Dalam historiografi ilmu pengetahuan, kontroversi vis viva—perdebatan sengit sepanjang akhir abad ke-17 hingga abad ke-18 mengenai ukuran gaya yang valid, apakah momentum (mv) atau energi kinetik (mv²)— disajikan dengan titik akhir yang tampak pasti: terbitnya Traité de Dynamique karya Jean d’Alembert pada tahun 1743. Narasi dominan dalam banyak ulasan sejarah sains menyatakan bahwa d’Alembert, dengan karya monumentalnya itu, berhasil menyelesaikan perdebatan panjang ini dengan menunjukkan bahwa persoalannya hanyalah kesalahpahaman semantik, sebuah “pertikaian kata-kata” (dispute des mots), sekaligus memberikan kerangka untuk memahami konteks aplikasi masing-masing ukuran gaya. Tahun 1743 pun diukir sebagai terminus simbolis yang menandai berakhirnya era kebingungan konseptual dalam dinamika.
Namun, ulasan-ulasan kontemporer lainnya, seperti esainya Laudan (1968), Hankins (1965), dan Costabel (1961), telah mengikis kepastian narasi tunggal ini. Mereka menyoroti fakta bahwa kontroversi terus bergulir jauh melampaui tahun 1743, bahkan hingga akhir abad ke-18. Lebih dari itu, analisis komparatif terhadap sumber primer—khususnya perbandingan dua edisi Traité de Dynamique d’Alembert (1743 dan 1758) serta karya Roger Boscovich De Viribus Vivis (1745)—mengungkap kerumitan dan ketidaklengkapan dalam klaim resolusi tahun 1743.
Tulisan ini dibuat sebagai sebuah rangkuman atas ulasan-ulasan tersebut. Tujuannya bukan semata-mata menceritakan kembali kontroversi vis viva, melainkan menyajikan beberapa hal yang dianggap bisa dijadikan bahan perdebatan kembali terhadap cara narasi historis tentang kontroversi ini dibangun dan dikaji ulang dalam literatur sekunder. Dengan penekanan pada dialektika klaim tradisional dan historiografis setengah abad lalu.
Upaya Penuntasan Kontroversi Vis Viva
Tahun 1743 kerap dikutip sebagai penutup dari kontroversi vis viva, merujuk pada terbitnya Traité de Dynamique karya Jean d’Alembert. Tapi, klaim ini perlu dikaji ulang lagi pada beberapa tinjauan. Penelitian lain menunjukkan bahwa perdebatan ilmiah ini berlanjut jauh melampaui tahun tersebut, bahkan hingga akhir abad ke-18, sebagaimana didokumentasikan dan diulas oleh L. L. Laudan (1968). Lebih penting lagi, analisis terhadap dua edisi karya d’Alembert—1743 dan 1758—mengungkap perbedaan substansial dalam penyajiannya tentang kontroversi ini. Edisi pertama tahun 1743 pada dasarnya membedakan antara vis mortua Descartes dan vis viva Leibniz, serta menyimpulkan bahwa persoalan ini hanyalah “pertikaian kata-kata” yang layat bagi para filsuf. D’Alembert mendefinisikan gaya sebagai istilah untuk mengekspresikan ‘efek’ dan menerima dua ukuran yang valid: (a) mdv (diidentifikasikan secara keliru dengan “kuantitas gerak” atau momentum) untuk kasus kesetimbangan (vis mortua), dan (b) mv² (vis viva) untuk gerak terhambat, di mana jumlah rintangan yang diatasi sebanding dengan kuadrat kecepatan (Iltis, 1970). Ia menegaskan bahwa tidak ada ide yang tepat dan berbeda tentang kata “gaya” selain membatasinya untuk mengekspresikan efek, sehingga menjadikan seluruh pertanyaan sebagai diskusi metafisika yang sia-sia.
Pandangan ini sebenarnya bukan hal baru. ‘sGravesande telah menyebut perdebatan ini sebagai “pertikaian kata-kata” sejak tahun 1729. Edisi 1743 d’Alembert, meski sering dikutip sebagai penyelesaian kontroversi, tidak memberikan klarifikasi lebih dari sekadar kontras vis mortua–vis viva dan penyebutannya sebagai perdebatan verbal. Bahkan, dalam pembahasan kesetimbangan, d’Alembert melakukan kekeliruan signifikan dengan menyamakan produk massa dan kecepatan virtual (mdv), yang merupakan ukuran ‘gaya-mati’ ala Leibniz, dengan momentum (mv). Kekeliruan identifikasi ini, yang sebelumnya juga dilakukan oleh ilmuwan seperti Fabri, Pardies, Malebranche, Deschales, Catalan, dan Desaguliers, berpotensi menjadi sumber anggapan keliru bahwa d’Alembert telah menyelesaikan kontroversi pada tahun 1743 (Laudan, 1968).
