Di sebuah sudut jalan yang perlahan dilupakan kota, seorang lelaki tua duduk bersahabat dengan matahari dan debu. Di sekelilingnya, buku-buku usang berjajar seperti tentara yang tetap siaga dalam perang panjang peradaban. Mereka tak berlayar di awan digital, tapi hidup dalam kulit kertas, dalam harum halaman yang tak tergantikan.
Revolusi digital telah mengubah lanskap kehidupan manusia. Buku tak lagi hanya berbentuk fisik; kini ia melayang dalam format e-book, mengalir dalam aplikasi perpustakaan digital, dan bahkan dibacakan lewat suara podcast dan platform audio lain. Namun, di tengah modernitas yang menggulung segalanya, masih ada tokoh yang menolak hanyut: tukang buku konvensional. Mereka adalah penjaga sunyi yang bersetia pada lembaran dan tinta, pada percakapan yang lahir dari sela-sela rak kayu dan obrolan senja. Tukang buku konvensional bukan sekadar penjual barang dagangan. Ia adalah penjaga memori, pengarsip sejarah, dan penggugah nostalgia. Eksistensinya yang nyaris dilupakan justru menjadi perlawanan estetis terhadap dunia yang serba instan. Dalam konteks ini, ada pertanyaan yang muncul: mengapa mereka tetap bertahan?
Menurut Jean-Claude Carrière dan Umberto Eco dalam This is Not the End of the Book (2011), buku fisik tak akan pernah benar-benar mati. Buku kertas, kata mereka, adalah medium yang menyimpan pengalaman multisensorik: dari berat yang dapat dirasa, aroma yang dapat dihirup, hingga catatan tangan yang ditorehkan dalam margin. Ini adalah pengalaman personal yang tidak dapat ditiru oleh media digital. Tukang buku konvensional memahami hal ini secara intuitif. Di balik bisnis kecil yang mereka jalani, terdapat cinta yang dalam terhadap fisik buku. Mereka bukan sekadar pedagang, melainkan kurator makna. Buku-buku yang mereka jual bukanlah komoditas, tapi warisan.
Pierre Bourdieu (1984) dalam Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste, menyebutkan bahwa objek budaya seperti buku adalah simbol kapital kultural. Dalam pengertian ini, tukang buku bukan hanya agen ekonomi, tetapi juga agen kebudayaan. Mereka berperan mempertahankan keberagaman intelektual, menawarkan akses terhadap ide-ide yang tidak selalu tersedia dalam platform digital yang dikurasi algoritma.
Meski begitu, bukan hal mudah bagi tukang buku untuk bertahan. Digitalisasi telah menekan keberadaan mereka. Riset oleh Statista (2023) menunjukkan bahwa penjualan e-book global meningkat hampir 10% tiap tahun, sementara toko buku independen mengalami penurunan sebesar 3-5% per tahun, terutama di negara-negara berkembang. Namun, bertahan bukan berarti stagnan. Tukang buku konvensional kerap menyiasati perubahan ini dengan strategi unik. Sebagian membuka akun media sosial, memasarkan dagangan melalui Instagram, WhatsApp, hingga marketplace lokal. Mereka menjembatani tradisi dan teknologi dalam narasi yang tak bercerai dari akar.
Penelitian oleh Amanda M. Jones dalam Journal of Librarianship and Information Science (2020) menunjukkan bahwa komunitas pembaca justru semakin mencari interaksi manusiawi dalam proses jual-beli buku. Dalam hal ini, keberadaan tukang buku konvensional justru menjadi oasis dalam dunia digital yang dingin dan tak berwajah.
Di kota-kota seperti Bandung, Yogyakarta, atau Surabaya, para tukang buku konvensional tak sekedar menjual teks, mereka merawat nilai. Banyak dari mereka yang menawarkan buku-buku langka: karya sastra terbitan lama, risalah-risalah sejarah lokal, hingga buku pelajaran zaman kolonial. Keberadaan mereka menyambung tali kebudayaan yang mulai rapuh.
Clifford Geertz (1973) dalam The Interpretation of Cultures menyatakan bahwa budaya bukan sekadar simbol, melainkan jejaring makna. Maka, tukang buku adalah penenun dalam jejaring itu—yang menyambungkan generasi ke generasi, dari makna ke makna. Tukang buku tradisional juga kerap menjadi pelestari bahasa. Dalam studi linguistik, media cetak dianggap penting dalam menjaga kosa kata asli, struktur gramatikal, dan idiom yang mulai luntur di era digital. Buku-buku dalam bahasa daerah, atau yang ditulis dengan gaya lama, menjadi saksi bisu dari proses pewarisan ini.
Maka, dalam sunyi dan kesederhanaan mereka, tukang buku konvensional sesungguhnya sedang melakukan bentuk perlawanan: terhadap konsumerisme dangkal, terhadap lupa yang masif, dan terhadap dominasi algoritma. Lebih dari itu, keberadaan mereka mengingatkan kita bahwa membaca bukan sekadar aktivitas teknis, tetapi juga pengalaman eksistensial. Martin Heidegger dalam Being and Time (1927) mengungkapkan pentingnya keterhubungan manusia dengan dunia melalui pengalaman yang otentik. Membaca buku fisik, memilih dengan tangan sendiri, berbincang dengan tukang buku, adalah bagian dari pengalaman tersebut—sebuah bentuk dwelling dalam dunia yang nyata.
Tukang buku konvensional adalah api kecil di tengah malam panjang digitalisasi. Mereka bukan sekadar relik masa lalu, tetapi lentera yang tetap menyala. Di atas trotoar, di sela kios sempit, mereka menyapa kita dengan senyum dan selembar puisi. Mereka tahu: dunia boleh berubah, tetapi jiwa manusia akan selalu mencari yang hakiki, yang tak bisa di-scroll dan dilupakan. “Karena di antara seluruh inovasi,” tulis Eco, “buku adalah satu-satunya alat yang tak pernah usang, tak pernah kehabisan baterai, dan selalu menyambut pembacanya dalam hening yang sakral.” []