Ketika Uang Membuat Jurang

“catatan untuk Indonesia yang sedang kesana dan kesini”

Republik ini sedang lucu. Lucu sekaligus riuh dan ricuh. Lucu karena kehidupan sehari-hari rakyatnya begitu keras, sementara para elite politik duduk nyaman di kursi empuk dengan penghasilan yang sulit dicerna akal sehat. Riuh dan ricuh karena rakyat sudah jengah dipertontonkan drama semacam itu. Bahkan sering. Faktanya, ada jurang menganga di sana. Jurang yang tidak hanya memisahkan kaya dan miskin, tetapi juga antara mereka yang menyebut dirinya “wakil rakyat” dan rakyat yang diwakilinya. Jurang itu bukan sekadar tentang ruang kuasa, legitimasi bahkan angka gaji, melainkan menyangkut legitimasi moral demokrasi itu sendiri.

Beberapa hari terakhir, ruang publik gaduh oleh bocoran soal gaji anggota DPR. Jika dilihat sepintas, gaji pokok mereka biasa-biasa saja, sekitar empat juta rupiah per bulan. Bahkan lebih kecil dari gaji manajer kafe atau bos cabang restoran cepat saji. Tapi semua orang tahu itu hanya kulit luarnya. Di balik itu ada tubuh besar tunjangan yang menjulang. Besaran tunjangan rumah puluhan juta, tunjangan beras belasan juta per bulan, tunjangan komunikasi belasan juta, ditambah fasilitas listrik, telepon, kendaraan dinas, hingga perjalanan. Totalnya gampang seorang wakil rakyat bisa lebih dari seratus juta rupiah per bulan.

Seratus juta tentu bukan angka kecil. Ia bombastis, dan semakin terasa janggal bila disandingkan dengan kehidupan nyata rakyat. Buruh pabrik bertahan hidup dengan upah minimum tiga atau empat juta. Guru honorer di pelosok bahkan ada yang hanya menerima lima ratus ribu rupiah. Petani dan nelayan hidup dengan penghasilan yang tidak menentu. Kurir, ojek online, pekerja harian, meminjam istilah Guy Standing mereka para pekerja prekariat, semua berjuang keras agar dapur tetap berasap. Saya kadang bertanya, bagaimana mungkin para wakil itu bisa merasa pantas menerima tunjangan ratusan juta, sementara rakyat yang mereka wakili terseok-seok menghadapi ketidakpastian harga yang terus melambung?

Lebih menyakitkan ketika ada politisi yang menanggapi dengan enteng, dan berkata, “jangan bandingkan kami dengan rakyat jelata”. Pernyataan semacam ini bukan hanya menjengkelkan, tetapi juga menunjukkan betapa jauhnya mereka dari realitas. Pierre Bourdieu menyebut itu dengan kekerasan simbolik—standar elite dipandang normal, sedangkan standar rakyat dianggap wajar bila sederhana. Saya tidak habis pikir, logika macam apa yang menempatkan kenyamanan elite sebagai patokan, sementara kesusahan rakyat dianggap nasib?

Masalah ini sebenarnya lebih dari sekadar soal iri pada gaji besar. Pertanyaan paling subtil adalah apakah demokrasi di negeri ini masih bekerja untuk rakyat, atau sudah menjelma menjadi feodalisme baru yang dibungkus kotak suara? John Rawls pernah menegaskan bahwa ketimpangan hanya bisa dibenarkan bila memberi keuntungan bagi yang paling lemah. Tapi apakah tunjangan ratusan juta itu memberi manfaat nyata bagi rakyat miskin? Saya kira jawabannya mudah. Jika tidak, berarti keadilan sudah tercederai.

Hubungan antara rakyat dan wakilnya seharusnya sederhana. Rakyat sebagai pemberi mandat adalah principal, sementara politisi hanyalah agent. Dalam kerangka sehat, agent bekerja untuk kepentingan principal dengan imbalan yang sepadan. Namun ketika kompensasi tidak terikat pada kinerja, yang lahir adalah “moral hazard”. Wakil rakyat menikmati imbalan tanpa konsekuensi meski gagal mengurus kepentingan publik. Demokrasi pun berisiko berubah menjadi sekadar mesin rente bagi elite.

