnya, karena satu sisi mencerminkan ketakutan klasik terhadap culture resistance. Sebutlah, logika kontrolnya negara, yang menekankan Simbol di luar kanon nasional—Pancasila, bendera resmi—dianggap subversif. Padahal, nasionalisme bisa cair—seperti fans Persib yang kibarkan bendera klub di hari kemerdekaan. Namun juga, Paradoks Kreativitas, di mana Pemerintah mendorong ekonomi kreatif, tapi panik ketika kreativitas menyentuh ranah simbolis politik.
Menjadi Hiperbola Hukum yang bakal Menjerat pengibar bendera dengan pasal makar (KUHP 107) sama absurdnya dengan menuduh Buggy si Badut sebagai dalang kudeta. Reaksi ini justru menguatkan posisi bendera Mugiwara sebagai simbol perlawanan—seperti efek Streisand. Semakin dilarang, semakin sakral ia jadi memetic resistance.
Penghujung Kisah, daripada Panik
Fenomena—saya menyebutnya—“Mugiwara flag” bukan tentang makar atau penghinaan lambang negara. Ia merupakan cerminan Moral Panic, bukti bahwa mekanisme Cohen masih hidup—media dan elite mengonstruksi ancaman dari fenomena trivial, juga sebagai Ujian Demokrasi Simbolis—sejauh mana negara toleran terhadap ekspresi budaya yang memplesetkan otoritas dan juga sebagai fenomena Transformasi Makna, di mana simbol pop-culture adalah medan pertarungan wacana—bisa jadi mainan, bisa jadi senjata.
Alih-alih represif, negara perlu chill seperti Shanks: hadapi dengan dialog, bukan pedang. Kepanikan moral hanya mengalihkan energi dari ancaman nyata—korupsi, kesenjangan, krisis iklim, HAM—yang jauh lebih ganas daripada sekadar bendera anime. Sebagai pamungkas, mari renungkan kata-kata “bijak” Monkey D. Luffy: “Jika kau lapar, makanlah!”. Mungkin pejabat kita hanya perlu kenyang sebelum menilai simbol. Karena, jujur saja, wacana makar dari bendera fiksi itu… gekgek level over 9000!
Tanpa Daftar Pustaka dan Rujukan
Karna seribu episode lebih One Piece, Luffy Tak Suka Baca. Hanya satu episode yang menampilkan Luffy “mau” baca buku poneglyph, dan itu pun tidak jadi. sekian..