PSI dan Dinamika Sejarah Politik Indonesia yang Ambigu

Baru-baru ini kita sebagai rakyat Indonesia dikejutkan oleh fenomena politik abad 21, pembaharuan identitas Partai Solidaritas Indonesia mengubah dirinya ke dalam bentuk yang sama sekali baru. Simbol kepalan tangan dan bunga mawar lekat kaitannya dengan partai sosialis-demokrat Italia pasca fasisme Benito Mussolini, simbol tersebut memberikan pesan bahwa mawar adalah simbol persatuan distributif yang akan selalu mewangi, tapi saya tidak akan membahas itu lebih elaboratif lagi, karena saya akan mengetengahkan sejarah dinamika politik PSI ala Sjahrir yang berideologi sosialisme-demokrat, dengan perubahan identitas semiotis dalam konteks ideologi dan gerak politik Partai Solidaritas Indonesia pasca pemilu 2024.

Partai Solidaritas Indonesia pada awalnya bergerak ke arah gerakan sosialisme-demokrat progresif yang digawangi beberapa publik figur terkemuka, dari seniman layar kaca, wartawan dan akademisi politik kawakan, semua turut andil merumuskan gerak arah partai, partai yang diharap mampu untuk jadi representasi anak muda dan minoritas progresif seketika luntur ketika kita melihatnya hari ini.

PSI ala Sjahrir pada mulanya pun menjadi salah satu kekuatan politik terbesar ketika pemilihan umum pertama digelar pada 1955, partai yang menjadi tandingan cukup “trengginas” bagi sejawat yang punya ideologi hampir serupa macam Partai Komunis Indonesia dan Partai Nasional Indonesia yang diketuai Sukarno. Partai Sosialis Indonesia menjadi representasi ‘wong cilik’, pilihan elektoral alternatif diantara kedua parpol sejawat yang sangat kentara perbedaannya.

Berbicara mengenai simbol identitas politik, tentu seperti yang kita semua tahu bahwa ikon yang menggambarkan identitas mampu memberikan watak komunikasi secara semiotis, tanpa perlu berbasa-basi mengetahui teori, secara kesadaran alamiah pun terilustrasikan juga imajinasi, karakter serta gerakan politik yang menjadi “fiksi kolektif” sebuah partai. Transformasi identitas Partai Solidaritas Indonesia dari bergambar genggaman tangan memegang bunga mawar berlatar merah, seolah mengomunikasikan kepada khalayak bahwa kemeriahan semangat kepedulian yang penuh cinta kasih nan progresif hendak ditunjukkan partai tersebut pada pemilihan umum 2019 lalu. Sayangnya, cita-cita tersebut mesti mengakui keunggulan pragmatis-oportunisme politik uang dan identitas SARA.

Perbedaan yang cukup kentara antara Partai Sosialis Indonesia dan Partai Solidaritas Indonesia ini mengisyaratkan dinamika sejarah politik menarik, hal yang menyangkut konsistensi dan keterusterangan ideologis untuk mengooptasi publik inilah yang mencirikan watak tunggal sebuah partai.

Dari tanaman ke hewan liar, jelas partai tersebut ingin memberikan pesan betapa kuatnya kekuatan besar yang ingin dicapai sebagai tujuan elektoral ketika pemilihan umum yang akan bergulir pada periode berikutnya.

Partai Solidaritas Indonesia yang konon berkarakter terbuka, entah dalam konteks apa keterbukaan yang dimaksud sudah mengultuskan salah satu figur elit politik yang berkuasa sedekade lamanya. Tokoh ini menjadi daya tarik baru pasca pangsa pasar ideologi politik pasca reformasi hancur-lebur akibat genosida 65-66 dan gerakan anti-komunis yang dikooptasi secara masif setelahnya, yang menjadi perdebatan menarik Indonesia sebagai negara-bangsa modern yang baru merdeka, di sinilah kerancuan—ambiguitas yang amat nyata disaksikan publik. Simbol hewan mungkin bukan hal baru bagi fenomena politik dan kepartaian, sudah di mulai bahkan sejak pra-kemerdekaan, oleh Partai Nasional Indonesia yang dirintis oleh Sukarno pada 1927.

Kepala banteng konon diasosiasikan sebagai simbol kekuatan, dan kebijaksanaan, hingga saat ini pun saya masih belum begitu mengerti akar filosofi beragam hewan herbivora yang digunakan sebagai simbol identitas ikonik dalam politik. Barangkali kerana banteng maupun gajah mempunyai postur tubuh yang kekar, kuat dan besar, menjadi perspektif yang sama sekali baru, terlepas dari ambiguitas ideologi sebuah partai di tengah dinamika sosial-politik yang makin pragmatis dan oportunis.

Saya akan cukupkan tulisan ini dengan analisa; reformasi politik belumlah cukup untuk mencapai kedewasaan berbangsa dan bernegara, diperlukan revolusi, yang saat ini masih dianggap eksklusif hanya dimiliki kaum sosialis-komunis (baca; kiri). Revolusi segenap budaya, budaya intelektual, budaya politik dan optimalisasi patronase pedagang dengan intelektual yang memberi sifat utilitarian dan peran lebih bagi kehidupan sebuah negara.