Sandra Harding dan Pendasaran Material Patriarki

Tulisan ini hadir sebagai penghormatan bagi Sandra Harding yang wafat pada 05 Maret 2025 lalu, seorang feminis yang teguh dan gigih mengkritik benteng objektivitas semu dalam sains modern, ia mengenalkan konsep seperti Strong objectivity”, “Standpoint Theory” termasuk pembongkaran terhadap “feminist epistemology” yang tak hanya membongkar bias patriarkal dalam produksi pengetahuan, pula membuka jalan bagi metodologi yang lebih adil, reflektif tentunya inklusif, warisannya yang teguh terus menyala sebagai lentera bagi para akademisi, aktivis, dan siapa pun yang masih percaya bahwa sains dan pengetahuan dapat—bahkan harus—dibangun untuk emansipasi manusia.

Sebagai bagian dari seri diskusi feminisme, Harding juga salah bagiannya yang menanggapi tulisan dari Heidi Hartmann tentang “The Unhappy Marriage of Marxism and Feminism…”. Baginya pernikahan sering digambarkan sebagai penyatuan dua insan yang setara. Namun hal itu, hanya metafora “pernikahan” antara Marxisme dan Feminisme yang diusung oleh Hartmann lebih menyerupai gambaran hukum umum Inggris kuno: Marxisme adalah suami yang mendominasi, sementara Feminisme adalah istri yang disubordinasi. Pernikahan ini tidak bahagia, penuh ketimpangan, dan Harding dalam salah satu artikelnya mempertanyakan apakah pernikahan ini layak diselamatkan, atau justru perlu dibubarkan demi membangun aliansi teoretis yang lebih adil dan radikal –sebuah “solusi radikal” yang coba ia bangun, tidak hanya mereformasi tetapi merevolusi kerangka pemahaman tentang patriarki dan kapital.

Solusi “Utopis” Hartmann

Hal pertama yang diakui Harding dari kontribusi penting Hartmann ialah, ia berhasil menunjukkan bahwa Marxisme tradisional “buta gender” (sex-blind). Kategori-kategorinya seperti “kelas”, “tentara cadangan buruh”, dan “buruh upahan” gagal menjelaskan ‘mengapa’ posisi subordinat dalam keluarga dan masyarakat justru diisi oleh perempuan, dan bukan sebaliknya. Hartmann juga berjasa dalam memperluas konsep Marxist tentang “basis material”. Ia berargumen bahwa basis material patriarki dan kapital tidak hanya terletak pada hubungan produksi di pabrik, tetapi juga pada kontrol ekonomi dan ideologis laki-laki atas kerja perempuan ‘dalam keluarga’ (Harding, 1981). Adalah kerja reproduktif (merawat anak, rumah tangga) yang ini justru menguntungkan tidak hanya bagi kapital –yang mendapat tenaga kerja segar dan buruh yang diurus—tetapi juga laki-laki sebagai gender (men as men) yang menikmati layanan dan status superior.

Kritik Harding, adalah solusi Hartmann yang masih “utopis”. Meski telah memperluas cakupan “basis material” dalam analisis Marxist, tapi Hartmann tidak melakukan revisi mendasar terhadap konsep itu sendiri. Ia tetap terjebak dalam reduksionisme ekonomi Marxist tradisional. Basis material masih dipahami semata-mata sebagai relasi-ekonomi, meskipun kini mencakup ekonomi rumah tangga (Harding, 1981). Padahal, menurut Harding, inilah akar masalahnya: kategori ekonomi Marxist tidak hanya ‘buta gender’, tetapi juga seksis (sexist). Kategori-kategori ekonomi itu dirancang untuk memahami dunia produksi komoditas –dunia yang didominasi laki-laki– dan secara fundamental tidak memadai untuk memahami dinamika kompleks ‘hubungan-sosial’ dalam keluarga, terutama proses di mana “spesies manusia itu sendiri diproduksi dan direproduksi” –yaitu, bagaimana bayi biologis diubah menjadi ‘orang sosial’ dengan kepribadian, gender, dan kepentingan tertentu.

