Konten Islam di Media Sosial: Di Antara Dakwah yang Membumi dan Algoritma yang Melangit

Coba bayangkan ini: kamu baru bangun tidur, mata masih lengket, belum juga buka jendela, tapi tanganmu sudah otomatis buka TikTok. Di layar, muncul video ceramah singkat. Seorang ustad muda, dengan lighting kinclong, bicara pelan: “Jika kamu sering merasa gelisah, bisa jadi itu karena kamu jauh dari Allah.” Lalu muncul tulisan arab melayang, backsound sedih pelan-pelan mengalun, dan kamu entah kenapa terdiam. Ada sesuatu yang menyentuh. Mungkin benar juga, pikirmu. Begitulah kira-kira cara dakwah masuk ke hidup kita hari ini. Bukan lewat khutbah panjang atau buku tafsir yang tebal, tapi lewat video satu menit yang muncul di antara konten stecu dan resep kopi susu.

Zaman sekarang, agama hadir bukan cuma di masjid atau pengajian. Ia juga hadir di feed Instagram, di YouTube Shorts, di Twitter yang sekarang katanya X. Di satu sisi ini menggembirakan dakwah bisa menjangkau siapa saja, tanpa batas ruang dan waktu. Tapi di sisi lain, ini juga rawan. Sebab kita tahu, apa yang viral belum tentu benar. Dan apa yang benar belum tentu viral.

Riset dari PPIM UIN Jakarta nunjukin kalau mayoritas konten keislaman di medsos datang dari narasi konservatif. Bukan karena mereka paling mendalam, tapi karena paling mudah dicerna. Gaya bahasa yang tegas, ajakan yang jelas, dan emosi yang ditampilkan itu memang “nendang” lebih cepat masuk ke hati daripada konten moderat yang pelan-pelan ngajak mikir. Dan seperti yang kita tahu, algoritma lebih suka yang emosional daripada yang esensial.

Belakangan, kita juga melihat hijrah bukan cuma sebagai proses batin, tapi juga jadi tampilan luar. Mulai dari busana syar’i, konten “before-after”, sampai gaya bicara yang berubah 180 derajat. Banyak yang menjadikan hijrah sebagai bagian dari identitas digital. Dan, ya, kadang jadi branding juga. Nggak semua buruk. Justru bagus kalau penampilan bisa sejalan dengan perubahan hati. Tapi kalau hijrah hanya berhenti di tampilan, tanpa disertai pemahaman yang tumbuh. Ya, takutnya malah jadi topeng. Kita sibuk tampil Islami, tapi lupa bertanya: “Apa sih sebenarnya makna dari semua ini?”

Jean Baudrillard, seorang pemikir dari Prancis, pernah bilang bahwa di zaman sekarang, simbol bisa lepas dari makna. Gamis dan niqab bisa jadi hanya simbol kesalehan, tapi bukan jaminan ada kesalehan di baliknya. Dan medsos mempercepat proses itu. Kita jadi mudah terjebak pada tampilan, lupa pada proses.

Dalam dunia digital, konten dakwah sering bersaing dengan konten lain yang serba cepat dan dramatis. Maka tak heran kalau sebagian pendakwah juga menyesuaikan diri: ceramah dipendekkan, diberi latar musik , dikemas seperti sinetron. Kadang, yang paling banyak ditonton bukan yang paling berbobot, tapi yang paling menyayat hati.

Masalahnya, ketika semuanya jadi “drama”, kita jadi terlalu terbiasa dengan emosi dan lupa dengan pemahaman. Kita menangis, kita terharu, tapi setelah itu lupa. Karena tak sempat merenung. Karena terlalu cepat pindah ke video berikutnya. Penelitian dari UIN Jakarta juga menemukan hal serupa. Dakwah digital memang menggerakkan tapi banyak yang hanya sampai di kulit. Emosional, tapi dangkal. Menginspirasi, tapi tak mendalam.

Sekarang ini, agama juga jadi pasar. Banyak konten keislaman yang dibungkus apik lalu disusul link produk di bawahnya. Ada yang jualan buku hijrah, ada yang promosi aplikasi doa, ada yang buka kelas self-healing Islami. Lagi-lagi: bukan berarti ini semua salah. Tapi kita perlu bertanya kapan agama benar-benar hadir sebagai ajakan tulus, dan kapan ia jadi alat jualan. Dunia digital memaksa kita memilih: ikut arus atau berenang melawan. Dan arus terbesar hari ini adalah viralitas. Bukan kedalaman, bukan keilmuan. Tapi click, like, dan share.

Maka, di tengah hiruk-pikuk ini, kita butuh sesuatu yang kadang malas kita latih: kemampuan berpikir. Literasi. Nggak cuma literasi agama, tapi juga literasi digital. Karena banyak orang baik yang jadi korban hoaks bukan karena niatnya buruk, tapi karena nggak tahu harus cek ke mana. Riset dari UIN Bandung bahkan bilang, hoaks keagamaan adalah salah satu jenis hoaks yang paling sering dikonsumsi anak muda. Artinya, makin religius seseorang di medsos, belum tentu makin paham. Kadang malah makin gampang tertipu. Di sini pentingnya belajar. Pelan-pelan. Tak perlu tergesa. Karena seperti agama itu sendiri: ia tumbuh dalam kesabaran, bukan dalam satu klik.

Akhirnya, kita harus mulai dari pertanyaan sederhana: “Apa yang sebenarnya aku cari dari konten-konten ini?” Kalau hanya sekadar pengingat sesaat, ya mungkin itu cukup. Tapi kalau ingin benar-benar berubah, maka kita butuh lebih dari sekadar video satu menit. Kita butuh ruang untuk berpikir. Untuk bertanya. Untuk mencari. Dan semua itu jarang datang dari algoritma, tapi dari kesadaran. Karena surga, kalau memang itu tujuan kita, tidak bisa dibeli dengan likes. Tidak bisa dicapai dengan swipe. Tapi dengan langkah kecil yang terus-menerus, dituntun oleh ilmu dan kejujuran dalam hati.

Media sosial bisa jadi alat dakwah. Tapi juga bisa jadi jebakan. Ia bisa mempertemukan kita dengan ilmu, tapi juga dengan ilusi. Bisa membuat kita merasa dekat dengan Tuhan, tapi hanya di permukaan.

Karena itu, saat jari kita sibuk scroll, semoga hati kita juga ikut bergerak. Tidak sekadar tersentuh, tapi juga tersadar. Tidak sekadar share, tapi juga sadar. Dan semoga, di antara banyaknya konten yang datang dan pergi, kita bisa tetap menemukan jalan pulang. Jalan yang tenang. Jalan yang dalam. Jalan yang walau pelan membawa kita benar-benar mendekat.