Bandung dan Macet: Tuhan mungkin malas Tersenyum

“Bandung diciptakan saat Tuhan sedang tersenyum.” Kalimat yang, terpampang di dinding tua dekat alun-alun, dan dikutip orang-orang, dipercaya. Dulu saya pun begitu—percaya. Entah karena udara sejuknya, orang-orangnya yang ramah, atau memori masa muda di antara kuliner malam dan hujan yang sering datang tiba-tiba.

Saya tinggal di kota ini lebih dari satu dekade. Dua belas tahun. Dari mahasiswa, bekerja hingga berkeluarga menjadi ayah. Dan sepanjang itu pula, saya menyaksikan Bandung berubah—mungkin ke arah yang lebih baik, mungkin juga ke arah yang lebih semrawut.

Ambil contoh kecil, rumah saya di Cileunyi, tempat kerja di Jalan Soekarno Hatta. Jaraknya hanya enam kilometer. Jika percaya peta, waktu tempuhnya tak lebih dari 15 menit. Tapi nyatanya, saya bisa terjebak hingga satu jam. Dan yang lebih menyebalkan, semua orang menganggap itu wajar. Seolah macet sudah masuk kategori iklim. Senin pagi, Jumat sore, kendaraan berjubel di persimpangan jalan Bandung Timur.

Beberapa waktu lalu, sebuah data muncul. Konon, TomTom Traffic Index 2024 mencatat Bandung sebagai kota termacet di Indonesia—menggeser Jakarta. Saya tidak terkejut. Bandung memang sudah lama macet, sejak kuliah saya rasakan itu. Hanya saja sekarang angka yang berbicara dan membuat orang percaya. Semua warga Bandung sudah sangat paham momen epik lampu merah yang membelah jalanan utama Bandung itu. Jalan Soekarno Hatta sang legendaris. Lampu merah yang memaksa warga Bandung menunggu. 240 detik setiap merah, dan 30 detik untuk lampu hijau. Maksudnya, tentu mengurai kemacetan. Hanya saja “ketersendatan” adalah peristiwa tak terelakkan.

Namun di balik kekacauan itu, ada sesuatu yang diam-diam membuat saya angkat topi untuk kota ini: orang Bandung nyaris tak pernah membunyikan klakson, tidak seperti kota kelahiran saya. Di tengah macet yang menyulut emosi, bunyi klakson jarang terdengar. Jika pun ada, besar kemungkinan itu datang dari luar kota. Di Bandung, orang macet dengan sopan. Diam, sabar, nyaris pasrah.

Apakah ini anomali? Atau gambaran paling jujur dari karakter kota ini—yang ramah, tapi juga permisif? Kota lain bereaksi dengan protes. Di sini, kemacetan ditelan bulat-bulat, bahkan tak bisa dimuntahkan. Bandung tak melawan. Bandung hanya mendiamkan. Masalahnya, diam tidak memperbaiki apa pun.

Alih-alih membenahi transportasi publik—nadi pergerakan warga—pemerintah lebih sibuk mendirikan monumen. Proyek-proyek besar dikebut, estetika dijunjung, tapi fungsi diabaikan. Masjid Raya Al-Jabbar contohnya. Megah, mencolok, dan indah. Sangat monumental, sebuah ikon Jawa Barat. Tapi, letaknya di Gedebage. Sebuah kawasan yang infrastrukturnya rapuh. Tak ada jalur transportasi publik yang memadai, tak ada sistem parkir, ruas jalan yang sempit, dan tak ada rekayasa lalu lintas. Dalam setiap monumen, orang-orang datang, berbondong-bondong, dan kemacetan pun meluas.

Ini bukan soal menolak masjid besar. Ini soal prioritas yang keliru. Mengapa mengundang ribuan orang jika jalan menuju ke sana masih sempit dan semrawut? Seperti menyuruh tamu datang ke rumah megah yang belum selesai dibangun akses jalannya. Lantainya becek, pintunya belum ada, tapi tamu sudah antre.

Dan pola ini berulang. Taman-taman kota dengan akses macet. Kawasan wisata dadakan. Jalan diperlebar tapi mobil pribadi terus bertambah. Semacam menambal ban bocor dengan selotip, bukan mengganti bannya. Tampak sibuk, tapi tak menyelesaikan apa-apa.

Semua ini bukan sekadar soal lalu lintas. Ini soal cara berpikir. Soal bagaimana pemerintah memandang kota—bukan sebagai ruang hidup, tapi etalase. Kota dianggap selesai jika tampak indah di foto, bukan ketika warganya bisa bergerak dengan mudah.

Padahal, kota yang baik bukan yang punya landmark megah, tapi yang bisa membuat warganya berjalan kaki tanpa takut, naik angkutan umum tanpa lelah, dan pulang ke rumah tanpa stres karena jalan macet. Kita bisa menyebut Jan Gehl, atau siapa pun yang bicara tentang “livability”. Tapi Bandung tak peduli. Bandung sibuk membangun wajah, lupa merawat tubuh.

Dan yang membuat saya gelisah, warga Bandung diam saja. Kita hidup dalam kepasrahan kolektif. Macet diterima seperti nasib. Klakson tak ada. Wajah tetap ramah. Mungkin ini yang disebut “someah.” Tapi jangan-jangan, ini bukan lagi kesantunan, melainkan ketidakpedulian. Sebab diam, pada titik tertentu, bukan lagi tanda kedewasaan. Ia berubah jadi bentuk halus dari menyerah.

Besok pagi, saya akan tetap berangkat dari Cileunyi. Menyusuri jalan yang sama, kemacetan yang sama, diam yang sama. Dan di tengah kemacetan, saya membayangkan Tuhan sedang “bermuka masam”, dan saya bergumam. Berapa lama lagi kota ini akan memilih diam?