Di tanah tempat hujan jatuh seperti doa dan angin bertiup seperti dongeng, terdengar satu bahasa yang dahulu membasuh pagi dengan pantun dan menutup malam dengan pupujian. Kini, bahasa itu kian lirih, ditinggalkan bukan karena asing, melainkan karena malu yang diwariskan, layaknya warisan yang tak diinginkan.
Bahasa Sunda, pusaka budaya masyarakat Tatar Pasundan, pelan-pelan kehilangan daya hidupnya di antara generasi muda. Ironisnya, yang membuatnya meranggas bukanlah penjajahan asing, melainkan keengganan pribumi untuk merawatnya. Anak-anak muda yang tumbuh di Bandung, Garut, Tasikmalaya, bahkan di jantung Priangan sekalipun, kini lebih fasih bercakap dalam Bahasa Indonesia standar—atau bahasa slank metropolitan yang sarat serapan asing—ketimbang dalam bahasa ibunya sendiri.
Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga lumbung makna. Ia menyimpan sejarah, membentuk cara berpikir, dan menjadi jendela dunia suatu komunitas (Sapir, 1921). Dalam konteks Sunda, bahasa bukan hanya media bertutur, tetapi juga kendaraan nilai: dari undak-usuk basa yang mengajarkan tata hormat, hingga peribahasa dan pantun yang mencerminkan kebijaksanaan lokal.
Namun, saat bahasa tidak lagi menemukan ruang untuk hidup dalam keseharian, ia menjelma menjadi artefak. Penelitian dari UNESCO menunjukkan bahwa bahasa Sunda tergolong “rentan punah” (UNESCO Atlas of the World’s Languages in Danger). Sementara menurut data Badan Bahasa (2019), meski masih memiliki jumlah penutur yang besar, bahasa Sunda menunjukkan gejala kuat penurunan vitalitas, terutama di kota-kota besar dan lingkungan keluarga menengah ke atas.
Mengapa generasi muda enggan berbicara dalam bahasa Sunda? Mengapa orang tua tak lagi mengajarkannya dengan bangga? Jawabannya menyakitkan: karena malu. Ada rasa inferior yang tumbuh perlahan, hasil internalisasi stigma yang menyamakan penggunaan bahasa daerah dengan keterbelakangan. Bahasa Sunda dianggap “kampungan”, kuno, tidak keren, dalam Bahasa gen alpha dianggap tidak “sigma”. Sementara bahasa asing, disakralkan sebagai simbol kemajuan dan pendidikan.
Psikologis kolektif ini berakar pada apa yang oleh Pierre Bourdieu (1991) disebut sebagai habitus linguistik, di mana bahasa yang dominan dalam ruang kekuasaan (seperti bahasa nasional atau global) dianggap lebih bernilai. Dalam studi Suryadinata (2000), disebutkan bahwa banyak orang tua dari kalangan kelas menengah di perkotaan Jawa Barat sengaja tidak mengajarkan bahasa Sunda kepada anaknya karena takut anak tersebut “kurang kompetitif secara akademik” atau “kurang modern”. Ini bukan hanya soal bahasa, tapi juga soal identitas. Ketika suatu masyarakat mulai merasa malu terhadap bahasanya sendiri, itu pertanda bahwa mereka mulai tercerabut dari akar kebudayaannya.
Keluarga seharusnya menjadi ruang awal dan utama transmisi bahasa ibu. Namun dalam studi oleh Musgrave & Hajek (2011), ditemukan bahwa pergeseran bahasa di Indonesia sering terjadi karena orang tua tidak konsisten dalam menggunakan bahasa daerah di rumah. Dalam konteks Sunda, Sumarsono (2012) menunjukkan bahwa semakin tinggi status sosial ekonomi suatu keluarga, semakin kecil kemungkinan mereka menggunakan bahasa Sunda di rumah.
Bahasa Sunda yang dahulu hidup di ruang dapur, di meja makan, dalam dongeng sebelum tidur dan obrolan sore, kini hanya muncul di pelajaran muatan lokal sekolah atau dibingkai dalam festival budaya setahun sekali. Ia menjadi simbol, bukan lagi kebiasaan. Ia hanya menjadi formalitas, tanpa kandungan spirit yang kuat. Sekolah mengajarkan bahasa Sunda sebagai pelajaran wajib. Tapi apakah itu cukup? Sebagaimana dikritik oleh Mahsun (2013), pendidikan bahasa daerah di sekolah sering kali formalistik—lebih berfokus pada penghafalan kosakata dan aturan tata bahasa, bukan pada penanaman kebanggaan dan pemaknaan kultural. Akibatnya, pelajaran bahasa Sunda hanya menjadi beban kurikulum, bukan bagian dari identitas siswa.
Untuk menghidupkan kembali bahasa Sunda, diperlukan pendidikan yang bersifat afektif dan aplikatif. Bahasa harus dihadirkan dalam konteks hidup yang nyata dan menggembirakan: dalam drama, musik, film pendek, bahkan media sosial. Alih-alih hanya menguji siswa tentang jenis “lemes,” “kasar,” dan “loma”, mengapa tidak mengajak mereka membuat vlog dalam bahasa Sunda, atau membacakan puisi Ajip Rosidi di TikTok?
Bahasa Sunda tidak akan punah karena jumlah penuturnya nol, melainkan karena para penuturnya kehilangan kesadaran untuk mempertahankannya. Edward Sapir pernah mengatakan, “Every language is a temple in which the soul of those who speak it is enshrined.” Maka kehilangan bahasa bukan hanya kehilangan kata, tapi juga kehilangan cara memandang dunia.
Kesadaran ini mesti dibangkitkan, bukan hanya lewat kampanye pelestarian yang seremonial, tetapi lewat gerakan kultural yang nyata dan akar rumput. Di beberapa daerah, gerakan seperti Ngabahasakeun Urang Sunda atau Sunda for Millenials mulai menyemai benih harapan: menghidupkan bahasa Sunda dalam ranah digital, seni kontemporer, hingga stand-up comedy.
Bahasa harus dibuat kembali hidup—bukan hanya benar, tetapi juga indah, lucu, keren, dan penuh makna. Kita tidak sedang menyalahkan siapa pun, tapi memanggil kesadaran bersama. Bahwa bahasa bukan hanya untuk dikaji, tapi untuk dipakai. Bahwa bahasa bukan hanya milik masa lalu, tapi jembatan untuk masa depan. Jika kita ingin anak-anak kita tahu siapa diri mereka, maka ajarkan mereka menyebut dunia dengan lidah leluhurnya, sebab di sanalah tersimpan seluruh cinta yang tak terucap oleh sejarah.