Muhammad pernah ditolak. Bukan oleh musuh. Bukan oleh orang kafir Quraisy. Tapi oleh keluarga sendiri. Oleh pamannya, Abu Thalib. Lamaran Muhammad kepada sepupunya, Fakhita, ditolak mentah-mentah. Bukan karena kurang akhlak. Bukan karena cacat perilaku. Tapi karena miskin. Karena tak punya posisi sosial. Karena dianggap tak cukup layak menjadi menantu seorang bangsawan Bani Hasyim. Di hadapan Abu Thalib, kejujuran, kebaikan, dan kedekatan keluarga saja tidak cukup. Nilai Muhammad tidak naik hanya karena dikenal sebagai _Al-Amin._ Pada akhirnya, ia tetap hanya seorang anak yatim, tanpa harta, tanpa nama, tanpa warisan.
Inilah wajah telanjang struktur sosial Mekkah abad ke-6. Struktur yang menganggap pernikahan sebagai transaksi, bukan ikatan afeksi. Sebuah sistem yang memandang relasi cinta dengan logika untung rugi. Muhammad mungkin adalah kerabat baik yang disayangi, namun tidak cukup berharga untuk diikat secara resmi dalam ikatan pernikahan. Penolakan itu bukan sekadar tragedi personal. Ia adalah kritik sosial: betapapun mulianya pribadi seseorang, jika status ekonominya tidak sesuai, sistem akan menolaknya secara halus—atau bahkan kasar.
Kisah ini dapat dilihat dalam The First Muslim: The Story of Muhammad Lesley Hazleton. Persoalannya babak penolakan cinta ini tidak banyak dibahas dalam wacana keagamaan. Atau dalam kisah Tarikh Nabi. Seolah-olah sejarah Muhammad muda itu ingin disembunyikan. Seolah-olah kenabian hanya boleh dimulai dari kemuliaan dan turunnya wahyu, bukan dari kegagalan penolakan cinta. Padahal justru di situ letak kekuatannya. Muhammad gagal, sebelum ia diangkat menjadi Nabi. Muhammad ditolak, sebelum wahyu turun. Penolakan ini menampar narasi-narasi yang sering dikembangkan ajaran arus utama. Narasi yang, menyebutkan bahwa orang baik pasti akan mendapatkan yang terbaik. Bahwa pernikahan adalah ganjaran atas moralitas. Bahwa ketulusan pasti berbalas. Seolah dunia ini adalah panggung keadilan yang lurus dan rapi. Faktanya tidak demikian bukan? Muhammad sebagai pribadi yang par excellence sekalipun tidak mendapatkannya.
Pernikahan, bahkan di tangan para nabi, tetap berada di bawah kendali struktur sosial. Abu Thalib tahu betul siapa keponakannya Muhammad. Ia tahu kebaikannya, ia sangat paham kredibilitasnya. Tapi ia juga tahu, status Muhammad tidak cukup kuat untuk menaikkan posisi putrinya. Maka ditolaknya lamaran itu. Tidak ada negosiasi. Tidak ada ruang diskusi. Muhammad tidak didengar. Dan lebih tragis lagi, ia tidak punya posisi tawar untuk memprotes. Syahdan, Muhammad mundur dalam diam. Tidak mencaci. Tidak membalas. Tidak menuntut. Hanya diam, dan menanggung luka itu sendiri.
Ini bukan sekadar kisah cinta seorang Nabi yang kandas. Ini kisah tentang bagaimana sistem menekan seseorang yang tidak punya kuasa. Sebuah pelajaran politik, bukan hanya kisah asmara. Bagi sebagian orang, kisah ini mungkin dianggap “anekdot” yang terlalu “biasa” untuk ukuran seorang Nabi. Tapi justru di sanalah kekuatannya. Muhammad bukan figur yang langsung memulai hidup dengan wahyu dan mukjizat. Ia memulai hidup dengan sisi kemanusiaan yang penuh penolakan. Dengan keterbatasan. Dengan rasa tidak dianggap. Bahkan oleh orang yang paling dekat.
Dan karena dari pengalamannya itu, Muhammad tidak pernah menuhankan status. Tidak membangun agama dari menara-menara sosial. Ia tahu rasa sakit menjadi orang tak dianggap. Karena ia mengalaminya sendiri. Yang menarik adalah konsekuensi dari penolakan itu. Seandainya Abu Thalib menerima lamarannya, sejarah mungkin berubah drastis. Muhammad bisa saja menetap sebagai bagian dari elite keluarga, hidup tenang, menyesuaikan diri dalam sistem sosial Quraisy. Tidak terusik. Tidak dibuang. Tidak asing.
