Pertarungan teoretis antara Marxisme dan feminisme telah menciptakan dilema epistemologis yang berkepanjangan dalam analisis penindasan perempuan. Marxisme tradisional, dengan fokus utamanya pada relasi produksi kapital, secara konsisten gagal mengakui patriarki sebagai sistem dominasi yang mandiri dan universal. Tradisi Marxis Tradisional memandang penindasan gender sekadar “ekses lokal” pada tubuh kapitalisme sebagai formasi sosial—masalah yang diyakini akan terselesaikan secara otomatis melalui transisi menuju sosialisme negara.
Namun, bukti empiris menunjukkan ketidakcukupan pandangan ini. Patriarki bertahan dalam berbagai “formasi sosial” dari masyarakat pemburu-pengumpul, sistem hortikultura, masyarakat agraris, feodalisme, negara kapitalis, dan bahkan dalam rezim sosialis seperti Tiongkok pasca-1949 atau Uni Soviet (Engels 2011; Suryajaya 2016). Ia bekerja melintasi batas kelas, sekaligus berinteraksi kompleks dengan sistem penindasan berbasis ras, usia, dan orientasi seksual. Kegigihan patriarki dalam masyarakat sosialis—yang ditunjukkan melalui minimnya perempuan di posisi penentuan putusan, segregasi pekerjaan domestik, dan kontrol negara atas tubuh perempuan—menjadi tantangan teoretis utama bagi Marxisme.
Upaya rekonsiliasi yang dilakukan oleh feminis-Marxis seperti Heidi Hartmann berusaha memperbaiki apa yang ia sebut sebagai “pernikahan tidak bahagia” ini. Hartmann mengusulkan integrasi setara antara Marxisme dan feminisme, dengan memperluas analisis material untuk memasukkan “kontrol laki-laki atas tenaga kerja perempuan” sebagai basis material patriarki. Namun, pendekatan ini tetap terbatas oleh kerangka reduksionis Marxis yang meletakkan segala fenomena sosial pada fondasi ekonomi semata—determinisme ekonomi.
Tulisan ini disadur untuk mendiskusikan Kembali gagasan Carol Ehrlich—dengan perangkat Anarko-Feminismenya—dibangun atas argumen bahwa sintesisnya menawarkan jalan keluar dari kebuntuan gagasan Marxisme. Muatan ini akan dibagi menjadi tiga persoalan mendasar: (1) keterbatasan intrinsik analisis Marxis dalam memahami patriarki, (2) kerangka Anarko-Feminisme sebagai alternatif dari kebuntuan marxisme, dan (3) implikasi praktisnya bagi perjuangan pembebasan perempuan.
Keterbatasan Analisis Marxis atas Patriarki
Marxisme tradisional mengalami ‘kebutaan gender’ secara sistematis dalam memahami patriarki. Kategori analitis Marxis yang dirancang untuk mengungkap relasi eksploitasi kelas, tidak mampu menangkap kompleksitas penindasan berbasis gender. Marxis tradisional memandang patriarki sebagai produk sampingan kapitalisme, bukan sebagai sistem dominasi yang mandiri dengan sejarah dan mekanismenya sendiri (Ehrlich 2004). Akibatnya, solusi yang ditawarkan bersifat instrumental: penghapusan kepemilikan pribadi diyakini akan ‘secara otomatis’ membebaskan perempuan.
Upaya Hartmann mereformasi Marxisme melalui konsep “patriarki kapitalis” juga mengandung kelemahan struktural. Dengan menempatkan “kontrol laki-laki atas tenaga kerja perempuan” sebagai basis material tunggal patriarki (Hartmann 1979), Hartmann mengabaikan dimensi non-ekonomi yang esensial. Homofobia, misalnya, tidak dapat direduksi semata-mata sebagai alat pelestarian perkawinan heteroseksual untuk kepentingan reproduksi tenaga kerja. Seperti ditegaskan Radicalesbians, homofobia adalah mekanisme disiplin yang menegaskan bahwa “perempuan dan person adalah istilah yang kontradiktif” dalam tatanan patriarkal (Radicalesbians 2009).
Bukti empiris dari negara sosialis semakin meruntuhkan klaim Marxis. Di Tiongkok pasca-revolusi, negara mengambil alih fungsi kontrol atas reproduksi dan seksualitas perempuan melalui kebijakan populasi ketat: menentukan usia pernikahan, jumlah anak, metode kontrasepsi, hingga kriminalisasi homoseksualitas (Ehrlich 2004). Monopoli kekuasaan oleh aparatus negara—yang didominasi laki-laki—menunjukkan bahwa penghapusan kapitalisme tidak otomatis menghapus patriarki.