Perkembangan penting justru muncul dalam edisi kedua Traité de Dynamique tahun 1758. D’Alembert menambahkan bagian baru yang memperkenalkan tiga makna gaya, bukan dua. Tiga kasus tersebut adalah: (1) Vis Mortua: Kecenderungan benda untuk bergerak dengan kecepatan tertentu yang dihentikan oleh rintangan. Efeknya hanyalah kecenderungan, bukan ukuran yang sebenarnya karena tidak menghasilkan gerak. (2) Kuantitas Gerak (Momentum): Benda benar-benar bergerak seragam dengan kecepatan tertentu. Efeknya adalah ruang yang ditempuh secara seragam dalam waktu tertentu, sebanding dengan kecepatan (mv). (3) vis viva: Benda bergerak dengan kecepatan yang dihabiskan dan dimusnahkan sedikit demi sedikit. Efeknya adalah ruang yang ditempuh hingga penghentian total gerak, sebanding dengan kuadrat kecepatan (mv²)(Supelli, 2024a). Di sinilah, untuk pertama kalinya dalam karya d’Alembert, muncul urgensi krusial yang membedakan momentum sebagai ukuran gaya yang bekerja melalui waktu dan vis viva sebagai ukuran gaya yang bekerja melalui ruang yang ditempuh (Laudan, 1968). Penambahan ini memberikan kerangka konseptual yang lebih jelas untuk memahami perbedaan mendasar antara kedua ukuran tersebut berdasarkan konteks aplikasinya (waktu vs. ruang).
Namun, prioritas atas wawasan teoretis penting ini bukan milik d’Alembert. Pierre Costabel telah menunjukkan bahwa Roger Boscovich, dalam karyanya De Viribus Vivis (1745), telah menyajikan argumen serupa dua tahun setelah edisi pertama d’Alembert (Iltis, 1970). Boscovich, menggunakan kategori skolastik kuno dan metode matematika baru, membahas representasi grafis dari tekanan yang diterapkan melalui waktu (yang terkait dengan momentum, ∫pdt ≈ mv) dan gaya yang diterapkan melalui jarak (yang terkait dengan vis viva, ∫Fds ≈ mv²). Ia menyamakan vis activa (tekanan sesaat) dengan vis mortua dan menjelaskan bagaimana tekanan ini menghasilkan kecepatan melalui aplikasi kontinu, dianalogikan seperti garis yang menghasilkan permukaan melalui gerak. Meskipun analisisnya mengandung elemen untuk membedakan m v (bergantung waktu) dan mv² (bergantung ruang), dan menggabungkan aspek yang sebelumnya dianalisis oleh Bernoulli dan Louville, Boscovich sendiri tidak menganggap vis viva setara dengan momentum. Dalam De Viribus Vivis dan kemudian dalam Philosophiae Naturalis Theoria (1758), ia berargumen bahwa tidak ada vis viva di alam; momentum-lah ukuran gaya yang sebenarnya, sedangkan vis viva hanya valid sebagai metode kalkulasi. Ia bahkan menyimpulkan bahwa pertanyaan vis viva adalah persoalan bahasa yang sepenuhnya tidak berguna (Laudan, 1968).
D’Alembert sendiri, mirip dengan Boscovich, lebih menyukai momentum daripada vis viva. Oleh karena itu, klaim bahwa d’Alembert mengakhiri kontroversi vis viva secara teoretis, praktis, atau historis menjadi sangat lemah. Ia bukan yang pertama menyebutnya pertikaian kata-kata. Ia bukan yang pertama mengontraskan momentum (gaya melalui waktu) dan vis viva (gaya melalui ruang). Ia pun tidak menganjurkan penggunaan simultan momentum dan vis viva untuk menyelesaikan masalah tumbukan (Iltis, 1970). Pembahasannya tentang penggunaan vis viva dalam masalah pegas tertekan atau benda jatuh tidak lengkap. Ia juga tidak menangani isu filosofis dan teologis penting terkait kekekalan vis viva yang mendasari argumen beberapa peserta kontroversi (Firmansyah, 2024). Yang terpenting, argumen pembeda waktu-ruang yang selama ini dikutip sebagai penyelesaian kontroversi baru ia sajikan pada tahun 1758, bukan 1743.