Produksi “Tenaga Kerja Produktif”: Upaya Menggali Basis Material

Solusi yang diajukan Harding, ia beralih pada karya Nancy Chodorow dan Jane Flax, yang memanfaatkan teori hubungan objek (object relations theory) pasca-Freudian. Fokusnya bergeser dari hubungan ekonomi semata ke hubungan sosial material yang membentuk kepribadian dalam proses pengasuhan bayi (Harding, 1991). Harding menekankan dua fitur universal yang mencolok dari struktur sosial pengasuhan bayi:

    1. Perempuan sebagai Pengasuh Utama: Sepanjang sejarah yang diketahui, perawatan utama bayi (fisik dan emosional) dilakukan oleh perempuan. Bayi laki-laki dan perempuan, dalam keadaan androgini awal, memulai proses pemisahan-diri (individuation) dan menjadi subjek sosial yang terpisah dari figur pertama “liyan” (other) mereka – seorang perempuan. Proses psikologis mendasar ini terjadi jauh sebelum masuknya figur laki-laki secara signifikan dalam dunia emosional bayi;
    2. Penghilangan Nilai Perempuan: Menjadi perempuan dinilai lebih rendah daripada menjadi laki-laki di semua masyarakat. Figur pengasuh utama (perempuan) ini, yang darinya bayi memisahkan diri, adalah figur yang dihargai rendah (devalued) baik oleh dirinya sendiri (karena internalisasi) maupun oleh masyarakat.

Kedua kondisi material-historis inilah yang, menurut Harding, merupakan basis material sejati yang mereproduksi kepentingan psikologis (psychological investments) dalam mempertahankan patriarki, kapital, dan hubungan dominasi lainnya.

Pembentukan Kepribadian Maskulin (Laki-laki) bagi bayi laki-laki harus memisahkan diri dari figur liyan pertama yang dihargai rendah (perempuan) untuk menjadi “laki-laki”. Proses ini, terjadi pada tahap pra-rasional, yang menghasilkan kepribadian yang cenderung: berlebihan dalam rasionalitas (menekan perasaan dan tubuh), memiliki kebutuhan kuat untuk mendominasi “liyan” (perempuan, alam, kelompok lain), kompetitif, menjaga jarak emosional, misoginis, dan membentuk ikatan laki-laki (male-bonding) sebagai prototipe hubungan sosial (Harding, 1991). Dominasi ini menjadi kebutuhan psikologis yang tertanam dalam individu si bayi laki-laki.

Lalu, Pembentukan Kepribadian Feminin (Perempuan) bagi bayi perempuan memisahkan diri dari figur yang sama jenisnya tetapi dihargai rendah. Ini menghasilkan hubungan ambivalen dengan sang ibu dan dengan dualisme (rasio-perasaan, budaya-alam). Perempuan dewasa cenderung berlebihan dalam keperawatan (nurturance) dan altruisme, fokus berlebihan pada kehidupan emosional, sulit mengambil jarak objektif, dan hubungan heteroseksualnya yang selalu kurang signifikan secara emosional dibandingkan bagi laki-laki (Pinem, 2021).

Implikasinya?

Pemahaman tentang pendasaran ‘basis-material’ ini membawa konsekuensi teoretis dan politis yang: Menguak “Kebetulan yang Aneh”: Harding membantah penjelasan Hartmann tentang “kebetulan aneh” antara sifat-sifat kepribadian maskulin stereotip (rasional, kompetitif, dominan) dan sifat-sifat yang diinginkan dalam masyarakat kapitalis. Bagi Harding, ini bukan kebetulan! Ini, sifat-sifat maskulin yang terbentuk melalui pengasuhan berbasis gender itulah yang kemudian mendesain dan mengendalikan lembaga kapitalis (Pinem, 2021). Kapitalisme bukan sekadar “mitra” patriarki; mereka adalah “saudara kandung” (siblings) yang berbagi “gen” kepentingan psikologis yang sama untuk mendominasi. Laki-laki yang kepribadiannya terbentuk untuk mendominasi “liyan” (perempuan, alam) secara alami akan mendesain sistem ekonomi (kapital) yang mencerminkan dan memenuhi kebutuhan psikologis itu – sebuah sistem yang juga beroperasi melalui eksploitasi dan dominasi (Harding, 1993).

Selanjutnya ialah untuk “Mengatasi Kelemahan Teori”: Solusi ini, menurut Harding, menghindari jebakan teori Freud yang sering dikritik: ahistoris, deterministik, normatif (mengidealkan keluarga borjuis Wina), menyembunyikan akar ekonomi, dan menjadikan keluarga sebagai kambing hitam. Teori Chodorow-Flax (Harding, 1991) yang diadopsi Harding bersifat historis-materialis: ia mengakui variasi sejarah dalam pembagian kerja gender, menolak determinisme psikologis kaku (menggantinya dengan konsep “batas” psikologis yang bisa berubah), tidak normatif, menempatkan keluarga sebagai “konduit” antar generasi untuk kepentingan dominasi yang juga didukung struktur ekonomi/publik, dan fokusnya bukan pada keluarga inti (nuclear) semata, tetapi pada fakta universal bahwa perempuan yang dihargai rendahlah yang justru melakukan pengasuhan utama.

