Ada satu pemandangan unik yang selalu saya sukai sejak dulu: seorang profesor dengan jas rapi yang sehari-hari bicara dengan intonasi akademik mendadak bersorak riang karena berhasil melakukan smash. Tidak ada lagi kalimat teoritis seperti “epistemologi pengetahuan ini…” atau “paradigma interpretatif itu…”. Yang ada hanyalah teriakan sederhana: “Masuk! Poin kita!” dan tawa yang menggelegar memenuhi lapangan.
Di sinilah saya menemukan keindahan komunikasi yang kadang luput dari ruang-ruang formal kampus: lapangan badminton. Sebuah ruang yang sederhana, namun mampu mematahkan sekat-sekat identitas yang sering kali mengeras di ruang rapat. Saya pernah berpikir, mengapa suasana akademik sering kali begitu kaku? Apakah karena kita terjebak dalam struktur formal, jabatan, dan gelar? Atau karena kita lupa bahwa di balik toga dan atribut organisasi, kita semua hanyalah manusia yang sama-sama butuh keringat untuk merasa hidup?
Pertanyaan itu menemukan jawabannya ketika saya ikut UKM PERBAMA (Persatuan Badminton Mahasiswa) saat masih menjadi mahasiswa. Bayangkan, seorang rektor yang biasanya saya lihat dari kejauhan, mendadak berada di depan saya, siap menerima smash. Seorang dekan yang biasanya tampil serius dalam sidang senat, kini berlari ke sana ke mari, menghalau bulu angsa yang kami sebut shuttlecock. Di sinilah saya paham satu hal: komunikasi tidak hanya lahir dari kata-kata, tapi dari kesamaan gerak dan ritme.
Komunikasi Cair di Tengah Peluh
Dalam teori komunikasi, Joseph A. DeVito (2013) menjelaskan tentang similarity attraction, bahwa kesamaan minat dan aktivitas dapat memperkuat daya tarik antarindividu. Lapangan badminton adalah buktinya. Di sana, batas hierarki mencair. Seorang mahasiswa bisa memberi instruksi pada dosennya, “Pak, cover belakang ya!” dan tidak ada yang tersinggung. Malah, sang dosen menjawab sambil tertawa, “Siap, kapten!”
Bahkan ada momen-momen lucu: dosen yang biasanya mengutip ayat dengan tartil, kini mengeluarkan suara terengah-engah karena rally panjang. Mahasiswa yang biasanya malu bertanya di kelas, kini dengan percaya diri berkata, “Pak, servisnya salah. Ulang, dong!” Siapa sangka, di balik tepuk tangan kecil setelah setiap poin, ada proses pembelajaran komunikasi yang lebih efektif daripada seminar manajemen konflik.
Di sinilah saya melihat moderasi beragama menemukan wujudnya yang paling sederhana dan jujur. Di lapangan, kita tidak lagi bertanya: “Antum NU apa Muhammadiyah?” atau “Persis atau Salafi?” Yang kita tanyakan hanyalah: “Main point 30 atau rubber game?”
Bukankah ini sejalan dengan semangat Al-Qur’an? Allah berfirman dalam QS. Al-Hujurat [49]: 13: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.”
Lapangan badminton adalah tafsir kontekstual ayat ini. Kita berbeda organisasi, berbeda cara pandang, bahkan mungkin berbeda pilihan politik. Namun kita dipertemukan oleh satu hal: raket dan kok. Dari situ kita saling mengenal bukan hanya secara formal, tapi secara emosional.
Ruang Moderasi yang Tidak Dikatakan, tapi Dijalankan
Moderasi beragama sering kali dibahas dalam seminar nasional, disosialisasikan dalam bentuk buku pedoman, bahkan diwajibkan dalam Rencana Pembelajaran Semester. Namun, lucunya, praktiknya justru sering muncul di tempat-tempat yang tidak kita duga—seperti di lapangan badminton.