Penerimaan bersama kedua prinsip (kekekalan momentum dan kekekalan energi kinetik/vis viva) dalam menyelesaikan masalah mekanika, khususnya tumbukan elastis, membutuhkan waktu lebih lama. Sebagian besar buku teks abad ke-18 dan awal ke-19 tentang tumbukan masih mengandalkan kombinasi kekekalan momentum dan kekekalan kecepatan relatif (model Wallis dan Wren). Penggunaan simultan kedua prinsip baru mulai dianjurkan dalam buku teks setidaknya pada tahun 1860-an, mungkin menunggu pemahaman dan pengembangan hubungan energi yang lebih penuh pada tahun 1840-an. Jadi, tahun 1743 tidak memiliki signifikansi sebagai titik akhir kontroversi vis viva (Supelli, 2024b). Kontribusi d’Alembert pada edisi 1758, meski memperjelas perbedaan konseptual, terlambat datangnya dan didahului oleh Boscovich, sementara preferensi pribadinya terhadap momentum serta ketidaklengkapan analisisnya terhadap implikasi vis viva membuat perannya dalam “mengakhiri” perdebatan sepanjang abad ini menjadi minim.
Penutup
Secara keseluruhan, analisis terhadap perkembangan argumen d’Alembert dalam dua edisi Traité de Dynamique serta perbandingannya dengan karya-karya sezaman, khususnya Roger Boscovich, mengungkap narasi yang lebih kompleks daripada klaim tradisional mengenai penyelesaian kontroversi vis viva pada tahun 1743. Penelitian ini menunjukkan bahwa edisi pertama tahun 1743 tidak membawa wawasan teoretis baru yang menentukan; pembedaan antara vis mortua dan vis viva serta penyebutannya sebagai ‘pertikaian kata-kata’ telah diungkapkan sebelumnya oleh tokoh seperti ‘sGravesande. Bahkan, edisi ini mengandung kekeliruan konseptual dengan menyamakan ukuran vis mortua (mdv) dengan momentum (mv). Klarifikasi substantif baru muncul dalam edisi 1758, di mana d’Alembert memperkenalkan tiga makna gaya dan secara eksplisit membedakan momentum sebagai ukuran gaya yang bekerja melalui waktu (m v) dan vis viva sebagai ukuran gaya yang bekerja melalui ruang (mv²). Namun, prioritas atas pembedaan krusial ini bukanlah milik d’Alembert. Roger Boscovich, dalam De Viribus Vivis (1745), telah lebih dahulu menyajikan analisis grafis yang membedakan representasi gaya melalui waktu (terkait momentum, ∫pdt) dan melalui jarak (terkait vis viva, ∫Fds), meskipun ia sendiri menolak kesetaraan ontologis vis viva dengan momentum.
Lebih jauh, baik Boscovich maupun d’Alembert secara pribadi memprioritaskan momentum dan tidak menganjurkan penggunaan simultan kedua prinsip tersebut untuk menyelesaikan masalah mekanika praktis, seperti tumbukan elastis. Penerimaan bersama kekekalan momentum dan kekekalan energi kinetik (vis viva) sebagai alat analisis yang setara baru berkembang jauh kemudian, kemungkinan besar seiring dengan pemahaman yang lebih utuh tentang hubungan energi pada pertengahan abad ke-19, seperti yang mulai tercermin dalam buku teks era 1860-an. Dengan demikian, klaim bahwa d’Alembert mengakhiri kontroversi vis viva pada tahun 1743 melalui edisi pertamanya terbukti tidak berdasar. Perannya secara teoretis terbatas pada klarifikasi yang terlambat (1758) yang didahului oleh Boscovich, secara praktis tidak mendorong penggunaan bersama kedua ukuran gaya, dan secara historis tidak menandai titik akhir dari perdebatan panjang tersebut. Tahun 1743 kehilangan signifikansinya sebagai terminus kontroversi vis viva, menggeser fokus pemahaman kita pada proses resolusi yang bertahap dan kolektif dalam sejarah dinamika.
Bahan Acuan
Firmansyah, M. A. (2024). Merayakan 300 Tahun Immanuel Kant: Membicarakan Jembatan Rapuh antara Sains dan Metafisika. BandungBergerak.id. https://bandungbergerak.id/article/detail/1597381/merayakan-300-tahun-immanuel-kant-membicarakan-jembatan-rapuh-antara-sains-dan-metafisika
Iltis, C. (1970). D’Alembert and The Vis Viva Controversy. Studies in History and Philosophy of Science Part A, 1(2), 135–144. https://doi.org/3681(70)90002-6
Laudan, L. L. (1968). The Vis viva Controversy, a Post-Mortem. Isis, 59(2), 130–143. https://doi.org/10.1086/350361
Supelli, K. (2024a). Pendasaran Asali Sains dalam Metafisika. kalamsastra.id. https://kalamsastra.id/surat-semesta/pendasaran-asali-sains-dalam-metafisika
Supelli, K. (2024b). Teori dan Asas Pendahuluan Perihal Langit: Mesin Kosmik Immanuel Kant. kalamsastra.id. https://kalamsastra.id/surat-semesta/teori-dan-asas-pendahuluan-perihal-langit-mesin-kosmik-immanuel-kant