Mari bayangkan sebuah analogi sederhana. Seorang buruh bergaji tiga juta dipotong pajak beberapa ratus ribu. Uang itu bersama pajak jutaan rakyat lain digunakan negara untuk membayar tunjangan rumah seorang anggota DPR sebesar lima puluh juta rupiah per bulan. Buruh itu tinggal di kontrakan sempit, sementara wakilnya menerima uang sewa rumah setara harga sebidang tanah kecil. Jika ini bukan penghinaan, lantas apa namanya?

Ironisnya, ada pula pembelaan yang terdengar konyol. Mereka berkata gaji pokok anggota DPR tidak naik selama dua puluh tahun. Betul, gaji pokok stagnan, tetapi tunjangannya justru meroket tajam. Logika macam apa yang menafsir stagnasi hanya dari satu komponen dan menutup mata dari ledakan komponen lain? Saya jadi teringat George Orwell dalam Animal Farm, “bahasa bisa dipelintir untuk menutupi ketidakadilan”.

Pelan-pelan kursi DPR bukan lagi simbol pengabdian, melainkan tiket emas menuju kelas sosial atas. Seorang dokter butuh belasan tahun belajar keras, lalu menerima gaji lima juta di awal karier. Dosen baru hanya menerima tiga sampai lima juta. Tapi menjadi anggota DPR cukup bermodal politik, lalu setiap bulan diguyur ratusan juta. Saya merasa jengah, demokrasi yang seharusnya jadi jalan pengabdian justru berubah menjadi jalur percepatan status sosial.

Lalu apa yang bisa dilakukan? Apakah cukup dengan meme sindiran dan protes di media sosial? Demo pun sudah dilakukan bukan? Pati sudah landai, kemarin baru saja ramai, meski sering kali berakhir ricuh dan dicurigai ada yang menunggangi. Alih-alih diam, saya percaya masih ada langkah waras yang bisa dipikirkan bersama. Salah satunya menulis ini.

Kita perlu membatasi gaji dan tunjangan politisi agar tidak melampaui kewajaran. Kita butuh mekanisme independen yang mengatur remunerasi, bukan DPR yang merapatkan gaji sendiri, menetapkan gajinya sendiri dan menikmatinya sendiri. Kita butuh sistem yang mengaitkan kompensasi dengan kesejahteraan publik. Jika angka kemiskinan turun, jika pendidikan dan kesehatan membaik, barulah gaji naik. Jika stagnan, gaji ikut stagnan. Jika memburuk, maka gaji pun harus ikut turun sebagai empati

Saya tahu, ada yang bilang gaji besar bisa mencegah korupsi. Tapi logika itu tidak sepenuhnya benar, bahkan pengalaman menunjukkan, tanpa sanksi tegas dan tata kelola yang bersih, gaji besar hanya memperbesar biaya skandal, bukan mencegahnya. Ada pula alasan bahwa negara butuh talenta terbaik. Tentu saja. Tetapi talenta terbaik hanya akan masuk ke politik bila ia dilihat sebagai arena pengabdian, bukan ladang rente.

Tunjangan memang hak jabatan, tetapi dalam demokrasi setiap hak selalu disertai kewajiban. Hak pejabat publik hanya sah jika seimbang dengan kewajibannya melayani rakyat. Jika rakyat menderita sementara pejabat tertawa, dan joget-joget klaim atas hak itu kehilangan dasar moralnya.

Republik ini lahir dari darah dan cita-cita kesederhanaan. Jangan biarkan cita-cita itu dikhianati kerakusan. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang membuat pejabat merasakan denyut rakyat, rakyat yang kesulitan mencari kerja, rakyat yang antre berobat, rakyat yang panik menghadapi harga beras. Dari denyut itu seharusnya lahir kebijakan yang masuk akal.

Saya percaya, tidak semua hal bisa diukur dengan uang. Begitu pula politik. Jika logikanya hanya memperkaya diri, demokrasi akan mati perlahan dari dalam. Kerakusan tidak pernah berhenti dengan sendirinya, ia hanya berhenti bila aturan memaksa pejabat ikut menanggung akibat buruk kebijakannya. Dan saat itu tiba, barulah demokrasi kembali punya wajah yang bisa dipercaya.

Republik ini tidak butuh amarah yang antah berantah. Ia butuh desain waras. Jika tidak, kita akan sadar terlalu terlambat bahwa republik yang katanya milik bersama sebenarnya sudah lama dibeli oleh segelintir orang, dan kita semua ikut membayarnya.