Michel Foucault dalam Discipline and Punish menjelaskan bahwa masyarakat modern dikendalikan oleh bentuk kekuasaan yang bersifat disipliner, yang bekerja melalui institusi seperti sekolah, rumah sakit, militer, dan terutama penjara. Pada maksud ini, negara membentuk subjek melalui pengawasan, regulasi, dan normalisasi perilaku.
Namun dalam konteks Indonesia saat ini, sistem birokrasi yang dianut oleh bangsakita merupakan warisan kolonial yang sarat dengan hierarki dan prosedur administratif masih bekerja dalam logika kekuasaan disipliner. Maka tidak heran Korupsi pun tumbuh bukan karena tidak ada pengawasan, tetapi justru karena pengawasan menjadi bagian dari sistem yang bisa dinegosiasikan. Seorang pejabat tahu bahwa ia diawasi, tetapi juga tahu bahwa sistem pengawasan itu bisa “dibeli” atau diatur.
Bisa kita melihat bagaimana masyarakat akhir akhir ini dihebohkan dengan kasus–kasus Korupsi yang nilai nominalnya sangat fantastis diluar nalar masyarakat Pra Reformasi, mulai dari kasus dana desa sampai kasus besar yang merugikan negara dalam bidang migas yang terjadi di Pertamina hingga yang terakhir adalah kasus di dunia pendidikan yang menyeret mantan menterinya.
Byung-Chul Han mengkritik bahwa kekuasaan kontemporer tidak lagi bersifat represif, melainkan menyamar sebagai kebebasan. Dalam The Burnout Society dan Psychopolitics, Han menjelaskan bahwa manusia hari ini hidup dalam tekanan untuk mencapai, berprestasi, dan menunjukkan produktivitas—semua itu bukan karena dipaksa secara langsung, melainkan karena merasa bebas dan termotivasi dari dalam.
Korupsi di Indonesia kontemporer bisa dibaca sebagai ekspresi dari neoliberalisme politis, di mana elite merasa terdorong untuk “berprestasi” dalam sistem kekuasaan yang menilai keberhasilan dari indikator-indikator kuantitatif seperti kekayaan, proyek besar, atau pengaruh politik. Tekanan untuk sukses itu tidak lagi datang dari negara (disiplin), tetapi dari dorongan internal yang dibentuk oleh sistem ekonomi dan budaya populer yang memuja kemewahan.
Han menegaskan bahwa masyarakat neoliberal membentuk subjek yang merasa bebas, tetapi sebenarnya sedang dieksploitasi secara psikologis. Dalam konteks ini, pejabat publik atau pengusaha yang melakukan korupsi tidak merasa ditekan, bahkan kadang merasa itu adalah bagian dari “strategi” menuju keberhasilan.
Korupsi tidak lagi dilakukan dalam ruang gelap karena takut akan hukuman, tetapi seringkali dilakukan terang-terangan karena pelaku merasa itu adalah bagian dari permainan sistem. Inilah bentuk kekuasaan baru yang subtil, di mana ideologi pencapaian dan kebebasan personal digunakan sebagai legitimasi tindakan yang destruktif.
Perbandingan antara Foucault dan Han membantu kita memahami bahwa korupsi tidak hanya terjadi karena lemahnya pengawasan (logika Foucauldian), tetapi juga karena adanya perubahan cara kekuasaan bekerja: dari kontrol eksternal menuju eksploitasi internal (logika Han). Artinya, jika ingin memberantas korupsi secara mendalam, kita tidak cukup dengan memperbaiki sistem hukum, tetapi juga harus mengkritisi budaya pencapaian yang melegitimasi kesuksesan dengan segala cara.