Lalu “Membuka Agenda Riset Baru”: Teori ini memunculkan pertanyaan riset penting, yaitu bagaimana variasi dalam pengasuhan (misal, oleh banyak perempuan, keterlibatan laki-laki, pengasuh dari kelas berbeda) memengaruhi kepribadian dewasa? Institusi sosial apa yang bisa menantang kategori gender? Bagaimana ekspresi kepribadian berbasis gender bervariasi secara kultural dan historis?

Selanjutnya mendesak praktik “Politik Baru dan Peran Sentral Perempuan”: Implikasi politiknya jika kepentingan psikologis dalam dominasi berakar pada pembagian kerja gender dalam pengasuhan, maka membongkar patriarki dan kapital ‘mensyaratkan’ penghapusan pembagian kerja gender ini. Praktik politik baru harus diciptakan: gerakan perempuan otonom, perawatan bayi alternatif (melibatkan laki-laki), komunitas lesbian—ruang perempuan bukan sebagai “liyan”, dan resistensi terhadap praktik institusional yang memperkuat gender. Kunci revolusi terletak di sini: Harding berargumen bahwa laki-laki, sebagai kelompok dominan yang memiliki “lebih banyak hal untuk hilang daripada rantai mereka” (status, hak istimewa psikologis), tidak dapat diharapkan memimpin revolusi melawan patriarki/kapital. Mereka memiliki kepentingan material (psikologis dan ekonomi) untuk mempertahankannya. Upaya menyadarkan (consciousness-raising) saja tidak cukup; perubahan hanya mungkin jika struktur pengasuhan yang mereproduksi kepribadian dominator diubah (Harding, 1993). Karenanya, perempuanlah, yang tidak memiliki kepentingan psikologis dalam mempertahankan dominasi maskulin, yang harus memimpin. Perempuan harus menciptakan teori dan praktik revolusioner baru yang benar-benar ilmiah – yaitu, yang historis dan materialis secara lebih komprehensif –untuk melawan tidak hanya patriarki, tetapi juga kepentingan psikologis yang mendasari kontrol laki-laki atas patriarki dan kapital. Perempuan, dalam pandangan Harding yang tegas, adalah “kelompok revolusioner dalam sejarah” saat ini.

Menuju Teori Otonom

Solusi Harding bukan sekadar menyelamatkan pernikahan tidak bahagia itu dengan terapi pasangan. Ia mengusulkan perceraian teoretis yang diperlukan. Marxisme, dengan kategori ekonominya yang seksis dan reduksionis, tidak dapat secara memadai menjelaskan basis material patriarki – yang terletak pada psikologi sosial produksi-manusia melalui pengasuhan berbasis gender. Memahami basis material yang sejati ini membutuhkan teori feminis yang otonom, yang meski menyerap wawasan materialis Marxist, memiliki fondasi dan kerangkanya sendiri. Teori otonom inilah yang mampu menjelaskan mengapa laki-laki mendominasi, mengapa patriarki dan kapital bersekutu begitu erat, dan mengapa perempuan, yang diproduksi di pinggiran pusat kekuasaan psikologis ini, memegang kunci untuk membongkarnya. Artikel Harding merupakan seruan untuk berani melihat ke dalam “dapur” produksi manusia itu sendiri, dan untuk memberdayakan mereka yang paling memahami rasanya dijadikan “liyan” – perempuan – untuk memimpin transformasi menuju masyarakat yang benar-benar bebas dari dominasi.

 

 


Bahan Acuan

Harding, Sandra. “‘. . . and Race’?: Toward the Science Question in Global Feminisms.” Dalam Whose Science? Whose Knowledge?: Thinking from Women’s Lives, 191–217. Cornell University Press, 1991. http://www.jstor.org/stable/10.7591/j.ctt1hhfnmg.11.

———. “What Is Feminist Epistemology?” Dalam Whose Science? Whose Knowledge?: Thinking from Women’s Lives, 105–37. Cornell University Press, 1991. http://www.jstor.org/stable/10.7591/j.ctt1hhfnmg.8.

———. “What is The Real Material Base of Patriarchynn and Capital.” Dalam Women and Revolution: a Discussion of The Unhappy Marriage of Marxism and Feminism, disunting oleh Lydia Sargent, 135–63. Montréal, Québec: Black Rose Books, 1981.

Harding, Sandra G. The Science Question in Feminism. 5. print. Ithaca, NY: Cornell University Pr, 1993.

Pinem, Milda Longgeita. “Gagasan Sandra Harding Tentang Strong Objectivity dan Kontribusinya Bagi Metodologi Feminis di Indonesia.” Kafa’ah: Journal of Gender Studies. 11, no. 2 (2021): 170–83.