Privasi Era Digital [Milik Siapa Data Kita] (Part 2)

Antara pengaturan normatif & natural right

Dari sini muncullah pertanyaan yang mulai mengusik wacana: Apakah data pribadi adalah “milik”? Apakah ketika kita mengunggah foto, mengetik opini, atau sekadar menyukai satu postingan, kita masih memiliki otonomi atas fragmen-fragmen digital itu, ataukah semuanya telah berubah status menjadi properti digital yang bebas dieksploitasi tanpa kita duga? kepemilikan jika ditinjau menggunakan hukum positif atas data biasanya melekat pada subjek hukum sebagai right-holder tetapi dalam praktiknya, relasi kekuasaan sering kali mengaburkan garis antara hak dan kepentingan. Maka muncullah ketegangan antara hukum positif—yang mensyaratkan pengaturan normatif—dan natural rights, yang mengandaikan bahwa data sebagai perpanjangan dari tubuh dan jiwa manusia, seharusnya inheren dimiliki oleh si pemilik data itu sendiri, tak peduli di mana ia berada, dan pada siapa ia berpindah rupa.

Ketika kita berbicara tentang jenis dan kategori data pribadi, kita tidak lagi berada dalam dunia yang sederhana. Data terbagi ke dalam data sensitif dan non-sensitif, namun batas antar keduanya kini begitu cair. Data yang dulunya tampak biasa saja—seperti lokasi atau histori pencarian—dapat menjadi sangat sensitif jika dikombinasikan secara strategis oleh mesin pintar. Data sensitif mencakup kesehatan, agama, orientasi seksual, hingga biometrik yang sangat rentan terhadap penyalahgunaan. Sementara metadata yaitu data tentang data, sebagai instrumen pengintaian yang jauh lebih tajam karena ia menyimpan pola, ritme dan narasi tersembunyi dari keseharian manusia digital.

Surveillance Capitalism

Ekosistem modern yang dikendalikan oleh para aktor pengelola dan pengguna data sebagai entitas yang memainkan peran ganda—pengambil dan pengatur, pengelola dan pengawas, pengunduh dan pengintai yang tak kenal jeda. Di barisan pertama, ada individu—manusia pengguna yang mengklik, mengetik, dan menggulir layar dengan santai, padahal setiap gerak-gerik digitalnya tercatat sebagai nilai ekonomi yang tak ternilai harganya. Semacam pencipta tetapi ironisnya tak memiliki kedaulatan atas datanya.

Kekuasaan digital para korporasi raksasa, yang sering disebut sebagai big tech: Google, Meta, Amazon, TikTok dan sebangsanya. menjelma sebagai penguasa platform yang mampu mendikte bentuk-bentuk interaksi sosial, arus informasi, hingga preferensi kultural manusia. Di hadapan mereka pemerintah kerap terlihat ambigu—kadang sebagai pengatur, kadang sebagai pengguna, kadang pula sebagai mitra dalam proyek pengawasan yang bersifat rahasia. Tak ketinggalan, pihak ketiga—dari perusahaan periklanan hingga lembaga survei politik—menjadi penumpang gelap yang menikmati limpahan data tanpa etika yang pasti. Mereka semua hidup dalam data yang terus mengalir tanpa jeda, tanpa suara, tanpa persetujuan nyata.

Struktur ini, platform digital berfungsi sebagai gatekeeper terhadap makna-makna yang bisa kita jangkau. Ia menentukan apa yang muncul di beranda, apa yang disembunyikan oleh algoritma, apa yang dianggap layak untuk viral, dan apa yang diam-diam dikuburkan dalam sunyi digital. Gatekeeper ini semacam gerbang perancang jalur berpikir, pemangkas ruang kritik dan penjaga batas imajinasi publik yang dijahit oleh bahasa pemrograman dan kuasa korporasi global yang tak berbatas negara. Maka, demokrasi pun diuji: informasi dikendalikan, kebebasan dan difragmentasikan oleh kekuatan yang tidak terlihat tapi sangat nyata.

Muncul istilah yang kian populer dalam diskursus mutakhir: data sebagai komoditas ekonomi. Data bukan lagi pelengkap layanan, ia sebagai substansi utama dalam logika pasar digital. Setiap klik menjadi komoditas, setiap minat menjadi mata uang, dan setiap diam menjadi potensi keuntungan. Di sinilah lahir data mining—penambangan data yang bukan lagi berlangsung di perut bumi, tetapi di relung terdalam perilaku manusia, di kebiasaan tak sadar yang dikonversi menjadi pola yang bisa dijual. Bersamaan dengan itu, beroperasilah ekonomi perhatian (attention economy), di mana atensi manusia menjadi rebutan para raksasa digital yang memperebutkan setiap detik tatapan dan ketukan layar. Perhatian konsentrasi terhadap sumber daya paling langka di dunia yang penuh distraksi ini.

Monetisasi data oleh korporasi bukan lagi anomali, tapi semacam norma. Google dan Meta, misalnya, tak menjual produk—mereka menjual penggunanya. Produk mereka adalah kita, dalam bentuk paket data yang dijual kepada pengiklan, pemerintah dan entitas pasar lainnya. Setiap pencarian, status, bahkan setiap ketikan yang dihapus, menyumbang pada profil digital yang dijual secara diam-diam tapi sah dalam aturan main yang disembunyikan dalam paragraf panjang syarat dan ketentuan yang tak pernah dibaca.