Di UIN SGD Bandung, saya melihat sendiri bagaimana dosen dari latar belakang ormas yang berbeda bermain dalam satu tim. NU, Muhammadiyah, Persis, bahkan yang cenderung hijrah movement, semua melebur tanpa debat panjang. Mengapa? Karena fokus kita sama: poin. Kita tidak sempat mendiskusikan hukum qunut atau dalil tahlilan, sebab lawan sudah siap melakukan smash.
Dan saya kira inilah yang dimaksud Nabi Muhammad SAW ketika bersabda: “Mukmin yang satu dengan yang lain bagaikan bangunan yang saling menguatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Di lapangan, kalimat ini bukan sekadar teks hadits, tapi aksi nyata. Kita menutupi kelemahan teman main, kita memberi semangat ketika dia lelah, kita menepuk bahu setelah kalah. Bahkan, kadang kita mentraktir makan setelah tanding. Bukankah ini ukhuwah? Bukankah ini harmoni?
Ketika Smash Jadi Bahasa Komunikasi
Saya masih ingat satu momen satir yang tak pernah saya lupakan. Seorang pejabat kampus yang sangat serius di rapat, dikenal perfeksionis, tiba-tiba berteriak histeris karena smash-nya gagal masuk. Ia berkata sambil tertawa, “Aduh, ini kalau di rapat mungkin saya bisa interupsi, tapi di lapangan enggak ada interupsi!” Semua tertawa.
Di situ saya sadar: humor adalah pelumas komunikasi. Lapangan badminton memberikan ruang untuk itu. Bahkan perbedaan pendapat yang di ruang rapat terasa panas, di sini hanya menjadi bahan candaan. Pernah ada dosen berkata, “Kalau tadi Anda servis seperti mengajar di kelas, pasti masuk.” Kami tertawa, dan perbedaan menguap bersama keringat. Komunikasi yang lahir di sini adalah apa yang Yves Winkin sebut sebagai interaction orchestration. Tidak ada satu pihak yang mendominasi. Semua punya peran. Semua terlibat. Ada simetri yang jarang kita temui di ruang akademik yang sarat protokol.
Menembus Stereotip: Olahraga vs Akademik
Ada anggapan klasik bahwa mahasiswa yang aktif olahraga akan lemah secara akademik. Saya adalah contoh yang membantahnya. Ketika saya menjuarai Rektor Cup, saya juga berhasil lulus tepat waktu. Saya ingin membuktikan bahwa kecerdasan tidak tunggal. Howard Gardner (1983) dengan teori Multiple Intelligences sudah mengajarkan itu: olahraga bukan penghalang, tapi penunjang.
Dan kini, sebagai dosen muda, saya membawa semangat itu. Saya tidak hanya ingin mahasiswa saya pintar di kelas, tapi juga cair dalam komunikasi. Karena saya percaya, kelak ketika mereka terjun ke masyarakat, mereka tidak hanya akan menghadapi persoalan kognitif, tapi juga persoalan relasi. Dan lapangan badminton adalah miniatur kehidupan sosial yang penuh dinamika, tapi juga penuh harmoni.
Smash yang Menyatukan
Pada akhirnya, saya ingin mengajak kita semua melihat badminton bukan sekadar olahraga. Ia adalah ruang belajar komunikasi, ruang penguatan moderasi, ruang untuk menemukan kembali hakikat kebersamaan. Di tengah fragmentasi identitas dan polarisasi sosial, lapangan ini adalah oase yang menenangkan.
Saya membayangkan, seandainya setiap perbedaan ideologi, mazhab, dan pandangan politik bisa diakhiri dengan bermain badminton bersama, mungkin kita tidak akan sering ribut di media sosial. Karena di sini, tidak ada yang sibuk mencari dalil untuk menjustifikasi smash. Kita hanya sibuk mencari celah agar kok tidak jatuh di area kita.
Maka, jika Anda bertanya kepada saya: apa bentuk moderasi beragama yang paling sederhana tapi paling efektif? Saya akan jawab dengan mantap: ambil raket, turun ke lapangan, dan berkeringatlah bersama.