Angin bertiup dari pegunungan Priangan, menyisir pepohonan yang menua dalam doa, mengalirkan aroma kemenyan dan suara azan, dalam satu hembusan: Tradisi dan Islam, dua sungai yang tidak bersaing, tapi bersanding. Sudah seharusnya, warisan leluhur tidak diperlakukan sebagai fosil mati, melainkan napas yang terus hidup dalam gerak langkah umat Islam yang tidak ingin tercerabut dari akar dan tidak pula karam dalam zaman.
Sering kali narasi modern membenturkan agama dengan budaya, seolah-olah seseorang harus memilih antara menjadi “Islam sejati” atau “anak tanah.” Namun, pemikiran ini tak sepenuhnya sahih. Dalam epistemologi Islam klasik, terdapat ruang untuk ‘urf —yakni tradisi lokal yang tidak bertentangan dengan syariat. Al-Qarafi (w. 1285 M) dalam Al-Furuq menyebutkan: “Perhatian terhadap adat kebiasaan merupakan salah satu dasar syariat.” Dalam konteks Sunda, banyak tradisi yang sejatinya tidak bertentangan, melainkan menjadi kendaraan spiritual untuk menguatkan keislaman.
Dewasa ini, ramai diperdebatkan terkait kebijakan Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi yang akrab disapa KDM, yang merubah nama salah satu Rumah Sakit, dari “al-Ihsan” menjadi “Welas Asih.” Ada yang menuduh KDM sebagai orang yang anti Islam atau Islamophobia. Lebih ironis lagi, orang yang mengatakan seperti itu adalah orang sunda sendiri yang juga beragama Islam. Tapi, apakah benar apa yang dilakukan oleh KDM adalah bentuk prilaku “anti Islam”?
Untuk bisa menyentuh permasalahan ini, ada baiknya kita pahami dulu keterkaitan antara Islam dan tradisi Sunda yang ada di Jawa Barat. Sunda mengenal “ngaruat,” “mapag sri,” “sedekah bumi,” dan “nyekar” yang di beberapa wilayah dikemas sebagai wujud syukur kepada Allah, dan bukan merupakan sebuah bentuk pemujaan terhadap leluhur. Islamisasi di tatar Sunda bukanlah pemutusan tradisi, melainkan penyemaian nilai-nilai tauhid ke dalam kearifan lokal.
Azyumardi Azra dalam Islam Nusantara menjelaskan bahwa Islam datang ke Indonesia bukan dengan pemaksaan, melainkan melalui mekanisme akulturasi dan transformasi budaya. Hal ini didukung oleh statement KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang mengatakan bahwa, Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita jadi budaya arab – bukan aku jadi ana, bukan kamu jadi antum, saudara jadi akhi. Pertahankan apa yang jadi milik kita, serap ajarannya, bukan budaya arabnya. Demikian pula Ahmad Najib Burhani menulis bahwa “Islam di Indonesia memiliki karakteristik lokalitas yang kuat, dan dalam banyak kasus, justru memperkuat identitas keislaman.”
Ada yang menyalahpahami bahwa mempertahankan tradisi Sunda adalah bentuk sinkretisme—mencampuradukkan iman. Namun, pendekatan ini keliru bila kita telisik dari fenomena sosiologis. Clifford Geertz dalam The Religion of Java membagi praktik keagamaan menjadi tiga spektrum: santri, abangan, dan priyayi. Namun, dalam masyarakat Sunda, garis itu lebih cair. Alih-alih sinkretik, masyarakat Sunda menunjukkan simbiotik religius: agama dan budaya saling menopang, bukan meniadakan. Misalnya, tradisi “ngabakti ka kolot” (berbakti kepada orang tua) bukan hanya adat Sunda, tetapi juga manifestasi dari QS. Al-Isra:23: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak.”
Terdapat tokoh-tokoh seperti Mama Ajengan (kiyai sunda) yang mengajarkan Islam dengan sarung, bahasa Sunda, dan nada kecapi. Pesantren-pesantren di Garut, Tasikmalaya, hingga Banten adalah saksi bahwa Islam dan Sunda bisa berdiri beriringan, tanpa satu pun kehilangan kemurniannya. Seorang santri bisa mengaji Kitab Kuning, namun juga menabuh angklung saat hari panen, bukan dalam semangat mistik, tetapi dalam irama syukur kepada Ilahi.
Di era modern, muncul tekanan dari dua arah: dari luar yang ingin menstandarisasi Islam secara Timur-Tengah sentris, dan dari dalam yang ingin mencabut akar budaya demi “kemurnian.” Namun sejarah dan ilmu sosial membuktikan: keutuhan identitas seringkali terjaga justru lewat akar budaya. Sebagaimana dikatakan oleh Saba Mahmood dalam Politics of Piety (2005): “Religious subjectivity is not always in opposition to tradition, sometimes it grows precisely through it,” Subjektivitas keagamaan tidak selalu bertentangan dengan tradisi, kadang-kadang ia tumbuh justru melalui tradisi. Maka, seorang Muslim Sunda bisa memakai iket, berbahasa lemah lembut, melakukan mipit ku hikmah, ngala ku bijaksana, tanpa meninggalkan salat lima waktu dan esensi syahadatnya.
Dari sini, jelas sudah apa yang dilakukan KDM bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam, atau sebuah prilaku yang anti Islam. Ya, meski apa yang dilakukan KDM bukanlah sesuatu yang esensial, tapi penggantian nama Rumah Sakit itu hanyalah sebuah bentuk penghormatan atas tradisi lokal yang ada, tanpa menghinakan unsur keagamaan sama sekali. Orang-orang yang menuduhnya Islamophobia, anti Islam, dan atribut-atribut anti agama lainnya, hanyalah orang-orang yang memahami agama melalui simbolisme belaka, tanpa memahami ajaran Islam yang lebih esensial.
Islam tidak datang untuk memutihkan dunia, tapi untuk memberi cahaya dalam warna yang sudah ada. Tradisi Sunda, dengan kelembutan dan kesantunannya, adalah medium yang lentur namun kokoh bagi nilai-nilai Islam. Seperti pohon hanjuang, ia berdiri tegak di tanah Sunda, mengakar dalam leluhur, menjulang dalam iman. Ia tidak pernah kehilangan esensinya sebagai Muslim, dan tidak pernah malu menjadi anak dari tanah Parahyangan. [ ]