Beberapa sarjana Marxis kontemporer berargumen bahwa teori Marxis bukanlah monolit dan telah berkembang, misalnya dengan munculnya teori ‘reproduksi sosial’ yang berusaha mengintegrasikan analisis gender dan kelas. Namun, upaya-upaya ini sering kali tetap terjebak dalam logika reduksionis yang meletakkan patriarki sebagai fenomena derivatif. Bahkan dalam analisis yang lebih baru, negara—sebagai alat perjuangan—tetap dipercaya dapat dirampas dan digunakan untuk tujuan emansipasi, sebuah keyakinan yang telah dibantah oleh bukti historis dari negara-negara sosialis yang justru mereproduksi patriarki dalam bentuknya yang baru.
Kerangka Alternatif Melalui Anarko-Feminisme
Anarko-Feminisme muncul sebagai respons atas kebuntuan teoritis Marxisme. Berbeda dengan upaya integrasi Hartmann, pendekatan ini menyintesiskan anarkisme sosial dan feminisme radikal menjadi kerangka analitis yang koheren. Sintesis ini dimungkinkan oleh kesamaan prinsip dasar: penolakan terhadap semua bentuk hubungan kuasa hierarkis, baik dalam ranah negara, ekonomi, maupun relasi personal (Ehrlich 2004).
Anarkisme sosial menawarkan kritik fundamental terhadap konsep negara sosialis. Berbeda dari Marxis yang mempercayai “fase transisi” kediktatoran proletariat, anarkis menegaskan bahwa “kebebasan tidak dapat dicapai melalui paradoks membatasinya di masa kini”(Kornegger 2019). Praktik kekuasaan negara—bahkan atas nama sosialisme—selalu melahirkan hubungan dominasi baru. Dalam konteks feminis, hal ini terlihat jelas dalam kontrol negara atas tubuh perempuan di Tiongkok dan praktik sterilisasi paksa di AS terhadap perempuan miskin dan American Latin (Ehrlich 2004).
Apa yang menjadi pembeda anarko-feminis dalam hal ini ialah upayanya untuk mengintegrasikan dimensi material dan psikologis tanpa terjebak dalam dikotomi basis-suprastruktur. Hal ini, yang menjadi keterbatasan dari Marxisme yang sering memisahkan basis material dan suprastruktur ideologis, anarko-feminis berupaya untuk memahami keduanya sebagai “jalinan dalam pola kompleksitasnya yang tak terpisahkan” (Ehrlich 2005). Internalisasi inferioritas oleh perempuan, misalnya, bukan sekadar produk ideologi, tetapi juga memiliki konsekuensi material yang sangat nyata: menghancurkan keinginan untuk memberontak, mengisolasi perempuan dari solidaritas kolektif, dan pada akhirnya memperkuat siklus penindasan. Pendekatan ini juga menawarkan kritik yang lebih dalam terhadap negara. Bagi anarko-feminis, negara bukanlah solusi, tetapi bagian dari masalah. Logika hierarkis dan koersif negara—bahkan yang menyebut diri sosialis—pada dasarnya patriarkal. Oleh karena itu, perjuangan pembebasan harus menolak merebut kekuasaan negara dan sebaliknya, membangun alternatif di luar logika negara.
Anatomi Patriarki dan Strategi Pembebasan
Ehrlich mengidentifikasi delapan komponen patriarki yang saling memperkuat (Ehrlich 2004): kontrol tenaga kerja perempuan, restriksi akses ekonomi, regulasi seksualitas, monopoli keputusan, homofobia, sosialisasi gender berbeda, ideologi superioritas laki-laki, dan kekerasan sistematis. Komponen terakhir ini—kekerasan terhadap perempuan—menunjukkan keterbatasan fatal analisis Marxis (Kornegger 2019).
Delapan Komponen Patriarki a la Carol Ehrclich
Komponen | Manifestasi | Keterbatasan Analisis Hartmann |
Kontrol atas Tenaga Kerja Perempuan | Eksklusi dari sumber daya ekonomi | Dijadikan basis material tunggal, mengabaikan kompleksitas lainnya |
Restriksi Akses Ekonomi | Ketergantungan ekonomi pada laki-laki | Terlalu menyederhanakan interaksi dengan ras/kelas |
Kontrol (regulasi) Seksualitas Perempuan | Pengaturan reproduksi & pemisahan seksualitas | Gagal menjelaskan mengapa kontrol ini diterima dan diberlakukan |
Monopoli Keputusan dan Sumber Daya | Dominasi laki-laki di semua institusi | Tidak bisa direduksi hanya ke “kontrol tenaga kerja” |
Homofobia | Stigmatisasi LGBT sebagai ancaman tatanan | Hanya dikaitkan dengan ancaman terhadap perkawinan heteroseksual |
Sosialisasi Gender Berbeda | Pembagian kerja seksual dan stereotip | Tidak dijelaskan sebab-akibat dengan ideologi patriarki |
Ideologi Superioritas Laki-laki | Internalisasi inferioritas perempuan | Diabaikan, meski menjadi akar kekerasan simbolik |
Kekerasan Sistematis | Pemerkosaan, mutilasi genital, sterilisasi paksa | Tak bisa dijelaskan semata oleh “Kontrol tenaga kerja” |
Kekerasan patriarkal berfungsi ganda: sebagai alat kontrol langsung dan sebagai sistem teror yang mengatur perilaku. Antropolog Paula Webster mendokumentasikan bagaimana pemerkosaan digunakan dalam masyarakat tradisional untuk menghukum perempuan yang “melanggar tatanan laki-laki”: menolak bekerja, keluar tanpa pengawasan, atau mengetahui rahasia adat laki-laki. Di AS tahun 1970-an, 97% dokter mendukung sterilisasi paksa pada perempuan penerima bantuan sosial yang melahirkan di luar nikah (Webster dan GIlbert 2008). Kekerasan ini tidak dapat dijelaskan semata oleh logika akumulasi kapital.
