Tafsir Diri: Membaca Subjektivitas di Tengah Arus Modernitas

“Manusia bukanlah benda yang tinggal jadi, melainkan makhluk yang ditakdirkan untuk terus menafsirkan dirinya sendiri.” Jean-Paul Sartre

Di tengah zaman yang gemar memberi label, pembicaraan tentang “diri” sering kali terjebak dalam penyederhanaan. Seolah-olah identitas bisa ditentukan lewat satu kuis kepribadian lima menit atau disimpulkan dari hobi minum kopi sambil mendengar lagu Iwan Fals.

Namun filsafat dan psikologi modern justru menunjukkan sebaliknya: diri adalah sesuatu yang terbentuk, bukan sesuatu yang ditemukan. Ia bukan benda, melainkan proses; bukan esensi, melainkan proyek terbuka yang terus mengalami perubahan.
Filsuf eksistensialis Jean-Paul Sartre menyatakan bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk yang terlebih dahulu “ada” sebelum memiliki “makna”. Tidak ada esensi manusia yang sudah ditentukan sejak awal. Manusia membentuk dirinya melalui pilihan dan tindakan yang ia ambil secara sadar. Dalam pandangan ini, tafsir diri adalah usaha sadar untuk memahami sekaligus membentuk eksistensi kita, bukan sebagai hasil, melainkan sebagai proses yang selalu belum selesai.

Di tengah tekanan budaya performatif di mana manusia dituntut untuk “menjadi sesuatu” yang diakui publik muncullah fenomena kelelahan eksistensial. Banyak orang merasa terjebak dalam peran yang dipaksakan: menjadi sukses sebelum usia 30, menjadi stabil secara emosional meski luka batin belum selesai, atau menjadi spiritual sekaligus produktif secara bersamaan.
Dalam filsafat eksistensial Kierkegaard, kondisi ini bisa dibaca sebagai bentuk keputusasaan eksistensial, yaitu ketika seseorang gagal memediasi antara kemungkinan dan keterbatasannya sendiri. Diri menjadi terfragmentasi: antara “aku yang kuharapkan” dan “aku yang ternyata ada”.
Keputusasaan ini tidak selalu muncul dalam teriakan atau tangisan. Ia bisa hadir diam-diam dalam rutinitas: kelelahan tanpa nama, kegelisahan tanpa sebab, atau perasaan hampa meski sedang dikelilingi hal-hal yang tampak “baik-baik saja.”

Carl Gustav Jung menyebut proses mengenal diri sebagai individuasi, yaitu perjalanan menyatukan sisi sadar dan tak sadar dalam diri manusia. Salah satu elemen terpenting dalam proses ini adalah “bayangan” (the shadow): bagian dari diri yang sering kita tolak atau sembunyikan karena dianggap buruk, lemah, atau tidak pantas.

Jung menekankan bahwa mengenal diri tidak berarti hanya menampilkan sisi terang, melainkan juga mengakui kegelapan dalam diri. Dalam istilahnya:

“Seseorang tidak menjadi tercerahkan dengan membayangkan sosok terang, tetapi dengan membuat bayangan menjadi sadar.”

Proses menafsir diri, dalam kerangka Jungian, adalah proses keberanian. Keberanian untuk menyentuh sisi yang selama ini kita pendam, dan menjadikannya bagian dari narasi keutuhan pribadi.

Namun di sisi lain, tafsir diri bukan hanya soal perenungan batin. Ia juga sangat dipengaruhi oleh konteks sosial dan historis. Michel Foucault, dalam The Archaeology of Knowledge, menyatakan bahwa diri adalah produk dari struktur wacana dan relasi kuasa. Apa yang kita anggap sebagai “identitas personal” sering kali merupakan hasil dari norma, institusi, dan narasi dominan yang bekerja di luar kesadaran kita.

Dengan kata lain, ketika kita “mengenal diri”, yang kita tafsir sering kali sudah terformat oleh wacana: agama, budaya, gender, kelas sosial. Maka tafsir diri juga bisa menjadi praktik kritis menyadari bagaimana identitas dibentuk oleh struktur yang tidak selalu kita pilih, dan mungkin tidak kita sadari.
Dalam tradisi tasawuf Islam, tafsir diri justru menjadi jalan spiritual. Hadis yang populer menyatakan: “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu” Barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.

Pernyataan ini memberi kedalaman bahwa diri bukan hanya entitas psikologis, melainkan juga ruang perjumpaan dengan yang Ilahi. Mengenal diri bukan hanya mengenal trauma atau keinginan, tapi juga mengenali keterbatasan, kefanaan, dan kehendak untuk kembali kepada sumber asal.
Penyair sufi Jalaluddin Rumi bahkan menulis:
“Kau adalah kitab. Bacalah dirimu sendiri dengan saksama, dan kau akan menemukan semesta di dalamnya.”

Dengan demikian, tafsir diri bukan hanya upaya personal, tapi juga spiritual dan kosmologis. Ia adalah cermin untuk membaca semesta bukan di luar, tapi di dalam diri.
Tafsir diri adalah proses yang tak pernah rampung. Ia menuntut keberanian, ketekunan, dan kerendahan hati. Kita bukan identitas yang selesai, tapi naskah yang terus ditulis oleh waktu, luka, dan harapan. Sebagaimana dikemukakan oleh Paul Ricoeur, manusia adalah makhluk naratif, yaitu subjek yang mengenal dan membentuk dirinya melalui cerita yang ia bangun tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan.

Maka pertanyaannya bukan lagi: “Siapa aku?” Melainkan: “Apa yang sedang kuceritakan tentang diriku hari ini, dan untuk apa?”