Pernah nggak sih ngerasain, gaji baru masuk rekening, tapi dua minggu kemudian saldo sudah ngos-ngosan? Ya, itu yang saya rasakan. Rasanya seperti ada lubang hitam yang langsung menyedot semua angka begitu transfer gajian masuk. Kalau nggak buat bayar kontrakan, ya cicilan, belum lagi jajan kecil-kecilan yang entah kenapa kok bisa numpuk juga. Ini berlaku hanya untuk kalangan menengah kebawah, —tidak untuk seorang DPR yang gajinya 3jt per-hari. Hehe
Banyak orang biasanya punya satu jawaban sederhana: “Ya, karena gajinya kecil.” Kedengarannya logis, tapi apakah bener, sesederhana itu? Ada banyak orang yang gajinya naik berkali lipat dibanding dulu, tapi tetap saja bilang: “Kok uang saya nggak cukup-cukup, ya?”, bahkan seorang PNS dengan tunjangan kinerja berjuta-juta pun, SK PNS-nya tidak sedikit bersekolah (jadi jaminan) di bank. Nah, di sinilah mitosnya sering nyangkut; kita seringkali mengira bahwa solusi utama adalah nambah gaji, padahal ada faktor lain yang tak disadari.
Dalam psikologi ekonomi ada istilah hedonic treadmill. Artinya, setiap kali pendapatan naik, standar kebutuhan dan gaya hidup kita juga ikut naik. Istilah ini diperkenalkan pertama kali oleh Philip Brickman dan Donald Campbell (1971), Ia menjelaskan bahwa kecendrungan manusia untuk beradaptasi dengan perubahan (kebahagiaan dasar) dan kembali ke titik awal. Selain itu, ada juga istilah lifestyle creep, otak kita juga cenderung merasa “baru puas kalau dibelanjakan”, sehingga uang seolah wajib segera keluar untuk memberi sensasi bahagia Contohnya, dulu naik motor sudah cukup, sekarang jadi kepikiran untuk cicil mobil. Dulu makan di warteg bikin kenyang dan bahagia, sekarang kepengen nongkrong di kafe minimal seminggu sekali, tak lula beli es kopi lalu update story. Jadi, meski gaji bertambah, “rasa cukup” itu ikut bergeser.
Di sisi lain, faktor struktural juga nggak bisa diabaikan. Harga kebutuhan pokok naik, ongkos transportasi mahal, cicilan menunggu, ditambah inflasi yang tiap tahun menggerus daya beli. Jadi meskipun kamu sudah hemat, uang tetap terasa cepat hilang karena sistem ekonomi memang didesain supaya kita terus bergerak dalam roda konsumsi. Belum lagi tekanan sosial. Nongkrong, —ngopi, update di medsos, sampai gengsi baju dan update iPhone baru—semua bikin uang “mengalir” lebih deras. Kadang kita nggak sadar kalau uang bukan sekadar alat tukar, tapi sudah jadi alat validasi diri di tengah masyarakat.
Bayangin aja, layaknya main game; level karakter kamu naik, tapi musuh yang dihadapi juga makin kuat. Jadi sebenarnya bukan kita makin miskin, tapi standar permainan kita yang ikut berubah. Gaji nambah, pengeluaran ikut nambah, dan akhirnya, ya, balik lagi ke titik awal; saldo tipis menjelang akhir bulan.
Jadi, kalau merasa gaji nggak pernah cukup, mungkin masalahnya bukan cuma di angka, tapi juga di cara kita mengendalikan “rasa cukup”, kalau meminjam istilah agama, —bersyukur. Gaji besar memang menyenangkan, tapi kalau pola hidup nggak ikut dikendalikan, ya ujung-ujungnya tetap sama aja. Maka, wajar kalau uang terasa selalu habis. Tapi itu bukan berarti kita gagal mengelola keuangan. Justru, dengan sadar pola ini, kita bisa lebih bijak.
Pertanyaannya, kamu mau terus lari di treadmill itu, atau coba belajar berhenti sebentar dan atur ritme langkahmu?