Coba bayangkan sebuah minimarket di sudut kota, di rak bagian depan: bukan air mineral, bukan susu UHT, tapi botol-botol berlabel “Validasi Ekspres: Rasa Piagam, Rasa Gelar, Rasa Saldo Rekening, dan Rasa Caption Bijak.” Ukuran galon dan refill juga tersedia. Karena rupanya, banyak orang hari ini kehausan. Tapi bukan kehausan makna, apalagi kasih sayang—melainkan kehausan untuk diakui, disanjung, dan dipuja. Dunia ini berubah menjadi etalase pencapaian, dan manusia jadi brosur berjalan. Semua harus diumumkan: dari gelar yang baru diraih, saldo yang menebal, hingga penghargaan yang tak jelas siapa yang memberi.
Dulu, orang hebat tak banyak bicara. Kini, orang yang belum tentu hebat bicara terus menerus, terutama soal pencapaiannya. Di era media sosial, validasi adalah mata uang sosial. Dan sayangnya, banyak yang sudah bangkrut batinnya, sehingga tiap pujian terasa seperti pinjaman hidup sehari lagi. Sebuah penelitian dari American Psychological Association (2020) mencatat meningkatnya ketergantungan generasi muda pada “external validation”—pengakuan dari luar—sebagai sumber harga diri. Di Indonesia, data We Are Social (2024) menunjukkan bahwa konten yang paling sering diunggah dan disukai adalah konten pribadi yang memamerkan prestasi, harta, dan gaya hidup. Kita hidup dalam zaman di mana nilai manusia diukur dari seberapa sering ia memberi tahu dunia: “Aku sukses, lho. Lihat aku. Puji aku.”
Tentu, validasi bukan hal buruk. Manusia memang makhluk sosial yang butuh pengakuan. Tapi saat validasi berubah jadi candu, ia mengubah karakter. Maka lahirlah generasi yang sibuk membuktikan diri, bukan membentuk diri. Prestasi tak lagi jadi alat pertumbuhan, melainkan umpan untuk menuai kagum. Orang pamer piagam dari webinar dua jam, mencetak sertifikat daring lalu memajangnya di LinkedIn seolah telah memecahkan kode genetika manusia. Ada yang baru beli motor kredit, langsung pasang caption syukur panjang: “Perjalanan tidak mudah, tapi Allah Maha Baik.” Tapi kita semua tahu, ada aroma pamer yang diselubungi selimut religius.
Dari kacamata psikoanalitik, ini bisa dijelaskan lewat konsep false self dari Donald Winnicott. Banyak orang membentuk citra palsu untuk memenuhi ekspektasi sosial. Mereka tampil kuat, sukses, bahagia, tapi itu semua topeng. Ada luka lama yang belum sembuh. Anak-anak yang dulu kurang pujian kini tumbuh menjadi dewasa yang lapar tepuk tangan. Gelar demi gelar dikumpulkan bukan untuk ilmu, tapi untuk gengsi. Bahkan kejujuran pun kini dikurasi: kita hanya membagikan sisi hidup yang layak ditiru, tak pernah yang layak direnungi
Dan semua ini makin diperparah oleh algoritma. Platform digital dirancang untuk menguatkan ekshibisionisme. Semakin sering kita menunjukkan diri, semakin banyak reward: likes, comments, reposts. Maka, kita tak lagi hidup dalam kenyataan, tapi dalam kurasi. Hidup bukan tentang merasa cukup, tapi terlihat cukup. Bukan tentang menjadi bahagia, tapi tampak bahagia. Tidak aneh kalau akhirnya muncul fenomena: orang yang cemas ketika tidak dipuji, sedih ketika tidak divalidasi, dan kosong ketika layar dimatikan.
Saya tidak menulis ini dari posisi malaikat. Saya pun pernah terpeleset di lubang yang sama. Pernah unggah sesuatu sambil berharap: “Semoga ada yang bilang hebat.” Pernah berharap satu like bisa memperbaiki satu hari yang buruk. Tapi semakin lama, saya sadar: meminum validasi dari luar tak akan pernah benar-benar menghilangkan dahaga dari dalam.
Zaman ini butuh kritik, bukan lagi basa-basi. Kita perlu bilang terus terang: terlalu banyak orang yang hidup hanya untuk dinilai. Terlalu banyak orang yang gagal membedakan mana yang tulus, mana yang pencitraan. Kita hidup di tengah parade pencapaian, dan lupa bertanya: apakah ini benar-benar kita, atau hanya persona yang kita bangun agar dianggap ada?
Jadi kalau suatu hari nanti ada toko yang benar-benar menjual validasi dalam bentuk galonan, saya sarankan untuk buka 24 jam, lengkap dengan sistem delivery. Karena pasar pemujian sedang ramai. Banyak orang haus. Banyak yang takut tak dianggap. Dan lebih sedihnya lagi: banyak yang sudah lupa cara merasa cukup, tanpa harus dilihat oleh siapa pun.