Di Indonesia, mekanisme kekerasan sistematis dan kontrol negara juga dapat diamati. Kebijakan seperti Perda Syariah yang membatasi mobilitas perempuan, praktik pengujian keperawanan bagi calon pegawai negeri, hingga wacana kriminalisasi LGBT di tingkat negara, menunjukkan bagaimana patriarki tidak hanya bekerja di tingkat masyarakat tetapi juga dilembagakan oleh aparatus negara. Contoh-contoh ini memperkuat tesis Ehrlich bahwa negara, terlepas dari ideologinya, cenderung menjadi alat kontrol patriarkal.
Strategi pembebasan feminis anarkis menekankan dua prinsip kunci: konsistensi antara tujuan dan sarana, serta pembangunan organisasi alternatif. Kelompok kecil non-hierarkis—sering keliru disebut “tanpa pemimpin”—sebenarnya membutuhkan organisasi ketat berbasis kesetaraan partisipasi dan rotasi tanggung jawab (Ehrlich 2004). Pendidikan ulang orang dewasa dan sosialisasi anak menjadi krusial untuk memutus siklus internalisasi nilai-nilai patriarkal.
Penutup
Krisis pernikahan teoretis antara Marxisme dan feminisme bersifat struktural dan tak terdamaikan. Keterbatasan intrinsik Marxisme—reduksionisme ekonomi, kebutaan gender, dan kepercayaan naif pada negara—menghalanginya menjadi kerangka yang memadai untuk memahami patriarki. Anarko-Feminisme menawarkan jalan keluar radikal melalui sintesis anarkisme sosial dan feminisme radikal.
Kerangka ini memberikan analisis holistik tentang delapan komponen patriarki yang saling terkait, terutama dalam mengungkap peran kekerasan sistematis sebagai mekanisme pemeliharaan dominasi. Strateginya menekankan pembangunan organisasi non-hierarkis, pendidikan transformatif, dan keselarasan antara sarana perjuangan dengan tujuan pembebasan. Dalam konteks di mana negara sosialis terbukti gagal menghapus patriarki, pendekatan anarkis yang menolak sentralisasi kekuasaan menjadi relevan secara praktis.
Dalam konteks Indonesia dan global kontemporer, di mana negara—baik yang neoliberal maupun yang berwatak sosialis—terus membuktikan diri sebagai agen patriarki, pendekatan anarkis yang menolak sentralisasi kekuasaan dan membangun otonomi dari akar rumput menjadi semakin relevan. Tantangan ke depan adalah menerjemahkan prinsip-prinsip anarko-feminis ini ke dalam strategi organisasi yang tangguh dan inklusif, mampu menghadapi kompleksitas penindasan yang beririsan sekaligus konsisten dengan etika pembebasan yang diperjuangkannya.
Bahan Acuan
Ehrlich, Carol. 2004. “The Unhappy Marriage of Marxism and Feminism: Can It Be Saved.” Journal of Political Ideologies 9:13–30. doi:10.1080/1356931032000167454.
Ehrlich, Carol. 2005. “Socialism, Anarchism and Feminism.”
Engels, Friedrich. 2011. Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi dan Negara. disunting oleh J. Isak. Jakarta: Yayasan Kalyanamitra.
Hartmann, Heidi I. 1979. “The Unhappy Marriage of Marxism and Feminism: Towards a More Progressive Union.” Capital & Class 3(2):1–33. doi:10.1177/030981687900800102.
Kornegger, Peggy. 2019. Feminisme dan Anarkisme. Anti Feminist Feminist Club.
Radicalesbians. 2009. “The Woman-Identified Woman.” Hlm. 240–45 dalam Radical feminism, disunting oleh A. Koedt, E. Levine, dan A. Rapone. New York: Quadrangle Books.
Suryajaya, Martin. 2016. Sejarah Pemikiran Politik Klasik: Dari Prasejarah Hingga Abad ke-4 M. Cetakan pertama. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.
Webster, Paula, dan Lucy GIlbert. 2008. Bound by Love: The Sweet Trap of Daughterhood. Boston: Beacon Press.