Sebagaimana dikaji mendalam oleh Shoshana Zuboff dalam konsepnya tentang Surveillance Capitalism. Di sini, kapitalisme tidak lagi bergantung pada tenaga kerja atau tanah, melainkan pada perilaku manusia yang diprediksi dan dimodifikasi untuk menciptakan keuntungan. sebagai bentuk pengawasan yang tidak memenjarakan tubuh, tetapi mengendalikan kemungkinan. Ia tak hadir dengan kamera, melainkan dengan notifikasi. Ia tak memaksa, tapi merayu. Ia tak mengekang, tapi mengarahkan. Inilah bentuk pengawasan yang tak disadari tapi merasuk, tak menakutkan tapi merampas.

Algoritm(e) menjadi instrumen utama dari logika pengawasan ini. Ia tak netral, ia tak objektif. Ia adalah representasi nilai-nilai yang tertanam dalam kode, dalam logika pemrograman yang dibuat oleh tangan manusia dan dipelihara oleh mesin yang terus belajar dari kita. Dalam algoritme, terkandung kontrol sosial tersembunyi yang menyamar sebagai preferensi pribadi. Kita kira kita memilih, padahal kita diarahkan. Kita kira kita bebas, padahal kita dikurung dalam gelembung filter yang hanya memperkuat apa yang ingin kita dengar, bukan apa yang perlu kita tahu.

Dunia digital tidaklah netral. Ia adalah arena pertarungan antara pengelola dan yang dikelola, antara yang mengamati dan yang diamati, antara yang menguasai data dan yang hanya menghasilkannya.

GDPR (Eropa), CCPA (California), UU PDP (Indonesia)

Lautan data yang tak kunjung reda, manusia digital bertanya: adakah pelindung yang benar-benar menjaga? Adakah aturan yang bukan hanya formalitas semata? Maka muncullah wajah hukum dalam rupa regulasi global dan nasional yang menjanjikan tata, menjanjikan etika, menjanjikan rasa aman di tengah badai data. Tapi benarkah hukum telah hadir sebagai penjaga, atau cuman jadi jubah legal bagi para pemangsa?

Kita berjumpa dengan GDPR (General Data Protection Regulation) dari Eropa yang dielu-elukan sebagai ratu dari tata kelola privasi yang tertata. Ia memposisikan manusia sebagai subjek, bukan objek dalam relasi data, memberikan hak untuk mengontrol, mengakses, bahkan menghapus data—seolah hukum tahu bahwa data adalah daging dari jiwa. Di seberang benua, muncul pula CCPA (California Consumer Privacy Act) yang walau lebih liberal gaya dan nada, tetap menyuarakan hak-hak warga untuk tahu, tolak, dan terima secara sadar atas data mereka yang diserahkan dalam rupa.

Lalu Indonesia, tak ingin tertinggal dalam pameran dunia, melahirkan UU PDP (Perlindungan Data Pribadi) sebagai janji kepada rakyatnya. Regulasi yang lahir dari kontradiksi zaman—antara kemajuan teknologi dan ketertinggalan norma. UU ini menyatakan hak-hak dasar pengguna, menetapkan kewajiban bagi pengendali data, serta membangun fondasi untuk otoritas pelindung yang semestinya tidak hanya hadir di atas kertas semata. Namun, di balik gemuruh peraturan itu, terdapat pula celah dan kelemahan hukum yang nyata: penegakan yang masih lemah, sanksi yang belum merata, hingga ketergantungan pada “kesadaran etis” korporasi raksasa. ruang ini, hukum seringkali lebih cepat dibaca daripada dipatuhi, lebih banyak dibahas daripada ditegakkan dengan nyata.

Di titik inilah etika penggunaan data masuk sebagai dimensi yang tak kalah penting dalam tata. Hukum bisa memaksa, tapi etika menyentuh rasa. (harusnya) di dunia digital, etika adalah benteng kedua—atau bahkan yang utama—dalam menjaga martabat manusia agar tak jatuh hanya jadi angka dan data. Namun etika hari ini pun terjebak dalam isu consent dan asimetri informasi, di mana “persetujuan” hanyalah kata-kata omong kosong dalam pop-up yang dibaca sekilas lalu segera ditutup tanpa sempat dicerna. Kita disebut “menyetujui”, padahal tak pernah diberi pilihan yang setara. Kita “diberi tahu”, tapi tak benar-benar tahu kepada siapa data diserahkan dan bagaimana data itu diperlakukan setelahnya.

Privacy by design, yaitu menjadikan privasi sebagai fondasi sejak tahap rancangan awal, fitur tambahan yang bisa diaktifkan belakangan. Bersama itu pula, hadir konsep data minimization, bahwa yang harus dikumpulkan hanyalah yang perlu, dan yang tak perlu tak usah dicolek demi efisiensi dan laba. Konsep ini menolak kerakusan digital, dan mengajak semua pihak untuk bertanya: “Apakah saya sungguh membutuhkan data ini, atau saya sekadar terbiasa mengambil segala tanpa logika?”

Lalu bagaimana dengan hak individu atas data? Inilah hak-hak yang tampak sederhana namun mengandung revolusi diam-diam di dalamnya. Hak untuk dilupakan (right to be forgotten) adalah hak untuk menjadi kembali manusia yang tak diikat oleh masa lalu digital yang tak kunjung reda, Hak atas portabilitas data sebagai hak untuk membawa data seperti membawa koper pribadi: bebas berpindah platform, bebas membawa identitas, tanpa harus membangun semuanya dari awal di rumah digital yang baru. hak untuk mobilitas, hak untuk berpindah, hak untuk tak terkunci dalam ekosistem yang memonopoli interaksi.