Kenyataannya sejarah tidak berkata demikian. Penolakan itu membuka ruang bagi pertemuan dengan seorang perempuan lain—yang jauh lebih visioner, lebih kuat, dan lebih berani mengambil risiko sosial. Khadijah. Bukan hanya menerima Muhammad, Khadijah memilihnya. Bukan karena kasihan. Tapi karena pengakuan. Karena ia membaca potensi yang tidak bisa dilihat oleh pamannya sendiri terhadap Muhammad. Khadijah melihat bahwa kemiskinan bukan kekurangan dan aib. Bagi Khadijah integritas lebih penting dari kekayaan. Walhasil, dari situ sejarah bergerak.
Penolakan yang menyakitkan itu menjadi pintu bagi perubahan besar. Di tangan Khadijah, Muhammad menemukan tempat untuk tumbuh. Bukan hanya sebagai suami, namun sebagai pribadi yang berani. Yang punya ruang untuk merenung, dan kekuatan untuk melawan. Tanpa Khadijah, mungkin Muhammad tak pernah merasa cukup kuat untuk berdiam diri di Gua Hira dan dengannya berani mengatakan, “Iqra’”. Artinya, tidak semua penolakan adalah kehancuran. Kadang ia adalah seleksi tak terlihat. Pemisah antara yang cukup dan yang sungguh-sungguh diperlukan. Bukan setiap cinta harus berhasil. Dan bukan setiap keberhasilan diawali dengan penerimaan.
Penolakan Fakhita bukan akhir. Justru awal dari sesuatu yang lebih besar. Dan karena itu, ditolak cinta bukanlah aib. Ia adalah bagian dari pengalaman kenabian. Mungkin narasi keagamaan hari ini terlalu sibuk mengemas kisah Nabi sebagai biografi yang steril dari kegagalan. Narasi yang menghapus luka, dan menampilkan nabi sebagai sosok “sukses” dalam segala aspek. Akibatnya, realitas hidup umat jadi penuh kepalsuan. Ditolak cinta dianggap kekurangan iman. Menjadi jomblo dianggap aib sosial. Seolah-olah yang belum menikah adalah manusia yang tertinggal dalam keimanan.
Padahal, jika ditolak cinta dianggap memalukan, berarti sejarah Nabi pun harus ditolak. Muhammad mengalami itu. Ditolak dengan alasan yang sangat kejam: tidak cukup pantas. Maka jika ada seseorang yang ditolak karena status sosial, karena miskin, atau karena tak punya jabatan—pengalaman itu bukan hal baru. Rasul pernah mengalaminya lebih dulu.
Jika penolakan itu menyakitkan, maka luka itu pun pernah dirasakan oleh manusia terbaik sepanjang sejarah. Dan yang lebih penting, Nabi tidak menjadikan luka itu sebagai identitas. Ia tidak tenggelam dalam penyesalan. Tidak mengutuk nasib. Ia melanjutkan hidup. Menyusun kembali kepercayaan dirinya. Dan ketika saatnya tiba, ia membangun sejarah dari reruntuhan harapannya sendiri.
Dari sinilah pelajaran pentingnya. Penolakan bukan akhir. Ia hanya batu ujian. Yang melaluinya, pribadi seseorang bisa dibentuk. Bukan untuk menyerah, tapi untuk melihat arah baru yang sebelumnya tak terlihat. Tak perlu malu ditolak. Bahkan Nabi pun pernah dianggap “tidak cukup.” Dan justru karena dianggap tidak cukup, ia akhirnya membuktikan bahwa nilainya tak bisa diukur dengan kekayaan, jabatan, atau pengakuan sosial.
Nilai itu datang dari cara menghadapi penolakan. Dengan tenang. Dengan kepala tegak. Tanpa dendam. Dan itulah yang membedakan Muhammad dari yang lain: ia pernah ditolak, tapi tidak pernah berhenti. Penolakan cinta, jika dibaca dengan jujur, bukanlah kegagalan pribadi. Ia adalah bagian dari narasi besar kenabian. Ia adalah sunnah yang dilupakan. Yang berani menapakinya, tidak sedang kalah. Hanya sedang belajar jadi lebih kuat.
Ditolak Cinta adalah Sunnah Nabi
