Project Semicolon: Dari yang Tak Terujar ke Artikulasi Kolektif (bagian akhir)

Bayangkan rasa sakit yang menggerogoti jiwa, begitu pekat dan personal hingga kata-kata terasa tumpul, tak mampu menjangkaunya. Sebuah jurang pengalaman yang tak terujar (the unspoken), tersembunyi di balik senyuman paksa atau diam yang menyiksa. Inilah medan awal banyak pejuang kesehatan mental –terasing dalam penderitaannya sendiri, terjebak dalam “Ordo Simbolik” (dalam istilah Lacan) yang seringkali tak menyediakan bahasa yang cukup atau tak memadai untuk mengungkapkan kedalaman keputusasaan, trauma, dan ide bunuh diri. Kata-kata seperti “depresi” atau “kecemasan” mungkin tersedia, tetapi kerap terasa seperti baju yang tidak pas, gagal menangkap intensitas dan keunikan luka batin yang dialami.

Dari kegelapan dan kesunyian inilah Project Semicolon muncul, tidak sebagai solusi ajaib, tetapi sebagai jembatan harapan. Ia menunaikan transformasi yang luar biasa: mengubah yang ‘tak terujar’ –pengalaman personal yang terisolasi dan tak termaknai– menjadi sebuah ‘artikulasi kolektif’ yang nyata, berani, dan penuh daya. Bagaimana gerakan sederhana sebuah tato titik koma (;) mencapai hal ini? Yang selanjutnya akan kita jelajahi melalui lensa pemikiran yang sama, Jacques Lacan.

Bahasa yang Gagal dan Kelahiran Penanda Baru

Lacan menegaskan bahwa kita terbentuk oleh bahasa (Ordo Simbolik), tetapi bahasa juga adalah sumber keterasingan. Ketika pengalaman batin seseorang –terutama yang terkait dengan penderitaan ekstrem mendekati “Yang Real” Lacanian (realitas di luar bahasa yang mengerikan dan tak terpahami)– menemui batas kemampuan bahasa untuk mengungkapkannya, terjadilah kebuntuan. Penderitaan itu menjadi yang ‘tak terujar’, terperangkap dalam ketaksadaran atau hanya mampu terekspresi melalui “gejala” (symptom) yang menyakitkan bahkan merusak.

Titik koma, Project Semicolon muncul sebagai sebuah penanda baru (a new signifier) dalam rantai simbolik. Ia bukan kata. Ia adalah tanda baca yang diangkat menjadi simbol visual yang kuat. Kehebatannya terletak pada ambiguitasnya yang produktif. Sebagai penanda, Semikolon tidak memiliki makna tetap yang dipaksakan. Ia kosong sekaligus penuh potensi. Setiap individu yang memilih menato semikolon pada tubuhnya mengisinya dengan narasi penderitaan yang ‘tak terujar’-nya sendiri. Tanda yang sama menjadi wadah bagi jutaan kisah unik tentang perjuangan melawan depresi, kecemasan, trauma, penyalahgunaan zat, atau pikiran untuk mengakhiri hidup. Tindakan menato itu sendiri adalah artikulasi pertama –sebuah cara fisik, permanen, dan sangat personal untuk “mengatakan” yang sebelumnya tak bisa atau tak berani diucapkan.

Dari Gejala Privat-Personal ke Artikulasi Publik-Kolektif

Bagi Lacan, “gejala” adalah pesan dari ketaksadaran, cara subjek (sadar) berbicara tentang konflik yang terpendam (tak sadar). Dalam konteks penyakit mental yang distigmatisasi, penderitaan individu seringkali dipaksa menjadi “gejala” privat –sesuatu yang disembunyikan, disangkal, dan selalu dianggap memalukan.

Project Semicolon melakukan alih wahana yang radikal. Ia mengambil “gejala” privat yang tersembunyi ini –rasa sakit, ide bunuh diri, perjuangan sehari-hari– dan mentransformasikannya menjadi sebuah pernyataan publik yang bangga melalui tato semikolon. Tindakan menampilkan simbol ini secara terbuka di tubuh adalah artikulasi yang berani. Ia menyatakan: “Aku mengalami ini. Ini adalah bagian dari ceritaku. Dan aku tidak malu.”

Inilah titik di mana yang ‘tak terujar’ personal bermetamorfosis menjadi ‘artikulasi kolektif’. Setiap semikolon yang terlihat, menjadi sinyal pengakuan bagi yang lain. Ia menciptakan bahasa visual bersama yang seketika dapat dipahami oleh mereka yang memiliki pengalaman serupa, melampaui batas kata-kata yang tiap kali gagal. Tato itu menjadi seruan: “Aku di sini. Aku mengerti. Kamu tidak sendirian.” Kumpulan semikolon di berbagai tubuh ini membentuk komunitas simbolik –sebuah jaringan diam-diam namun kuat dari mereka yang telah menyentuh jurang dan memilih untuk bertahan. Artikulasi kolektif ini mematahkan isolasi dan menciptakan solidaritas yang lahir dari pengalaman bersama tentang “yang sebelumnya tak terujar”.

Artikulasi Kolektif yang Menantang Ordo Simbolik

“Ordo Simbolik” Lacan bukanlah ruang netral. Ia diisi oleh norma sosial, nilai budaya, struktur kekuasaan, dan stigma yang selalu ikut melanggengkan penderitaan kesehatan mental –dengan menyangkalnya, merendahkannya, atau menyalahkan korban.

Artikulasi kolektif yang diwujudkan Project Semicolon melalui titik koma adalah sebuah tindakan politik. Dengan secara masif menampilkan simbol penderitaan dan ketahanan mental di ranah publik, gerakan ini secara aktif menantang Ordo Simbolik yang dominan dan represif tersebut. Setiap titik koma yang terpampang adalah: Penolakan terhadap stigma—Menolak anggapan bahwa penyakit mental adalah aib atau kelemahan. Adalah Tuntutan untuk Dilihat, memaksa masyarakat untuk mengakui prevalensi dan realitas jiwa.

Juga, hal ini sebagai upaya Kritik terhadap struktur, menyoroti bagaimana sistem sosial (kesehatan, dukungan ekonomi) dalam menangani krisis kesehatan mental. Yang selanjutnya juga sebagai bentuk Re-klaiming Naratif untuk mengambil alih narasi tentang penyakit mental dari tangan yang seringkali ‘menghakimi’, dan mengembalikannya kepada mereka yang ‘mengalami’.

Artikulasi kolektif ini bukan sekadar berbagi cerita; ia adalah aksi pembentukan makna baru dalam Ordo Simbolik. Ia mendorong bahasa, pemahaman, dan respons sosial yang lebih empatik dan mendukung terhadap pengalaman kesehatan mental.

– Iskra