Narasi Imamah dalam Tradisi Dua Belas Imam
Sepeninggal Muhammad al-Baqir, tongkat imamah dalam tradisi Syiah dilanjutkan oleh putranya, Ja’far Shadiq—seorang figur intelektual yang tidak hanya dihormati oleh kalangan Syiah, tetapi juga menjadi poros keilmuan yang disegani oleh pelbagai madzhab Sunni. Dari madrasahnya lahir nama-nama besar seperti Abu Hanifah dan Malik bin Anas dalam fikih, serta Sufyan ats-Tsauri dan Wasil bin Atha dalam disiplin lain, menjadikannya jembatan penting antara khazanah Ahlul Bait dan umat Islam secara keseluruhan.
Namun justru setelah wafatnya Ja’far, Syiah Imamiyah menghadapi titik kulminasi krusial dalam sejarah internal mereka. Ja’far memiliki dua anak: Ismail sebagai putra sulung yang semula dipersiapkan sebagai penerus, namun wafat lebih dahulu, dan Musa, putra kedua yang hidup setelah ayahnya.
Mayoritas pengikut Ahlu Bait meyakini bahwa imamah berpindah kepada Musa al-Kazhim, membentuk arus utama Syiah yang kelak dikenal sebagai Itsna ‘Asyariyah, atau Syiah Dua Belas Imam. Tradisi ini memandang imamah sebagai kelanjutan nubuwwah dalam bentuk kepemimpinan spiritual yang tidak hanya bersandar pada garis darah, melainkan pada limpahan ilmu laduni dan penjagaan atas syariat.
Musa al-Kazhim kemudian digantikan oleh Ali ar-Ridha, lalu berlanjut kepada Muhammad al-Jawad, Ali al-Hadi, Hasan al-Askari, dan akhirnya mencapai puncaknya pada figur paling puncak dalam sejarah keimaman Syiah: Muhammad ibn Hasan, yang dikenal sebagai al-Imam al-Mahdi al-Muntazhar. Ia dipercaya ghaib sejak akhir abad ke-3 Hijriah, dan tetap hidup dalam persembunyian hingga waktu yang dikehendaki Allah untuk muncul kembali sebagai penegak keadilan universal.
Kepercayaan ini tidak hanya menjadi fondasi eskatologis bagi komunitas Syiah, tetapi juga struktur teologis yang baku. Al-Kulaini dalam al-Kafi mengumpulkan sejumlah riwayat yang menyatakan bahwa “bumi tidak akan pernah kosong dari hujjah, walau hanya sekejap.” Konsep ini menjadi sangat hidup dalam laku religius komunitas Syiah, di mana penantian tidak bersifat pasif, melainkan penuh tanggung jawab etis dan sosial.
Dalam perkembangan historisnya, keyakinan terhadap Imam Mahdi tidak hanya bersifat spiritual, tetapi juga politis. Para ulama seperti al-Tusi dan al-‘Allamah al-Hilli menjadikan gagasan ghaibah sebagai landasan pembentukan otoritas keilmuan para faqih, yang kelak diformalisasi dalam teori Wilayat al-Faqih. Bahkan di luar konteks Iran, komunitas Syiah di Irak, Lebanon, dan Pakistan menjadikan prinsip intizhar (penantian aktif) sebagai etos perjuangan sosial dan kultural, menjembatani kerinduan eskatologis dengan praksis keadilan kontemporer.
Maka, imamah dalam Syiah bukan hanya soal urutan nama dan nasab, melainkan jalinan kosmik antara wahyu, akal, dan sejarah; antara yang ghaib dan yang hadir, antara yang dinanti dan yang sedang diperjuangkan.