First Impression: Antipati yang Lahir dari Perjumpaan yang Tidak Menggembirakan

Dalam hidup, selera dan ketidaksukaan bukanlah sesuatu yang lahir dari ruang hampa. Sering kali, seseorang tidak suka pada sesuatu bukan karena substansi dari hal itu sendiri, melainkan karena pengalaman pertama yang buruk—pengalaman yang tercipta oleh tangan, lidah, atau tutur seseorang yang gagal mengantar sesuatu dengan keindahan. Maka jadilah seseorang membenci matematika karena gurunya galak, membenci ikan karena ibunya memasaknya dengan amis, atau membenci puisi karena dulu dipaksa membacanya dengan nada monoton di kelas yang pengap.

Pengalaman pertama adalah pintu. Ia bisa menyambut dengan senyuman atau menghardik dengan cemberut. Dan dalam psikologi, ini bukan hal sepele. Fenomena ini dikenal sebagai primacy effect, yaitu kecenderungan manusia untuk membentuk impresi awal yang menetap dalam ingatan dan membentuk persepsi jangka panjang. Solomon Asch (1946), dalam eksperimennya tentang pembentukan impresi sosial, menunjukkan bahwa kata-kata pertama yang digunakan untuk mendeskripsikan seseorang atau sesuatu, memiliki bobot besar dalam membentuk penilaian. Jika perjumpaan pertama kita dengan pelajaran filsafat diwarnai oleh kebingungan dan intimidasi guru, maka besar kemungkinan bayang-bayang itu akan terus menyertai kita meski filsafat, dalam dirinya sendiri, adalah taman keindahan berpikir.

Sains modern turut mendukung tesis ini. Penelitian oleh Barron & Harackiewicz (2001) dalam Journal of Educational Psychology menemukan bahwa motivasi intrinsik siswa terhadap suatu bidang pelajaran sangat dipengaruhi oleh pengalaman awal yang mereka alami bersama guru atau lingkungan belajar. Bila seorang guru tidak bisa menampilkan esensi estetis dari ilmu yang diajarkan—bahwa fisika adalah puisi semesta, bahwa matematika adalah tarian logika—maka siswa pun melihatnya sebagai labirin angka dan rumus tanpa jiwa.

Rasa tidak suka yang lahir dari pengalaman pertama yang buruk juga menyinggung aspek neurologis. Otak manusia bekerja dengan asosiasi. Ketika pertama kali mencicipi sayur pare yang pahit, dan pada waktu yang sama dimarahi oleh orang tua karena menolak memakannya, otak akan merekam dua hal bersamaan: rasa pahit dan rasa tidak nyaman. Di kemudian hari, meski pare dimasak oleh Chef Juna, sebagian orang tetap menolaknya. Seperti kata ilmuwan saraf Antonio Damasio (1994) dalam Descartes’ Error, emosi dan kognisi terikat dalam simpul-simpul memori, dan pengalaman emosional awal sering menjadi jangkar yang menambatkan seseorang pada penilaian selamanya. Hal ini yang kerap kita kenal dengan peribahasa, “gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga.”

Namun sayangnya, dalam masyarakat kita, pengalaman pertama sering kali diabaikan. Pendidikan terlalu sering fokus pada target, bukan pengalaman. Guru atau dosen mengajar untuk menyelesaikan silabus, bukan untuk menyemai cinta. Orang tua menyuruh anak mencoba makanan tanpa mengajak mereka menjelajahi asal-usul atau keajaiban rasa. Dunia dewasa lupa bahwa pengalaman pertama adalah peta jalan bagi masa depan seorang anak dalam mencintai atau membenci sesuatu. Cinta terhadap ilmu, seni, atau rasa makanan, adalah soal pengenalan yang lembut, bukan paksaan yang terburu-buru. Menurut Max van Manen dalam Researching Lived Experience (1990), pengalaman manusia bukan sekadar data, melainkan kisah yang hidup. Maka, memperkenalkan sesuatu kepada orang lain sejatinya adalah tindakan eksistensial yang menuntut kepekaan. Kita tidak hanya menyodorkan objek, tetapi juga merancang lanskap emosional perjumpaan pertama.

Peran penyampai atau perantara dalam pengenalan suatu hal pun menjadi krusial. Seorang guru atau dosen bisa menjadi jembatan atau jurang. Seorang koki bisa menjadi penyihir rasa atau pembunuh selera. Martin Buber (1937) dalam I and Thou berbicara tentang relasi “aku-engkau” yang harus mendasari setiap bentuk komunikasi yang sejati. Bila dalam memperkenalkan ilmu atau rasa, seorang guru atau pembimbing tidak hadir secara utuh—tidak melihat murid sebagai pribadi yang tumbuh—maka yang terjadi bukan transformasi, melainkan trauma.

Namun sesungguhnya, ketidaksukaan yang lahir dari pengalaman awal bukanlah takdir. Ia bisa dirawat, disembuhkan, bahkan dibalikkan menjadi cinta mendalam—jika kita mau memberi kesempatan kedua. Ada banyak orang yang dahulu benci membaca, lalu jatuh cinta pada sastra karena bertemu satu buku yang tepat. Ada yang dulu muak pada fisika, lalu terpikat pada keindahan relativitas setelah mendengar kuliah dari seorang dosen yang menyalakan api kagum. Dalam psikologi pendidikan, ini disebut corrective emotional experience (Alexander & French, 1946)—pengalaman baru yang positif dapat menetralkan luka dari pengalaman awal yang buruk.

Maka, tugas kita sebagai manusia yang ingin menghadirkan keindahan bagi sesama adalah menjadi penjaga pengalaman pertama. Entah kita guru, orang tua, teman, atau sekadar penyaji makanan di rumah, kita memikul tanggung jawab eksistensial: jangan sampai hal yang indah menjadi dibenci hanya karena kita tidak mampu memperkenalkannya dengan lembut. Dalam dunia yang kian cepat dan tergesa, mari kita pelan. Mari kita perkenalkan ilmu seperti membacakan puisi, mari kita sajikan makanan seperti menyampaikan cerita, mari kita antar seseorang pada sesuatu dengan hati yang bersih. Karena siapa tahu, rasa benci yang hari ini tumbuh dalam hati seseorang bukanlah karena hal itu buruk, tapi karena dulu ia dijemput oleh tangan yang carut.

Wallahu a’lam bi al-shawwab.